Minggu, 24 November 2013

USHUL FIQH: Urgensi Ushul Fiqh


Oleh H. Jamaludin, MAg

            Ilmu Ushul Fiqh merupakan tulang punggung dari proses deduksi dan kekuatan pemandunya. Tanpa ilmu Ushul Fiqh ini seseorang akan mengahadapi tumpukan teks dan bukti-bukti yang berserakan, tanpa mampu menggunakan atau memanfaatkannya melalui deduksi. Yang demikian ini sama halnya dengan seseorang yang diberi alat-alat pertukangan kayu, seperti gergaji dan kapak, tetapi tidak mengetahui seluk beluk tehnik pertukangan kayu dan cara-cara menggunakan alat-alat tersebut. Persis seperti halnya unsur-unsur umum sangat penting bagi proses deduksi, maka begitu pula unsur-unsur khusus yang berbeda dari satu masalah hukum ke masalah hukum lainnya, seperti istilah-istilah dan ungkapan-ugkapan al-Qur`an dan riwayat hadits yang bertebaran disana sini, yang merupakan unsur-unsur khusus yang beraneka macam dalam proses derduksi, yang berkaitan dengan bagian penting lainnya, yang tanpa itu deduksi mustahil dilakukan. Sekedar pengetahuan serta pemahaman atas unsur-unsur umum yang diuraikan oleh ilmu ushul belumlah cukup bagi keberhasilan deduksi.
            Demikian juga, seseorang yang berusaha melakukan proses deduksi berdasarkan hanya pada pengetahuan yang diberikan oleh ilmu Ushul, adalah sama halnya seperti seseorang yang punya teori umum tentang pertukangan, tetapi tidak memiliki kapak, gergaji atau alat pertukangan lainnya. Persis, seperti halnya yang disebut terakhir ini tidak bisa membuat tempat tidur dari kayu, maka yang disebut terdahulupun tidak akan mampu melakukan deduksi jika dia tidak menelaah dan mengkaji unsur-unsur khusus yang berbeda-beda itu.
            Karena unsur-unsur umum dan unsur-unsur khusus adalah dua kutub yang saling berhubungan dalam proses deduksi dan kedua-duanya sangat penting. Maka, seseorang yang berusaha melakukan proses deduksi ---mau tidak mau--- wajib menelaah dan mengkaji unsur-unsur umum dalam proses deduksi itu.[1]
            Muhtar Yahya[2] berpendapat bahwa faedah mempelajari ilmu Ushul Fiqh adalah untuk mengetahui hukum-hukum Allah SWT secara yakin atau zhann (dugaan keras), sehingga selamat dari taqlid[3] dan menjadi seorang mujtahid[4] yang sanggup mengeluarkan hukum-hukum furu’ (cabang) dari ketentuan-ketentuan yang pokok, atau sekurang-kuranggnya menjadi seorang muttabi’ [5]. Menurutnya, Ilmu Ushul Fiqh adalah suatu sarana untuk berijtihad, yaitu membedakan yang benar dari yang salah dalam penerapan hukum dan memilih dalil-dalil yang rajih (kuat) dari dalil-dalil yang marjuh (lemah). Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa mengesampingkan ilmu ini berarti menolak kekayaan hukum-hukum furu’ sebagaimana dijelaskan dalam sebuah kaidah yang berbunyi :


Barangsiapa buta kepada yang pokok, maka ia tidak akan mendapatkan furu’ sama sekali.




[1] Baqir Ash-Shadr, loc. cit., pp. 34-35.
[2] Muhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986), p. 20. 
[3] Taqlid adalah menerima atau mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui dari mana pengambilan landasan hukumnya
[4] Mujtahid adalah seseorang yang mampu mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara’, yaitu al-Qur`an dan al-Hadits.
[5] Muttabi’ adalah seseorang yang mengikuti pendapat atau jejak langkah orang lain serta mengetahui dasar hukum yang dijadikan landasan pendapatnya itu. Atau orang yang mampu mengembalikan hukum-hukum furu’ kepada ketentuan-ketentuan pokok.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar