Oleh H. Jamaludin, MAg
Ilmu
Ushul Fiqh merupakan tulang punggung dari proses deduksi dan kekuatan pemandunya.
Tanpa ilmu Ushul Fiqh ini seseorang akan mengahadapi tumpukan teks dan
bukti-bukti yang berserakan, tanpa mampu menggunakan atau memanfaatkannya
melalui deduksi. Yang demikian ini sama halnya dengan seseorang yang diberi
alat-alat pertukangan kayu, seperti gergaji dan kapak, tetapi tidak mengetahui
seluk beluk tehnik pertukangan kayu dan cara-cara menggunakan alat-alat
tersebut. Persis seperti halnya unsur-unsur umum sangat penting bagi proses
deduksi, maka begitu pula unsur-unsur khusus yang berbeda dari satu masalah
hukum ke masalah hukum lainnya, seperti istilah-istilah dan ungkapan-ugkapan
al-Qur`an dan riwayat hadits yang bertebaran disana sini, yang merupakan
unsur-unsur khusus yang beraneka macam dalam proses derduksi, yang berkaitan
dengan bagian penting lainnya, yang tanpa itu deduksi mustahil dilakukan.
Sekedar pengetahuan serta pemahaman atas unsur-unsur umum yang diuraikan oleh
ilmu ushul belumlah cukup bagi keberhasilan deduksi.
Demikian juga, seseorang
yang berusaha melakukan proses deduksi berdasarkan hanya pada pengetahuan yang
diberikan oleh ilmu Ushul, adalah sama halnya seperti seseorang yang punya
teori umum tentang pertukangan, tetapi tidak memiliki kapak, gergaji atau alat
pertukangan lainnya. Persis, seperti halnya yang disebut terakhir ini tidak
bisa membuat tempat tidur dari kayu, maka yang disebut terdahulupun tidak akan
mampu melakukan deduksi jika dia tidak menelaah dan mengkaji unsur-unsur khusus
yang berbeda-beda itu.
Karena unsur-unsur umum
dan unsur-unsur khusus adalah dua kutub yang saling berhubungan dalam proses
deduksi dan kedua-duanya sangat penting. Maka, seseorang yang berusaha
melakukan proses deduksi ---mau tidak mau--- wajib menelaah dan mengkaji
unsur-unsur umum dalam proses deduksi itu.[1]
Muhtar Yahya[2]
berpendapat bahwa faedah mempelajari ilmu Ushul Fiqh adalah untuk mengetahui
hukum-hukum Allah SWT secara yakin atau zhann
(dugaan keras), sehingga selamat dari taqlid[3]
dan menjadi seorang mujtahid[4]
yang sanggup mengeluarkan hukum-hukum furu’
(cabang) dari ketentuan-ketentuan yang pokok, atau sekurang-kuranggnya menjadi
seorang muttabi’ [5].
Menurutnya, Ilmu Ushul Fiqh adalah suatu sarana untuk berijtihad, yaitu
membedakan yang benar dari yang salah dalam penerapan hukum dan memilih
dalil-dalil yang rajih (kuat) dari
dalil-dalil yang marjuh (lemah).
Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa mengesampingkan ilmu ini berarti menolak
kekayaan hukum-hukum furu’ sebagaimana dijelaskan dalam sebuah kaidah yang
berbunyi :
Barangsiapa buta kepada yang
pokok, maka ia tidak akan mendapatkan furu’ sama sekali.
[1] Baqir Ash-Shadr, loc. cit., pp. 34-35.
[2] Muhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami
(Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986), p. 20.
[3] Taqlid adalah menerima atau mengikuti
pendapat seseorang tanpa mengetahui dari mana pengambilan landasan hukumnya
[4] Mujtahid adalah seseorang yang mampu
mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari
dalil-dalil syara’, yaitu al-Qur`an dan al-Hadits.
[5] Muttabi’ adalah seseorang yang mengikuti
pendapat atau jejak langkah orang lain serta mengetahui dasar hukum yang
dijadikan landasan pendapatnya itu. Atau orang yang mampu mengembalikan
hukum-hukum furu’ kepada
ketentuan-ketentuan pokok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar