Oleh H. Cecep Alba, MA
Nama lengkap Ibnu
‘Arabi adalah Abu Bakar Muhammad bin Ali
bin Muhammad bin Ahmad bin Abdillah
at-Ţāi al-Hātimi yang terkenal dengan sebutan Ibnu ‘Arabi, nama lakobnya
Muhyiddin Ibnu ‘Arabi, al-Qutub, as-Syaikh al-Akbar. Nama kunyahnya Abu
‘Abdillah. Ia dilahirkan di kota Murcia
pada tanggal 27 Ramdan tahun 560 H (7
Agustus 1165 M).[1] Di Prancis pada saat itu
Louis VII sedang bertahta,
pembangunan Notre Dame de
Paris sudah berjalan dua tahun. Di
Spanyol Muslim, kekuasaan Dinasi al-Moravid
sedang menurun, tak lama kemudian digantikan oleh Dinasti
al-Muwahhidun. Di Mesir, dinasti
lain sedang berakhir, dinasti Ayyubiyyah sedang disiapkan oleh Salahuddin. Di pinggir sungai Onon di
timur Siberia, Jengis Khan dilahirkan. Kurang
dari satu abad, kemudian cucunya, Hulagu
Khan, akan menghancurkan kota Bagdad dan akan
membunuh khalifah terakhir dari Dinasti Abbasiah.[2]
Ketika Dinasti al-Muwahhidūn
menaklukan Mursia pada tahun 567 H./1172 M.
Ibnu ‘Arabi dan keluarganya pindah ke Seville, tempat ayahnya diberi pekerjaan pada
dinas pemerintahan atas kebaikan Abu
Ya’kub Yusuf, penguasa Daulah
Muwahhidūn pada saat itu.[3] Ibnu ‘Arabi
menghabiskan masa kecilnya di Seville,
tempat keluarganya tinggal. Di kota
pusat ilmu pengetahuan itu, dibawah bimbingan sarjana-sarjana terkenal ia
mempelajari al-Qur’an dengan tafsirnya, hadis, fikih, teologi dan filsafat
scolastik. Seville adalah suatu pusat sufisme
yang penting dengan sejumlah guru sufi terkemuka yang tinggal di sana.[4] Keberhasilan
Ibnu ‘Arabi dalam pendidikannya mengantarkannya kepada kedudukan sebagai
sekretaris Gubernur Seville. Pada periode itu pula ia menikah dengan seorang wanita salihat, Maryam. Suasana kehidupan guru-guru sufi dan kesertaan istrinya dalam keinginannya mengikuti jalan tasawuf adalah paktor penyebab yang mempercepat
pembentukan kepribadian Ibnu ‘Arabi
menjadi seorang sufi. Ia memasuki jalan sufi (tarekat) secara formal pada tahun 580 H/1184
M, saat berusia dua puluh tahun.[5] Sementara
Michel Chodkiewicz, menyebutkan
bahwa pada saat usia Ibnu ‘Arabi berumur sekitar enam belas tahun ia
masuk tarekat. Mendekati usianya yang ke dua puluh, ia sudah berhasil melewati
seluruh tingkatan (maqāmāt) yang harus dilalui oleh para salik dalam perjalanannya menuju Tuhan. Selain itu,
ia juga sudah menerima berkah yang istimewa.[6]
Ibnu ‘Arabi[7] mempunyai dua
saudara yang keduanya pengamal tarekat. Saudara
pertama bernama Yahya bin Yagon yang meningglkan kedudukannya sebagai
pejabat di wilayah Tilmasan dan ia
mewakafkan diri untuk berhidmah kepada seorang wali. Adapun saudaranya yang
kedua adalah Abu Muslim al-Khaulani yang biasa menghabiskan waktu malamnya
dengan zikir dan tasbih. Melihat latar belakang kehidupan Syaikh, begitu juga
lingkungan keluarganya, kita dapat
membuat suatu asumsi yang cukup signifikan bahwa ternyata Ibnu ‘Arabi dan
keluarga besarnya merupakan para pengamal tarekat. Mereka hidup zuhud,
istiqamah dalam beribadah serta selalu melakukan riyādah. Banyak kejadian dari
kehidupan sehari-hari menjadi wasilah kedua adik Ibnu ‘Arabi semakin sadar akan
arti pentingnya bertasawuf. Pertemuan dengan ulama-ulama yang ‘arif seringkali menyadarkan mereka
sehingga mereka menempuh jalan tasawuf secara penuh. Ibnu ‘Arabi menceritakan
saudaranya yang satu, yaitu Abu Muslim al-Khaulani: Saudaraku termasuk salah seorang tokoh di daerah itu. Ia
bangun sepanjang malam, tatkala ia
diserang rasa ngantuk segera ia memukul-mukul
kedua kakinya dengan satu cemeti yang ada padanya sambil berkata: Engkau berdua lebih
berhak dipukul daripada kendaraanku (kuda).[8]
Pada masa usia
belajar, Ibnu ‘Arabi belum menampakkan tanda-tanda kecenderungan terhadap tasawuf
bahkan yang paling ia dalami adalah belajar sastra Arab dan kesenangannya untuk
berburu. Tentang kesenangan dalam berburu ia mengisahkan: Pada saat aku masih
dalam kebodohan, dalam perjalalananku dan aku bersama ayahku, aku sedang berada
di antara daerah Qurmunah dan Balmah (wilayah Andalusia),
aku terkejut melihat seekor binatang liar sedang merumput, dan aku pun membidik
untuk menangkapnya. Aku berfikir dalam
hati bahwa aku tidak akan menyakiti salah satu di antara binatang buruan dengan panah. Tatkala buruan tadi melihat kuda yang aku kendarai
maka larilah ia ketakutan. Akhirnya aku
terpaksa melepaskan anak panah dan mengena ke salah satu di antara binatang
buruan tadi dan dalam waktu yang sama
larilah himar-himar yang ada di sekitar kami.
Aku tidak tahu faktor penyebab
hal itu. Setelah aku kembali ke tarekat baru aku tahu apa yang menjadi penyebab
terjadinya peristiwa itu (berlarian himar di sekelilingku), yaitu hilangnya rasa aman dalam jiwa mereka yang
rasa aman itu ada dalam jiwaku buat mereka. Sebagai telah disinggung bahwa Ibnu
Arabi menikah, setelah ia diangkat menjadi sekretaris Gubernur di Pemerintahan Seville, dengan seorang
wanita salihah bernama Maryam binti Muhammad bin Abdun bin Abdurrahman
al-Bijai. Ia mencintai Ibnu ‘Arabi sepenuh hatinya demikian juga sebaliknya,
sehingga tidak dapat disembunyikan, dalam sebagian karangan sastranya terlukis kecintaan Ibnu ‘Arabi kepada
istrinya.[9] Ibnu ‘Arabi
menyatakan, aku tidak melihat perasaan
seorang pun dari ahli maqam ini kecuali keluarga Maryam binti Muhammad bin
Abdun melihat seseorang dan ia
menceritakan keadaanya kepadaku, akhirnya aku tahu kalau ia termasuk ahli
syuhūd (orang yang dapat melihat hal-hal yang gaib), meskipun Maryam
menceritakan berbagai keadaan yang
menunjukan bahwa ia tidak kuat dan lemah di dalamnya, tetapi ia yakin dengan keadaan ini. Selanjutnya istriku yang salihah pernah menceritakan
bahwa pada suatu waktu ia mimpi melihat seseorang yang berjanji akan
menikahinya, ia tidak pernah melihat
sosok orang itu di alam nyata. Laki-laki tadi bertanya: “Apakah
anda bermaksud menuju suatu jalan
(tarekat)”? Aku berkata kepadanya: “Demi Allah aku bermaksud menuju tarekat,
tetapi aku tidak tahu harus bagaimana?”.
Berkata Maryam bahwa laki-laki itu
mengkhabarkan kepadanya tentang lima perkara yaitu tawakkal, yakin, sabar, ‘azimah, dan as-sidq
(benar). Ibnu ‘Arabi berkata kepada Maryam; Inilah mazhab pegangan
kaum.[10]
Ibnu ‘Arabi
menuturkan: Suatu waktu aku sakit sehingga pingsan dan dalam kerasnya sakitku
aku merasa bertemu dengan orang-orang
yang telah meninggal, lalu aku melihat
suatu kaum yang jelek dipandang mata bermaksud menyakitiku. Dalam waktu yang sama aku pun melihat seorang
laki-laki yang kuat dan harum dengan wewangian
mengusir mereka dan mempertahankanku. Aku bertanya kepadanya: Siapakah
anda? Ia menjawab: Saya adalah surat
Yāsīn, sedang menjagamu. Tak lama kemudian
aku pun siuman dan sadar dari pingsanku dan aku terkejut di depan
kepalaku ada ayah menangis sambil membaca surat
Yāsīn. Setelah ayah selesai membacanya aku menceritakan kepada ayahanda apa yang aku saksikan.[11]
Beberapa karomah
yang pernah terjadi diungkapkannya sendiri, misalnya peristiwa kematian
ayahandanya: Lima
belas hari sebelum meninggal, ayahku telah menginformasikan kepaku tentang kapan
waktu kematiannya, bahwa ia akan meninggal hari Rabu dan memang hal itu
terbukti. Setelah tiba hari kematiannya yaitu hari Rabu ia sakit keras, ia
memaksakan duduk tanpa sandaran dan berkata kepadaku: Anaku! hari ini perjalanan dan pertemuan akan
dimulai. Aku berkata kepadanya: Mudah-mudahan
keselamatan menyertai perjalananmu dan Allah memberkahimu dalam
pertemuanmu. Ayah merasa bahagia lalu ia berkata kepadaku: Semoga Allah
membalasmu wahai anaku dengan kebaikan. Segala apa yang aku dengar darimu, engkau
mengucapkannya tetapi aku tidak memahaminya, kadang-kadang aku mengingkari
sebagiannya tetapi aku menyaksikannya. Kemudian nampaklah di keningnya setitik
cahaya yang berbeda dengan warna kulitnya tanpa meninggalkan cacat. Cahaya tadi
semakin menampakkan sinarnya sehingga
ayah pun merasakannya dan akhirnya sinar cahaya tadi meliputi seluruh wajahnya
hingga seluruh tubuhnya. Aku pun mencium tangannya lalu aku keluar dari sampingnya dan aku berkata kepada ayah, aku hendak pergi
ke Mesjid Jami. Ayah berkata: Pergilah
dan jangan kau tinggalkan seorang pun di sisiku. Tak lama kemudian
berkumpulah keluarga dan anak-anak perempuanya. Setelah waktu zuhur tiba aku
mendatanginya dan aku mendapatinya dalam
keadaan setiap orang yang melihatnya ragu apakah ia telah meninggal atau masih
hidup. Dan setelah aku yakin tentang kepergiannya, dalam keadaan seperti ini
aku mengebumikan ayah dan baginya ada
tanda-tanda kebesaran.[12]
Kepindahan Ibnu ‘Arabi
ke dunia tasawuf dan tarekat, sebagai diungkapkannya sendiri, terjadi pada
tahun 580 H “Aku mendapatkan kedudukan
setelah aku masuk tarekat pada
tahun 580 H”.[13] Setelah umur Ibnu
‘Arabi mencapai usia 30 tahun kemasyhurannya
menyebar ke seluruh wilayah Andalusia
dan dunia Barat. Paktor penyebabnya antara lain, karena ia banyak bepergian
dari satu kota ke kota lain baik untuk berziarah kepada para ulama atau menemui para syaikh tarekat, untuk
menghadiri diskusi atau tukar pendapat menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan
masalah-masalah filsafat, teologi atau mistisisime. Di sebagian
perjalanannya tidak jarang ia sengaja
mengunjungi para sufi, mursyid tarekat dan berdiskusi dengan mereka sekitar ta’wil
ayat-ayat yang berkaitan dengan teologi, hukum, panteisme dan lain-lain. Sering pula ia menghabiskan waktunya dengan
berhidmah kepada para syaikh (mursyid) untuk bertabarruk mengambil barokah
(kebaikan) dari mereka yang memiliki karômah
dan kedudukan yang tinggi.[14]
Ibnu ‘Arabi
pindah dari Mursia ke Asbilia pada tahun 568 H. selanjutnya beliau pindah ke Magrib pada tahun 590 H. Di Maroko beliau sibuk dengan tugas-tugas harian
sebagai pegawai kerajaan; antara lain membuat konsep-konsep, baik untuk pidato
raja atau surat-surat biasa. Beliau
tidak lama berada di tempat ini sehingga akhirnya beliau pulang kembali ke Seville untuk menetap
bersama pengikutnya. Atas kehendak Allah, ia kembali lagi pergi ke Magrib untuk
bekerja pada seorang raja dan beliau tinggal pada kali kedua ini selama
sembilan bulan kurang beberapa hari. Selepas bekerja di kerajaan beliau mulai
melakukan pengembaraannya yang panjang; pertama beliau pergi ke Maroko dan ia
menjadikan Maroko sebagai tempat star (berangkat) untuk pengembaraannya di
Timur Tengah. Beliau pergi ke Pes dan beliau masuk ke kota Jāyah, di kota ini
beliau banyak mengunjungi para tokoh,
khususnya para sufi.
Ibn ‘Arabi melanjutkan perjalananya ke Mesir pada tahun
597 H. Di Mesir ia bertemu dengan para penentang ajarannya. Ia menetap di Mesir
untuk jangka waktu tertentu bersama murid dan pembantunya ‘Abdullah al-Habashī.
Banyak percobaan dilakukan oleh orang Mesir yang tidak sehaluan untuk
membunuhnya. Ia lolos dari maut dengan pertolongan dan perlindungan seorang syaikh berpengaruh yang menjadi
penduduk Mesir saat itu. Karenanya ia
mengakhiri perjalanan di Mesir, pulang meninggalkan Mesir dengan
selamat. Penguasa Mesir amat
mencintainya dan wali Mesir amat senang atas kehadiran Ibnu Arabi. Di
Mesir bahkan ia sempat diangkat menjadi
imam.
Selanjutnya Ibnu ‘Arabi
berteguh hati meneruskan perjalananya ke wilayah Hijaz kemudian ke Makkah. Di Makkah beliau khusu’
beribadah dan sekaligus mengajar di Masjid al-Harām. Di Masjid yang dimulyakan
ini beliau mencurahkan sepenuh kemampuan intelektual dan spiritualnya sehingga
beliau berhasil menyusun kitab yang amat monumental yaitu kitab “al-Futūhāt al-Makkiyyah”. Dalam pada
itu, ia juga menyelesaikan empat kitab yang lainnya yaitu: Misykah al-Anwār, Hilyah al-Abdāl,
Tāj ar-Rasāil dan Rūh al-Quds. Beliau meneruskan perjalanan ke Madinah,
setibanya di Madinah beliau berziarah ke Raudah Nabawiyyah untuk menemui
Rasulullah saw. Ibnu ‘Arabi meneruskan
perjalanan masuk ke Tāif selanjutnya ke Irak. Kota Mosul menjadi kota pertama
yang ia kunjungi, ia bertemu dan
berkumpul dengan para tokoh di kota ini untuk selanjutnya beliau pergi
meninggalkan Mosul menuju Bagdad, ia
sampai di kota Abu Nawas ini pada tahun
601 H. dan beliau kembali lagi ke Bagdad, untuk yang kedua kalinya, pada tahun 608 H.[15]
Makkah
bagi Ibnu ‘Arabi bukan sekedar tempat melaksanakan ibadah haji, tawaf mengelilingi Ka’bah dan ibadah-ibadah lain.
Makkah baginya, adalah tempat meningkatkan kualitas kehidupan mistiknya. Ka’bah
sebagai “pusat kosmik” merupakan tempat khusus untuk memperoleh pengalaman
rohani yang tidak mungkin diperoleh di tempat lain. H. Corbin, melukiskan, sebagaimana
dikutip oleh Kautsar Azhari Noor, peristiwa hakiki dan menentukan hanya ditimbulkan dengan bermeditasi ”di
sekitar Ka’bah” karena peristiwa-peristiwa seperti itu terjadi hanya “dalam pusat
dunia”, yaitu pada kutub mikrokosmos batini, dan Ka’bah adalah pusat dunia.[16]
Kunjungannya ke Ka’bah secara teratur untuk beribadah dan bermeditasi
membuahkan
pengalaman-pengalaman rohani. Di antara pengalaman-pengalaman itu ada dua yang
perlu disebutkan di sini. Pertama, ia mengalami suatu visi tentang
“kemudaan abadi” yang boleh dikatakan mewakili perpaduan apa-apa yang
berlawanan, concidentia oppositorum, yang dalam keseluruhannya semua ketegangan
dapat dipecahkan. Kedua, visi
yang menegaskan bahwa ia adalah penutup Walāyah Muhammadiyyah.[17]
Ia kembali pergi
ke Makkah pada tahun 604 H. /1207 M.
Hanya satu tahun ia tinggal di kota
suci ini. Setelah itu ia pergi ke Asia Kecil melalui Aleppo. Ia sampai di Konya, atau
Quniyyah, pada tahun 607 H./1210 M. Di sana
ia disambut hangat oleh Raja Kay Kaus dan penduduknya. Pengaruhnya di Konya
menyebar dengan cepat di masyarakat dan khususnya di kalangan para sufi. Di
kemudian hari pengaruhnya menjalar ke mana-mana dan menjadi dominan dalam
sejarah perkembangan tasawuf di seluruh dunia Islam sampai hari ini. Tokoh yang
paling berjasa dalam proses penyebaran ajaran Ibnu ‘Arabi adalah Sadr ad-Din al-Qunawi (w. 673 H/1274
M), murid terdekat dan terpenting Ibnu ‘Arabi, dan menjadi komentator
karya-karya gurunya itu. Beberapa ahli mengakui bahwa al-Qunawi adalah tokoh
yang berhasil membantu pemaduan ajaran-ajaran Ibnu ‘Arabi dan sufisme timur.[18]
Pada tahun
608 H Ibnu ‘Arabi memasuki Irak
bermaksud menemui Syaikh Syihabuddin ‘Umar as-Suhrawardi, mursyid Madrasah Sufi
di Bagdad. Diceritakan bagaimana Ibnu ‘Arabi bertemu dengan as-Suhrawardi;
untuk yang pertama, masing-masing saling
memandang dalam waktu yang agak lama
tanpa sepatah kata pun keluar dari lisan keduanya, kemudian keduanya berpisah
tanpa mengeluarkan ucapan sedikit pun. Setelah pertemuan ini berlalu berkatalah
as-Suchrawardi kepada para muridnya
mengenai Ibnu ‘Arabi: “Huwa bahrun
‘amīq fi al-Haqīqah” Dia
adalah lautan yang dalam mengenai hakekat[19]
Di Bagdad banyak terjadi karomat,
tajalliyat, dan isyrāqāt spiritual Ibnu ‘Arabi, sehingga karenanya berkumpulah
kepadanya para pengikutnya dan para pencari hakikat berbondong-bondong menemuinya dari berbagai pelosok.
Namun, meskipun di
Bagdad ia disambut hangat oleh para pengikutnya, Ibnu ‘Arabi tidak tinggal lama
di Bagdad, malah kemudian ia pergi ke Halb dan dari kota
ini beliau menuju ke kota
Damaskus dan dari Damaskus Ibnu ‘Arabi pergi berziarah ke Majid al-Aqsa.
Berulang kali beliau pulang pergi antara Syam dan Hijaz hingga ia mengakhiri
perjalanannya di Damaskus tahun 620 H., ketika umur beliau menginjak 60 tahun.
Beliau menghabiskan sisa umurnya di Damaskus dengan riyādoh, mengarang dan
menulis.
Raja Mu’azzam putera Raja al-Malik al-‘Ādil menaruh kepercayaan
yang amat besar kepada Ibnu ‘Arabi. Raja
Mu’azzam selalu menghadiri pengajian yang diselenggarakan Ibnu ‘Arabi dengan
hidmat. Demikian juga Qadi Qudāt Damaskus, penganut Mazhab Syafi’i, yang
bernama Syamsuddin Ahmad al-Khauli berhidmah kepada Ibnu ‘Arabi seperti
layaknya pengabdian seorang hamba sahaya kepada majikannya. Hal ini dilakukan
semata-mata karena mengagungkan ketinggian kedudukan dan keilmuan Ibnu
‘Arabi. Al-Khauli banyak mengambil ilmu dan hikmah dari Ibnu ‘Arabi
sekaligus mengikuti sirahnya (perjalanan hidupnya). Kecuali itu, Hakim Agung yang bermazhab Maliki menghendaki
kemuliaan, tak segan-segan ia menikahkan anak perempuannya kepada Ibnu
‘Arabi. Dihikayatkan, bahwa ia pernah meninggalkan suatu persidangan dengan dasar
teori yang ia dapatkan dari Ibnu ‘Arabi. Dalam pada itu, masih di Damaskus,
Hakim Ibnu Zaki selalu memberikan keleluasaan kehidupan kepada Ibnu
‘Arabi. Secara rutin tiap hari, ia
mengirimkan tiga puluh dirham dan ia menyerahkannya ke rumah Ibnu ‘Arabi.[20]
Di penghujung
bulan Muharram tahun 627 H, -dalam kejadian
spiritual- datanglah kepada Ibnu
‘Arabi Nabi Muhammad saw. menyerahkan kitab “Fusūs
al-Hikam” dan beliau memerintahkan Ibnu ‘Arabi agar menyebar luaskan kitab
tersebut kepada umat manusia. Mengenai kejadian ini Ibnu ‘Arabi menyatakan:
Pada tanggal 20
Muharam tahun 627 H. di suatu tempat
yang terpelihara di Damskus, dalam
tidurku, aku melihat Rasulullah saw dan di tangan beliau ada sebuah kitab, Nabi
berkata kepadaku: Ini adalah kitab “Fusûs
al-Hikam” ambilah dan sebarkanlah kepada umat manusia agar mereka mengambil
manfaat darinya. Aku menjawab: “Aku mendengar dan ketaatan hanya bagi Allah dan Rasul-Nya, juga
bagi uli al-Amri (penguasa) sebagaimana kami diperintah untuk berlaku demikian”. Kemudian aku mengikhlaskan
niat, membulatkan tekad dan kesungguhan untuk memperkenalkan kitab ini
sebagaimana didiktekan oleh baginda Rasulullah saw kepadaku tanpa dikurangi atau ditambah sedikitpun.[21]
Di Damaskus, Ibnu ‘Arabi beserta
keluarganya menghabiskan sisa hidupnya dengan tenang, tentram dan sakinah. Para murid dan pengikutnya berkeliling di sekitarnya.
Ibnu ‘Arabi menyusun kitab, menyampaikan wejangan-wejangan (mau’izah) dan
pemikiran-pemikiran falsafahnya hingga ahir hayatnya. Beliau meninggal di kota
itu pada malam Jum’at tanggal 27 Rabi al-Akhīr tahun 638 H. bertepatan
dengan tanggal 16 Agustus 1240 M. Beliau
di makamkan di kaki gunung Qasiun di luar kota Damaskus.
Ibnu ‘Arabi meninggalkan dua anak yaitu Sa’duddin Muhammad yang dilahirkan pada bulan Ramdan
tahun 618 H /1221 M. Ia seorang sastrawan sufisme besar yang
terkenal, ia mempunyai balai tempat menampilkan karya-karya seninya. Sa’duddin
meninggal pada tahun 656 H dan dimakamkan di luar kota
Damaskus di kaki gunung Qasiun bersebelahan dengan ayahnya, Ibnu ‘Arabi. Dan anak yang satu lagi adalah ‘Imāduddin Abu
‘Abdillah Muhammad, ia meninggal di Madrasah As-Sālihiyyah dan
juga dimakamkan di sebelah ayahandanya berdekatan dengan saudara tuanya. Ibnu
‘Arabi juga memiliki seorang putri bernama Sayyidah Zainab. Menurut Ibnu
‘Arabi, sejak kecil, anak putrinya
Zainab telah sering mendapatkan intuisi
(ilham) dan mukasyafah (terbuka hijab).[22]
[1] Abu al-‘Ala ‘Afifi, dalam pengantar
kitab Fusūs al-Hikam karya Ibnu
‘Arabi, Beirut:
Dār al-Kitāb al-‘Arabī, tth, hal. 5. Muhammad Ibrahim Muhammad Salim, Takyîd as-Sûfiyyah, fī al-Majmū’ah al-Hātimiyyah, (Mesir : Maţba’ah Hamadah al-Hādisiyyah, 1997), hal 10. Baca pula Tafsīr
al-Qur’an al-Karīm karya yang dinisbahkan kepada Ibnu ‘Arabi, juz I, hal. 1. Dalam pengantar Kitab Tafsīr
al-Qur’an al-Karīm, tertulis bahwa
Ibnu ‘Arabi dilahirkan pada tanggal 17 Ramdhan 560 H.
bertepatan dengan 28 Juli tahun 1165 M.
Di Barat ia disebut Ibnul ‘Arabi. Sementara di dunia timur ia disebut Ibnu
‘Arabi (tanpa al), untuk membedakan
antara Muhyiddin dengan Abu Bakar bin al-‘Arabi. Lihat: Dāirāt al-Ma’ārif, karya al-Bustāni, Juz
I, hal 599. Nafhat at-Tāib, karya al-Muqri, juz II, 175. al-Bidāyah wa an-Nihāyah, karya Ibnu
Kasir, juz 13, hal. 156. Tetapi
anehnya dalam beberapa sumber, ketika
menyebut Ibnu Arabi secara lengkap, ia adalah Abu Bakar Muhyiddin bin ‘Arabi,
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad bin
Abdillah at-Ţāi, al-Hātimi al-Andalusī,
as-Sûfi. Lihat! Muhammad Ibrahim Abdurrahman, Manhaj al-Fakhr ar-Rāzi baina Manāhiji
mu’āsirihi, (Madinah an-Nasr: As-
Sadr li hidmat at-Tibā’ah,
1989), hal. 44. Pengantar Tafir al-Qur’an al-Karīm karya Ibnu ‘Arabi,
hal 7. Husain az-Zahabi, at-Tafsîr wa
al-Mufasirūn, juz II, hal 340.
[2] Michel Chodkiewicz, Seal
of the Saints Prophetood and
Sainthood in the Doctrine of Ibn Arabi,
tr. Dwi Surya Atmaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 12.
[3] Kautsar Azhari Noer, Ibnu
Al-‘Arabi (Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan), (Jakarta: Paramadina,
tahun 1995, hal 18). (Imam Syamsuddin bin Musaddad menerangkan
bahwa Ibnu ‘Arabi adalah seorang anak
yang cerdas, teliti, banyak mengetahui ilmu pengetahuan dalam segala bidang,
cepat menangkap sesuatu dengan pikirannya, termasuk anak termaju dan terpintar
dalam negrinya. Di antara gurunya ialah Ibnu Zarqum, Ibnu al-Jaddi dan Abd. Al- Walid al-Hadrāmī. Di Magrib ia
berguru pada Muhammad bin Abdillah, pernah juga bertemu dan berguru kepada Abu Muhammad Abd al-Mun’im bin Muhammad
al-Khazrajī.
[4] Ibnu ‘Arabi mula-mula
belajar al-Qur’an pada Abu Bakar bin Khalaf dan ketika usia tujuh tahun ia
sudah berkenalan dengan kitab al-Kāfi. Ia banyak meriwayatkan hadis dari Abdul Hasan bin Muhammad bin Syuraih
ar-Rāi’ni melalui ayahnya. Kitab ini
dibaca, dan dipelajari dengan dipandu
seorang ulama besar Ali Qasim asy-Syarrāt al-Qurtubi di Seville. Ibnu ‘Arabi mempelajari kitab “at-Taisīr
li al-Ladduni” dari Ali Abu Bakar Muhammad bin Abu Jumrah. Lalu ia pun
berguru kepada Ibnu Zarqum Abu Muhammad Abdul Haq al-Isybilī al-Azdī. Ibnu
‘Arabi pernah juga mengikuti pelajaran hadis dari Abdul Qasim al-Khazrani dan
ulama-ulama lain, serta khusus mempelajari kitab Sahih Muslim pada Syaikh Abdul
Hasan bin Nasr pada bulan Sawal tahun 606 H. Banyak ulama-ulama yang memberikan
ijazah kepadanya, diantaranya Hāfiz as-Salafi, Ibnu Asākir dan Abu al-Faraj ibn
al-Jauzī.
[5] Kautsar Azhari Noer, Wahdat
al-Wujud, hal. 18. Futûhāt al-Makiyyah, Jilid 2. hal. 425.
[6] Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt
al-Makiyyah juz II, 436.
Keseriusannya dalam tasawuf, ia menghasilkan tulisan-tulisan mendalam dalam
bidang tasawuf antara lain kitab “al-Jāmi wa at-Tafsîl Haqāiq at-Tanzîl”,
kitab al-Juzwah al-Muqtabisah wa al-Khatarāt al-Muqtalisah, kitab Kasyf al-Makna
fi Tafsîr al-Asmā al-Husnā, Kitab Ma’ārif al-Ilāhiyyah dan
lain-lain.
[7] Bedakan Ibnu ‘Arabi
dari Ibnul ‘Arabi (468-543
H.), yang disebut pertama adalah penulis
al-Futūhāt al-Makkiyyah sementara
yang disebut kedua adalah Abu Bakar bin al-‘Arabi. Nama lengkapnya
adalah al-Imam al-‘Allāmah al-Faqih Muhammad bin Abdillah al-Ma’afiri al-Andalusi al-Isbili yang dikenal
dengan sebutan Ibnul ‘Arabi al-Maliki. Ia menulis tafsir corak fikih dalam mazhab Maliki, “Ahkām al-Qur’an”. Karya yang lainnya
dalam bidang tafsir adalah “al-Qānūn fi Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz”. Ia selain ahli dalam bidang
tafsir, juga ahli dalam bidang hadis, fikih dan usul al-Fiqh.
[8] Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt, juz II, hal. 23.
[11] Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt,
IV, 648.
[12] Ibnu Arabi, al-Futūhāt, I, 289.
[13] Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt,
II, 559.
[14] Ibnu ‘Arabi,
al-Futūhāt, III, 573..
[15] Muhammad Ibrahim Muhammad
Salim, Ta’yîd as-Sūfiyyah fi
al-Majmū’ah al-Hātimiyyah,
Matba’ah Hamadah al-Hādisah, tth. hal.
12.
Kautsar Azhari Noor,
Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan,
hal 21. Lihat pula H. Corbin, Creative
Imagination in The Sufism of Ibnu ‘Arabi, diterjemahkan oleh R. Manheim
(Priceton: Priceton University Press, 1969), hal 52-53.
[16] Kautsar Azhari Noer, Wahdat
al-Wujud, hal 89
[17] Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt al-Makiyyah, juz I, hal. 47- 48.
[18] Kautsar Azhari Noer, Wahdat al-Wujud, hal. 22.
[19] Ibnu ‘Arabi, Tafsīr al-Qur’an al-Karîm, juz I, hal, 6.
[20] Ibnu ‘Arabi, al-Futûhāt,
I, hal. 9.
[21] Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt, juz I, hal. 9.
[22] Ibrahim Muhammad Salim, Ta’yīd as-Sūfiyyah fi Majmu’at
al-Hatimiyyah, Beirut: Maj’ma’ah al-Hadisah, tth, hal. 30.

Kabarnya Wahabi banyak mengubah sebagian isi dari banyak kitab klasik. Apakah kitab karya Ibnu 'Arabi yang sekarang (yang beredar versi digital di internet) termasuk yang di ubah wahabi?
BalasHapus