Oleh Dr. ASEP SALAHUDIN
Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah merupakan tarekat yang terbesar dan paling
dinamis perkembangannya di pulau Jawa. Ada empat alasan seperti ditulis Ajid
Thohir (2002: 126), mengapa tarekat ini mendapat respon positif dan gerakannya
sangat cepat. Pertama, masyarakat Jawa pada umumnya sudah tidak asing lagi
terhadap kehidupan mistik, yang bahkan telah menjadi ciri dan karakternya,
Bahkan tarekat Qadiriyah yang memiliki kaitan langsung dengan nama Syekh Abdul
Qadir al-Jilani sejak abad 17 telah menjadi bagian penting dari pemahaman
keagaman mereka sehingga kemudian datangnya Tarekat Qadiriyah naqsyabandiyah
yang memiliki kaitan langsung dengan nama besar dengan tokoh ini tidak dapat
ditawar lagi; kedua, tarekat yang selama ini sedang mereka gandrungi yaitu
Syatariyah pada akhir abad 18 sedang mengalami kemunduran yang sangat drastis
teruatama pada pertengah abad ke-19 akobat kritik para ulama ortodoks Mekkah
karena terlalu banyak mengajarkan praktik pemikiran mistik spekulatif dan
mengabaikan nilai-niali syariat. Ketika didesak ulama ortodoks, para tokoh
pengembangnya tidak bisa lagi memberikan jawaban yang memuaskan sehingga tarekat
ini banyak ditinggalkan penganutnya; ketiga, kegelisahan masyarakat jawa karena
dominasi kolonialisme berikut berbagai kebijaknnya yang dilakukan secara
sepihak, telah memberi peluang reaksi bagi mereka untuk mencari lembaga dan
figur yang bisa memberikan pengayoman –baik secara spiriyual maupun politis—untuk
menyalurkan aspirasi mereka. Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah bersama pra kyai
dan haji yang mengembangkannya yang memang keseharaiannya menyatu dengan
masyarakat merupakan satu-satunya tempat pelarian ke arah ini. Sehingga dapat
memberikan kontrol psikologos dan ideologis sehingga dalam waktu yang sangat
singkat tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah bisa tersosialisasikan dengan cepat;
keempat, tarekat ini tidak terlalu kaku dalam mengajarkan doktrin ajarannya.
Tentu ikon dalam garekan kultural kaum tarekat adalah mursyid. Mursyid yang
mengambil posisi di pedalaman Tasikmalaya tidak lain KH Ahmad Sohibul Wafa
Tajul Arifin atau lebih karib dipanggil Abah Anom. Belia inila yang pada hari Senin tanggal 05
September 2011 bertepatan dengan hari ulang tahun pesantren yang ke 106
menghembuskan nafas yang terakhir, dpanggil Sang Khaliq ke pangkuan-Nya.
Ratusan ribu pelayat dan masyarakat menyemut mengiringi kepergian dan
memberikan penghormatan terakhirnya. Sebauh pemandangan mengharukan yang
memberikan peneguhan bagaimana hati mereka sudah merasa ikut terbawa oleh kyai yang
menjadi teladannya, kyai yang menjadi rujukan dalam moralitas, spiritualitas
dan cara hidup yang ikhlas dan sederhana.
Abah Anom di mata umatnya bukan sekadar mursyid dari gerakan tarekat yang
besar, bukan hanya pemimpin formal dari pesantren yang membawahi lembaga formal
dari mulai tingkat TKA sampai perguruan tinggi, namun juga “sahabat“ tempat
mengadu dan mencurahkan seluruh problem hidupnya untuk mendapatkan jalan keluarnya. Baik problem
psikologis dirinya, keluarga atau psiko sosial tentang kenegaraan.
Semua yang datang dilayaninya dengan sepenuh hati. Sebelum menyampaikan
maksudnya setiap orang disuruhnya makan terlebih dahulu. Bahkan setelah perut
kenyang ada banyak kejadian sebelum menyampaikan maksud tujuannya, sang mursyid
telah memberikan jawabannya.
Pesantren taraket
Ada banyak tipologi dalam kyai. Minimal kalau kita mengikuti apa yang
ditulis Turmudi (2003), para kyai bisa dibedakan menjadi empat
tipologi yaitu kyai pesantren, kiai tarekat, kiai politik dan kiai
panggung. Dalam dalam prakteknya bisa saja terjadi seorang kyai digolongkan
dalam lebih dari satu tipologi sebagaimana nampak dalam sosok Abah Anom
walaupun tentu yang dominan adalah sisi kyai tarekatnya.
Kyai tarekat ini dapat ditenggarai dengan sikap moderat yang
dikembangkannya. Disamping jaringan ”santrinya” yang menyebar dan ketaatan yang
bulat terhadap sosok mursyidnya yang tidak disangsikan lagi.
Inilah salah satu yang menjadi daya magnet masyarakat sekaligus kalau jaman
kolinialisme menjadi titik yang sangat dirisaukan kaum penjajah. Misalnya dalam
sebuah penelitian bagaimana kolonial Belanda awal abad ke-19 dalam melaksanakan
strategis pengkikishabisan tarekat di Indonesia melalui langkah-langkah : 1) ulama-ulama
yang mengajarkan dan mengamalkan tarekat dikucilkan atau dipersempit ruang geraknya agar masyarakat luas menolak
kehadiran mereka; 2) membujuk ulama-ulama lainnya yang berbeda paham tentang
tarekat dan tasawuf agar secara terus menerus mengumumkan kepada warga
masyarakat bahwa ajaran tarekat adalah ajaran yang menyimpang/bid’ah; 3)
Melakukan penangkapan terhadap para ulama yang memimpin pesantren atau madrasah
apabila ditemukan tanda-tanda bahwa di pesantren itu diajarkan tentang ilmu
tareqat.
Ragam
tarekat
Tentu ada banyak ragam
tarekat. Untuk menjaga otentisitas tarekat ini ormas Nahdatul
Ulama melakukan kualifikasi atas tarekat-tarekat mu’tabarah (tarekat yang memiliki mata rantai atau sanad sampai
kepada Nabi Muhammad saw dan tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran) dan
telah menilai 45 tarekat yang mu’tabarah.
Tarekat yang dipandang mu’tabarah itu adalah Rumiyah, Rifaiyah, Sa’diyah, Bakriyah, Justiyyah, Umariyyah,
Alawiyyah, Abbasiyyah, Zainiyyah, Dasuqiyyah, Akhbariyyah, Bayumiyyah,
Malamiyyah, Ghaiyyah, Tijaniyyah, Uwaisiyyah, Idrisiyyah, Samaniyyah,
Buhuriyyah, Usyaqiyyah, Kubrawiyyah, Maulawiyyah, Jalawatiyyah, Bairumiyyah,
Ghazaliyyah, Hamzawiyyah, Haddadiyyah,
Mabduliyyah, Sumbuliyyah, Idrusiyyah, Utsmaniyyah, Shadiliyyah, Sya’baniyyah,
Qalqasyaniyyah, Khadiriyyah, Shatariyyah, Khalwatiyyah, Bakdasiyyah,
Syuhriwiyyah, Ahmadiyyah, ‘Isawiyyah, Thuruq al-Akabir al-Auliya, Qadiriyah,
Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Khalidiyyah wa Naqsyabandiyah.
Suryalaya sendiri adalah tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah. Dinamakan tarekat
Qadiriyah Naqsyabandiyah karena tarekat ini merupakan kombinasi (gabungan) antara Qadiriyah dan
Naqsyabandiyah yang sering disebut dengan tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah.
Tarekat ini didirikan oleh Ahmad Khatib ibn Abdul Gaffar al-Sambasi al-Jawi
(wafat di Mekah tahun 1878 M). Penamaan ini kemungkinan menunjukan tentang
sikap kerendahhatian Syekh Khatib sehingga lebih memilih nama yang dinisbahkan
kepada guru-guru spiritualnya daripada
membuat nama sendiri. Padahal melihat ijtihadnya yang
besar penamaan baru itu sangat memungkinkan.
Tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah ini yang dengan sangat pesat berkembang di Nusantara. Pasca
wafatnya Syekh Khatib, kepemimpinan (mursyid) beralih ke Syekh Abdul Karim al-Bantani. Dan setelah
al-Bantani wafat, kemursyidan menjadi sangat banyak. Di antara sekian murysid
itu adalah Syekh Talhah. Sepeninggal Syekh Talhah beralih ke Abdullah bin
Mubarak bin Nur Muhammad yang sering disebut Abah Sepuh, pendiri Pondok
Pesantren Suryalaya Tasikmalaya dan kemudian tongkat kemursyidan berpindah ke
Abah Anom (K.H. Shahibul Wafa’ Tajul ‘Arifin) yang sangat terkenal dan baru saja meninggalkan kita itu.
Abah Anom telah
meninggalkan kita untuk selamanya. Mata air keteladanannya menjadi sangat relevan untuk senantiasa kita
injeksikan dalam tindakan kebangsaan. Keteladanan tentang sikap istikamah,
kejujuran, menyatunya tindakan dengan perbuatan, sikap toleran, dan empatiknya
kepada sesama tanpa melihat latar belakang mazhab, kelompok bahkan agama.
Selamat jalan, Guru.
Semoga damai di keabadian.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar