Minggu, 24 November 2013

TQN: Surayalaya dan Pesona Tarekat



Oleh Dr. ASEP SALAHUDIN

Sebagaimana dalam penelitian Zamaksyari Dhofier, pesantren Suryalaya merupakan bagian dari lima pondok pesantren di Jawa, yang menjadi basis penyebaran tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Kelima pesantren itu adalah Pesantren Pagentongan di Bogor, Pesantren Suryalaya di Tasikmalaya (keduanya di Jawa Barat), Pesantren Mranggen di Demak (Jawa Tengah),  Pesantren Rejoso serta Tebuireng di Jombang (Jawa Timur).
Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah merupakan tarekat yang terbesar dan paling dinamis perkembangannya di pulau Jawa. Ada empat alasan seperti ditulis Ajid Thohir (2002: 126), mengapa tarekat ini mendapat respon positif dan gerakannya sangat cepat. Pertama, masyarakat Jawa pada umumnya sudah tidak asing lagi terhadap kehidupan mistik, yang bahkan telah menjadi ciri dan karakternya, Bahkan tarekat Qadiriyah yang memiliki kaitan langsung dengan nama Syekh Abdul Qadir al-Jilani sejak abad 17 telah menjadi bagian penting dari pemahaman keagaman mereka sehingga kemudian datangnya Tarekat Qadiriyah naqsyabandiyah yang memiliki kaitan langsung dengan nama besar dengan tokoh ini tidak dapat ditawar lagi; kedua, tarekat yang selama ini sedang mereka gandrungi yaitu Syatariyah pada akhir abad 18 sedang mengalami kemunduran yang sangat drastis teruatama pada pertengah abad ke-19 akobat kritik para ulama ortodoks Mekkah karena terlalu banyak mengajarkan praktik pemikiran mistik spekulatif dan mengabaikan nilai-niali syariat. Ketika didesak ulama ortodoks, para tokoh pengembangnya tidak bisa lagi memberikan jawaban yang memuaskan sehingga tarekat ini banyak ditinggalkan penganutnya; ketiga, kegelisahan masyarakat jawa karena dominasi kolonialisme berikut berbagai kebijaknnya yang dilakukan secara sepihak, telah memberi peluang reaksi bagi mereka untuk mencari lembaga dan figur yang bisa memberikan pengayoman –baik secara spiriyual maupun politis—untuk menyalurkan aspirasi mereka. Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah bersama pra kyai dan haji yang mengembangkannya yang memang keseharaiannya menyatu dengan masyarakat merupakan satu-satunya tempat pelarian ke arah ini. Sehingga dapat memberikan kontrol psikologos dan ideologis sehingga dalam waktu yang sangat singkat tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah bisa tersosialisasikan dengan cepat; keempat, tarekat ini tidak terlalu kaku dalam mengajarkan doktrin ajarannya.

Tentu ikon dalam garekan kultural kaum tarekat adalah mursyid. Mursyid yang mengambil posisi di pedalaman Tasikmalaya tidak lain KH Ahmad Sohibul Wafa Tajul Arifin atau lebih karib dipanggil Abah Anom.  Belia inila yang pada hari Senin tanggal 05 September 2011 bertepatan dengan hari ulang tahun pesantren yang ke 106 menghembuskan nafas yang terakhir, dpanggil Sang Khaliq ke pangkuan-Nya.
Ratusan ribu pelayat dan masyarakat menyemut mengiringi kepergian dan memberikan penghormatan terakhirnya. Sebauh pemandangan mengharukan yang memberikan peneguhan bagaimana hati mereka sudah merasa ikut terbawa oleh kyai yang menjadi teladannya, kyai yang menjadi rujukan dalam moralitas, spiritualitas dan cara hidup yang ikhlas dan sederhana.

Abah Anom di mata umatnya bukan sekadar mursyid dari gerakan tarekat yang besar, bukan hanya pemimpin formal dari pesantren yang membawahi lembaga formal dari mulai tingkat TKA sampai perguruan tinggi, namun juga “sahabat“ tempat mengadu dan mencurahkan seluruh problem hidupnya untuk  mendapatkan jalan keluarnya. Baik problem psikologis dirinya, keluarga atau psiko sosial tentang kenegaraan.

Semua yang datang dilayaninya dengan sepenuh hati. Sebelum menyampaikan maksudnya setiap orang disuruhnya makan terlebih dahulu. Bahkan setelah perut kenyang ada banyak kejadian sebelum menyampaikan maksud tujuannya, sang mursyid telah memberikan jawabannya.

Pesantren taraket

Ada banyak tipologi dalam kyai. Minimal kalau kita mengikuti apa yang ditulis Turmudi (2003), para kyai bisa dibedakan menjadi empat tipologi yaitu kyai pesantren, kiai tarekat, kiai politik dan kiai panggung. Dalam dalam prakteknya bisa saja terjadi seorang kyai digolongkan dalam lebih dari satu tipologi sebagaimana nampak dalam sosok Abah Anom walaupun tentu yang dominan adalah sisi kyai tarekatnya.

Kyai tarekat ini dapat ditenggarai dengan sikap moderat yang dikembangkannya. Disamping jaringan ”santrinya” yang menyebar dan ketaatan yang bulat terhadap sosok mursyidnya yang tidak disangsikan lagi.

Inilah salah satu yang menjadi daya magnet masyarakat sekaligus kalau jaman kolinialisme menjadi titik yang sangat dirisaukan kaum penjajah. Misalnya dalam sebuah penelitian bagaimana kolonial Belanda awal abad ke-19 dalam melaksanakan strategis pengkikishabisan tarekat di Indonesia melalui langkah-langkah : 1) ulama-ulama yang mengajarkan dan mengamalkan tarekat dikucilkan atau dipersempit  ruang geraknya agar masyarakat luas menolak kehadiran mereka; 2) membujuk ulama-ulama lainnya yang berbeda paham tentang tarekat dan tasawuf agar secara terus menerus mengumumkan kepada warga masyarakat bahwa ajaran tarekat adalah ajaran yang menyimpang/bid’ah; 3) Melakukan penangkapan terhadap para ulama yang memimpin pesantren atau madrasah apabila ditemukan tanda-tanda bahwa di pesantren itu diajarkan tentang ilmu tareqat. 

Ragam tarekat

Tentu ada banyak ragam tarekat.   Untuk menjaga otentisitas tarekat ini ormas Nahdatul Ulama melakukan kualifikasi atas tarekat-tarekat mu’tabarah (tarekat yang memiliki mata rantai atau sanad sampai kepada Nabi Muhammad saw dan tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran) dan telah menilai 45 tarekat yang mu’tabarah.  Tarekat yang dipandang mu’tabarah itu adalah Rumiyah, Rifaiyah, Sa’diyah, Bakriyah, Justiyyah, Umariyyah, Alawiyyah, Abbasiyyah, Zainiyyah, Dasuqiyyah, Akhbariyyah, Bayumiyyah, Malamiyyah, Ghaiyyah, Tijaniyyah, Uwaisiyyah, Idrisiyyah, Samaniyyah, Buhuriyyah, Usyaqiyyah, Kubrawiyyah, Maulawiyyah, Jalawatiyyah, Bairumiyyah, Ghazaliyyah, Hamzawiyyah, Haddadiyyah, Mabduliyyah, Sumbuliyyah, Idrusiyyah, Utsmaniyyah, Shadiliyyah, Sya’baniyyah, Qalqasyaniyyah, Khadiriyyah, Shatariyyah, Khalwatiyyah, Bakdasiyyah, Syuhriwiyyah, Ahmadiyyah, ‘Isawiyyah, Thuruq al-Akabir al-Auliya, Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Khalidiyyah wa Naqsyabandiyah.

Suryalaya sendiri adalah tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Dinamakan tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah karena tarekat ini merupakan  kombinasi (gabungan) antara Qadiriyah dan Naqsyabandiyah yang sering disebut dengan tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah.

Tarekat ini didirikan oleh Ahmad Khatib ibn Abdul Gaffar al-Sambasi al-Jawi (wafat di Mekah tahun 1878 M). Penamaan ini kemungkinan menunjukan tentang sikap kerendahhatian Syekh Khatib sehingga lebih memilih nama yang dinisbahkan kepada guru-guru spiritualnya daripada  membuat nama sendiri. Padahal melihat ijtihadnya yang besar penamaan baru itu sangat memungkinkan.

Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah ini yang dengan sangat pesat berkembang di Nusantara. Pasca wafatnya Syekh Khatib, kepemimpinan (mursyid) beralih ke  Syekh Abdul Karim al-Bantani. Dan setelah al-Bantani wafat, kemursyidan menjadi sangat banyak. Di antara sekian murysid itu adalah Syekh Talhah. Sepeninggal Syekh Talhah beralih ke Abdullah bin Mubarak bin Nur Muhammad yang sering disebut Abah Sepuh, pendiri Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya dan kemudian tongkat kemursyidan berpindah ke Abah Anom (K.H. Shahibul Wafa’ Tajul ‘Arifin) yang sangat terkenal  dan baru saja meninggalkan kita itu.

Abah Anom telah meninggalkan kita untuk selamanya. Mata air keteladanannya  menjadi sangat relevan untuk senantiasa kita injeksikan dalam tindakan kebangsaan. Keteladanan tentang sikap istikamah, kejujuran, menyatunya tindakan dengan perbuatan, sikap toleran, dan empatiknya kepada sesama tanpa melihat latar belakang mazhab, kelompok bahkan agama.

Selamat jalan, Guru. Semoga damai di keabadian.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar