Sabtu, 16 November 2013

ORIENTASI PERIWAYATAN KITAB MANAQIB SYAIKH ‘ABD AL-QĀDIR AL-JῙLĀNIY SEBAGAI MEDIA PENGAJARAN SUFI




Dr. Ajid Thohir, MA

Tulisan ini ingin menjelaskan posisi akademik, eksistensi, fungsi, epistemologi dan metodologi Kitab Manaqib Syaikh  ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy di tengah-tengah kehidupan lingkungan masyarakat sufi. Sekaligus juga akan mengklarifikasi atau menepis tuduhan kelompok-kelompok yang anti terhadap sufisme, dan seringkali membuat fitnah terhadap keberadaan para sufi. Meskipun tuduhan sebagian kecil kebanyakan dilakukan dari kalangan para fuqoha dan ahl hadits kelompok Wahabi, namun cukup menggangu terhadap objektifitas akademik serta keberadaan dan kewibawaan para sufi dalam mengembangkan dinamika peradabannya. Kitab Manaqib Syaikh  ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy dalam tradisi sufi, meskipun banyak mendapat sorotan negatif dari para penentangnya, namun kehadirannya terus memberi manfaat bagi kelompok yang menggunakannya.

Klarifikasi Atas Penolakan yang Anti Sufi
Dalam pandangan mereka (Wahabiyah), para sufi banyak yang mengingkari dan menyepelekan pentingnya sanad dan anti pada ilmu riwayat, namun dalam realitas sejarahnya, sebenarnya justru para sufi kebanyakan dan berprofesi sebagai guru-guru hadits yang tersebar di banyak zawiyah-zawiyah mereka[1]. Hal ini terbukti antara abad ke 5 dan ke 7 Hijriyyah, banyak sekali perguruan-perguruan ilmu hadits (dār al-hadīts) yang bermunculan dan berkembang dari kelompok-kelompok sufi[2].
Misalnya tuduhan miring itu telah dinyatakan oleh Salim al-Hilali dan Ziyad ad-Dabij, dalam salah satu sub judul dalam karyanya ia menulis, “Borok-Borok Sufi”. Lebih detil ia menyatakan sebagai berikut[3]:
Orang-orang sufi, dalam rangka merealisir ajarannya, menempuh beberapa jalan. Jalan terpenting itu, diantaranya:
1.       Menjauhkan diri dari menuntut ilmu syar'i. Dikatakan oleh Al-Junaid, seorang pentolan sufi, "Yang paling aku sukai pada seorang pemula, bila tak ingin berubah keadaannya, hendaknya jangan menyibukkan hatinya dengan tiga perkara berikut: mencari penghidupan, menimba ilmu (hadits) dan menikah. Dan yang lebih aku sukai lagi, pada penganut sufi, tidak membaca dan menulis. Karena hal itu hanya akan menyita perhatiannya". Demikian pula yang dikatakan Abu Sulaiman Ad-Darani, "Jika seseorang menimba ilmu (hadits), bepergian untuk mencari penghidupan, atau menikah, sungguh ia telah condong kepada dunia". Menghancurkan sanad-sanad hadits dan menshahihkan hadits-hadits dha'if (lemah), munkar dan maudhu' (palsu) dengan cara kasyaf. Sebagaimana dikatakan Abu Yazid Al-Busthami, "Kalian mengambil ilmu dari mayat ke mayat. Sedang kami mengambil ilmu dari yang Maha Hidup dan tidak pernah mati. Hal itu seperti yang telah disampaikan para pemimpin kami: "Telah mengabarkan pada aku hatiku dari Rabbku". Sedang kalian (maksudnya, kalangan Ahlu al-hadits) mengatakan: "Telah mengabarkan kepada kami Fulan". Padahal, bila ditanya dimana dia? (si Fulan tersebut) Tentu akan dijawab: "Ia (Fulan, yakni yang meriwayatkan ilmu atau hadits tersebut) telah meninggal". "(Kemudian) dari Fulan (lagi)". Padahal, bila ditanyakan dimana dia (Fulan tadi)? Tentu akan dijawab: "Ia telah meninggal". Dikatakan pula oleh Ibnu Arabi, "Ulama Tulisan mengambil peninggalan dari salaf (orang-orang terdahulu) hingga hari kiamat. Itulah yang menjauhkan atau menjadikan timbulnya jarak antara nasab mereka. Sedang para wali mengambil ilmu dari Allah (secara langsung -peny). Yakni, dengan cara Ia (Allah) mengilhamkan kedalam hati para wali". Dikatakan oleh Asy-Sya'rani, "Berkenan dengan hadits-hadits. Walaupun cacat menurut para ulama ilmu hadits, tapi tetap shahih menurut ulama ilmu kasyaf".
2.       Menganggap menimba ilmu (hadits) sebagai perbuatan aib dan merupakan jalan menuju kemaksiatan serta kesalahan. Ibnu Al-Jauzi menukil, bahwa ada seorang syaikh sufi melihat seorang murid membawa papan tulis (baca: buku), maka dikatakannya kepada murid tersebut :"Sembunyikan auratmu". Bahkan, mereka saling mewariskan sebagian pameo-pameo yang bertendensi menjauhkan peninggalan salaf, umpanya: Barang siapa gurunya kitab, maka salahnya lebih banyak dari benarnya.

Dalam realitas yang sesungguhnya, para sufi nyatanya telah menaruh minat yang sangat kuat dalam mewujudkan model pelestarian pengetahuan riwayat dalam persoalan-persoalan keagamaan, termasuk dalam bentuk informasi kisah-kisah keteladanan para pendahulunya. Hal ini mereka buktikan dengan semangatnya yang cukup kuat dalam menjaga keberadaan periwayatan tentang mereka dan bahkan sampai masuk pada sistem sanad spiritualnya. Secara khusus mewujudkan pelestarian sistem periwayatan spiritual, diabadikan dalam bentuk ijazah, khirqah, ilbas, bai’at, talqin dan sebagainya, sebagai intisari utama dari pengetahuan silsilah sufistik. Atau dalam tradisi dan afiliasi spiritual yang lain, merka membentuknya dalam tradisi “tawashul“ terhadap berbagai awrad yang diamalkannya kepada para guru-guru mereka hingga sampai kepada Rasulullah Saw.
Sehingga dalam banyak hal, dan menjadi tidak aneh lagi tradisi ini mereka praktekkan ketika para sufi juga begitu ketat dan kuat dalam upaya melestarikan sistem periwayatan hadits-hadits Nabi Muhammad Saw. Mereka selalu setia dalam mencantumkan sanad dan rawi pada suatu matan hadits yang digunakannya. Sehingga tuduhan di atas sangat bertolak belakang dengan keberadaan sikap para sufi sendiri dalam menjaga keberadaan keilmuan Islam dalam periwayatannya[4]. Bahkan dalam banyak hal, mereka teruji secara historis dan terbukti lebih kuat ketika mereka sangat ketat dan berhati-hati dalam pemeliharaan sanad-sanad spiritualnya. Mereka memilih guru-guru spiritual, sebagai oarang-orang yang terpilih baik secara geneologis intelektual maupun kesucian spiritualnya. Tidak sedikit para sufi besar sendiri selain sebagai ahli syari’at adalah juga sebagai ahli hadits dan juga sekaligus sebagai rawi serta ahli dalam berbagai bidang ilmu hadits[5].
Sebagaimana halnya masa-masa awal perkembangan sufi, Sufyan bin Sa’id al-Tsauri selain dipandang sebagai tokoh besar sufi di Basrah, juga dipandang sebagai ahli fiqh dan pendiri madzhab fiqh bahkan secara populer selalu disebut sebagai “amỉr al-mu’minīn fi al-hadīts“.[6] Ungkapan dia yang paling berkesan dalam pengembangan ilmu hadits dan pemeliharaan hadits adalah bagaimana membangun jembatan antara kekuatan ilmu riwayat dan jalan spiritualitas (ruhaniyah) sufi, dan itu adalah agar menjadi upaya kesadaran bagi kepribadian bagi ahli hadist sendiri, ia menyatakan[7]:

Tidaklah layak bagi para pencari ilmu hadits dan matan hadits, kecuali ia telah menapaki perjalanan spiritual (latihan sufistik dahulu) selama sepuluh tahun, karena jika sudah rusak para ahli ilmunya, maka akan mudah mereka tergelincir pada materialisme. Siapa yang akan sanggup memperbaikinya, karena mana mungkin seorang dokter yang sakit akan bisa menyembuhkan dirinya, apalagi untuk orang lain.

Sayyid al-Thaifah al-Sufiyyah Syaikh Al-Junaid al-Baghdadi dalam hal ini selalu menegaskan, bahwa kelompok sufi dibangun atas dasar al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karenanya, barang siapa yang mengabaikan pada hafalan dan tulisan tentang al-Qur’an dan hadits, serta tidak mau memperluas pemahaman keagamaan (fiqh)-nya dan tidak mau menseleksi jalan kesufiannya, maka jangan berharap mereka akan mendapat keridlaan Allah Swt secara sempurna[8]. Oleh karena itulah  ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy, Ibn Arabi dan tokoh-tokoh sufi besar lainnya adalah juga seorang ahli hadits yang memberikan banyak sumbangan karya dalam bidang hadits berikut periwayatannya. Karya al-Jilany, al-Ghunyah li Thāliby Tharīqi al-Haq begitu sarat dengan berbagai jalan perawian hadits-hadits dari gurunya. Dalam karya ini ia telah mengutip 386 hadits pada juz 1 dan 493 pada juz 2-nya[9]. Termasuk juga Ibn ‘Arabi, karyanya dibidang hadits al-Misykāt al-Anwār[10] yang berisi kumpulan hadits-hadits qudsi yang berkaitan dengan spiritualisme Islam, juga sarat dengan sistem perawiannya. Oleh karena itu, kedua sanad sekaligus rawi dan guru ilmu-ilmu hadits dari kedua tokoh sufi al-Jilaniy dan Ibn ‘Arabi berikut ini, nampaknya akan membuktikan bahwa tuduhan Salim al-Hilali dan Ziyad ad-Dabij di atas secara ilmiah perlu diragukan.
Berikut ini guru-guru ilmu hadits atau sanad dimana Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy  mengambil hadits dari guru-gurunya[11] seperti, al-Muhaddits Abu Muhammad bin Ja’far bin Ahmad bin al-Hasan bin Ahmad al-Baghdadi (w.500 H/1106 M), al-Muhaddits Abu Ghālib Muhammad bin al-Hasan bin Ahmad bin al-Hasan Khudzad al-Baqilani (w.500 H/1106M.), Syaikh al-Shodūq Abu Sa’d Muhammad bin ‘Abd al-Karim bin Khusyaisi al-Baghdadi (w.502 H/1108), Syaikh Abu Bakr Ahmad bin al-Mudzaffar bin Husain bin ‘Abdullah bin Sữsan al-Tammar (w.503 H/1109 M), al-Syaikh al-Musnid Abu al-Qosim ‘Aly bin Ahmad bin Muhammad bin Bayan bin Razzaz al-Baghdadi (w.510 H/1116 M), al-Syaikh al-Tsiqqah Abu Thalib ‘Abd al-Qodir bin Muhammad bin ‘Abd al-Qodir bin Muhammad bin Yusuf al-Baghdadi al-Yusafi (w.516 H/1122 M), al-Syaikh al-Muhaddits Abu al-Barakat Hibatullah bin Mubarak bin Musa al-Baghdadi al-Saqathi (w.509 H/1115 M), al-Syaikh Abu al-‘Iz Muhammad bin al-Mukhtar bin Muhammad bin ‘Abd al-Wahid bin ‘Abdullah bin Muayyad Billah al-Hasyimi al-‘Abbasi (w.508 H/1114 M).[12]
Berikut ini guru-guru ilmu hadits atau sanad Ibn ‘Arabi dalam bidang hadits[13] di antaranya: Ibn Qosim al-Tamimi, Yunus bin Yahya al-Hasyimi, al-Mas’ud ‘Abdullah bin Badr al-Habsi, Abu ‘Abdullah Muhammad bin Khalid al-Sadafi al-Tilmisani, Abul Hasan al-Husain ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Faryabi al-Lakhmi, Abul Walid bin Ahmad al-Ma’arifi, Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim, Abu Thahir al-Salafi, Abu Bakar Muhammad bin ‘Abdullah ibn al-‘Arabi, al-Zaki Ibn Abu Bakar al-‘Iraqi, Syarih ibn Muhammad al-Za’bi.
Pentingnya ilmu riwayat (sanad) bagi para sufi disamping karena tuntutan syari’at ilmu agama, juga karena suksesnya penyambungan tradisi suci spiritual sangat ditentukan oleh proses dan pengambilan sanad spiritual (khirqah awliyā wa ilbāsul khirqah) yang jelas dari pengembang sebelumnya[14]. Hal ini bisa dimengerti mengingat tradisi sufisme yang dibangun atas dasar kesadaran sebagai upaya membersihkan dan menyempurnakan para salik agar menjadi hamba yang shaleh dan ridlai Allah Swt, maka cara-cara untuk mendapatkannya perlu ditempuh dengan media personal yang dibenarkan berdasarkan syari’at agama dan kejelasan genetikanya, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah Nabi Muhammad Saw[15]. Misalnya salah satu upaya pewarisan tersebut menyangkut pewarisan akhlak dan spiritualitas Rasulullah Saw, maka semua proses dan upaya pewarisannya tentu harus melalui jalan terpenting dan termudah yakni melalui guru-guru mursyid yang langsung berperan sebagai penyambung sanad keagamaan dan spiritualitasnya sekaligus. Atau para mursyid dan saliknya memahami dan mengambil pewarisannya melalui kitab-kitab hadits dan sanad-sanad yang mengantarkannya atau bertabaruk melaluinya[16]. Mengapa hal ini terjadi, karena tidak semua sufi adalah ahli hadits, sehingga banyak juga membutuhkan informasi matan hadits, hasil dari kerja keras para ahli hadits[17]. Namun demikian, banyak pula ahli hadits yang sufi sebagaimana Sufyan Tsauri (w.161H/778 M) dan yang lainnya yang mampu mengumpulkan warisan kenabian Muhammad Saw melalui jalan periwayatan haditsnya[18].
Arti penting riwayat bagi para sufi adalah sama artinya dengan pewarisan agama itu sendiri secara menyeluruh. Oleh karena itulah pewarisan agama dan nilai-nilai spritualnya tidak sembarangan mereka ambil secara asal saja[19]. Semua guru-guru sufi sepakat bahwa pencarian guru agama dalam hal ini mursyid yang mampu mengembangkan potensi spiritualnya adalah kewajiban setiap individual muslim[20]. Belajar agama berikut spirtualitasnya tidaklah cukup hanya dari catatan-catatan buku atau kitab-kitab klasik, namun perlu didiskusikan atau dikonfirmasikan bahkan dijelaskan secara komprehensif pada ahlinya. Karena bahasa tulisan mengenai doktrin-doktrin syari‘at dan hikmah-hikmah agama, terkadang tidak sanggup menampung secara menyeluruh dan menyerap apa makna yang terkandung dalam istilah-istilah keagamaan itu sendiri. Karena itulah dalam perspektif sufi, setiap orang wajib memiliki guru agamanya yang bisa memberinya petunjuk baik secara lahir maupun bathinya. Para sufi sepakat bahwa guru-guru agama yang bisa dipercaya untuk bisa meriwayatkan agama dan keagamaannya, paling tidak harus memiliki empat sifat yang kemudian menjadi karakter pribadinya:[21]
1.       Harus menguasai dan mengetahui ilmu-ilmu yang difardlukan dalam agama, baik dalil dan hikmah yang terkandung di dalamnya;
2.       Harus ‘Arif billah, yakni mereka yang sudah merasakan dan menemukan hidup bersama Allah Swt;
3.       Harus mahir dalam mendidik dan menggunakan metode pembersihan jiwa;
4.       Harus sudah mendapat izin dari guru-guru mereka sebelumnya.
Syarat nomor empat dari calon-calon mursyid sufi ini, secara tersirat menunjukkan bahwa proses pewarisan sanad syari’at agama dan spiritualitas keagamaan, telah menjadi tolak ukur bagi syahnya penguatan dan kekuatan arti riwayat keagamaan seseorang. Karena salah satu syarat yang ditentukan seseorang syah tidaknya menjadi sorang mursyid sufi, adalah setelah ia mendapat restu atau khirqah dan ijazah kesufian dari mursyid sebelumnya yang diizinkan untuk dikembangkan pada murid-murid berikutnya. Tali spiritual (khirqah al-awliya) itu adalah warisan dari guru yang satu kepada guru yang kemudiannya, tentang etika pengajaran spirtual dan isi pegajarannya yang semuanya tersambung dari guru-guru sebelumnya, tidak boleh ada yang terputus sampai kepada sahabat Ali bin Abi Thalib krw atau Abu Bakar Siddiq dari Rasulullah Saw dari Malaikat Jibril as dan dari Allah Swt[22]. Sebagaimana halnya hadits, tidak dibolehkan seseorang meriwayatkan hadits, kecuali telah diketahui siapa rawi sebelumnya dan dari mana ia mengambilnya sampai ke Rasulullah Saw.
Dalam hal ini para sufi sepakat bahwa seseorang yang menapaki jalan spiritual tetapi tidak memiliki guru spiritual yang diandalkannya, maka syaitan akan mengantikannya sebagai gurunya[23]. Sehingga tidak jarang banyak orang yang tergelincir dalam spiritual dan akhirnya masuk dalam jalan kesesatan. Oleh karena itulah jika tidak menemukan seorang mursyid dalam satu wilayah, maka masih diwajibkan bagi seseorang untuk terus mencari dan menemukan mursyid yang sesui syarat dan kriteria di atas. Meskipun ia berada di lain negara, maka wajib baginya untuk menemuinya. Alasannya adalah karena dalam rangka upaya untuk mengobati kebodohannya dalam agama atau jika diibaratkan ia sedang sakit, maka kewajibannya untuk menyembuhkan berbagai penyakit hati dan mencari obat untuk bisa sehat ruhaninya, maka upaya menemukan dokter yang ahli dibidang ini meskipun berada di luar wilayah negaranya, maka ia wajib untuk mengejar dan menemuinya[24].
Karena kebeadaan mursyid kamil wa mukammil dalam dunia sufisme memang sangat jarang, maka proses pencarian dalam setiap zaman bagi para salik adalah sebuah kemestian. Namun demikian dalam setiap zaman Allah Swt tetap akan menghadirkannya, karena ia bertugas sebagai pewaris Nabi Muhammad Saw dalam mengem-bangkan spiritualitas syari’at Islam. Maka bagi siapa saja yang menemukan dan mengambil hikmah darinya, sungguh sangat beruntung. Demikian Ibn ‘Arabi dan sufi-sufi lainnya semacam Suhrawardi menyebut mereka (mursyid kāmil wa mukammil) sebagai rawi dalam spiritulaitas Islam[25], meraka adalah ibarat “belerang merah” (qibrit al-ahmar) ditengah-tengah padang pasir, sebagai sesuatu barang yang langka, namun pasti ada jika dicari[26]. Dalam hal ini, posisi kitab manaqib dan parktek pembacaannya telah memperkuat pada keberadaan pentingnya guru-guru sufi tersebut sebagai pusat keteladanan mereka, yakni bagi para salik maupun masyarakat yang mencintai orang-orang yang shaleh.
 Para sufi menyadari bahwa agama dan sufisme memang hasil dari warisan para ahli riwayat dan pemegang sanad spiritual termasuk KMSA adalah bagian dari sistem periwayatan mengenai dinamika spiritual para tokoh sufi sebelumnya. Pentingya periwayatan dalam agama sebagaimana Rasulullah Saw memberi nasihat pada Ibn ‘Umar ra dan meriwayatkannya sebagai berikut:

Rasulullah Saw telah menasihatiku, wahai Ibn ‘Umar perhatikan agamamu! Perhatikan agamamu! Karena ia adalah darah dagingmu, perhatikan dan waspadailah dari mana kau mengambilnya. Ambillah agamamu dari orang-orang yang istiqamah (terpelihara dalam keyakinan) jangan kau ambil dari mereka yang miring (mudah terbawa arus).[27] 

Oleh karena itu pula, secara keseluruhan isi kitab manaqib yang dibangun atas dasar-dasar periwayatan nampaknya sengaja dibuat untuk menuntun para penggunanya sebagai penguat bagi jalan intelektualitas maupun untuk mengukuhkan pola-pola kepengikutan para generasi muda untuk bisa belajar dari generasi sebelumnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Al-Junaid al-Baghdadi, bahwa berbagai kisah dan hikayat tentang prilaku para ahli ma’rifah dalam kitab manaqib, adalah sebagai wasilah dari sekian banyak pertolongan Allah Swt bagi para salik atau murid untuk mengukuhkan hati mereka. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw juga dikuatkan hatinya oleh cerita-cerita kenabian sebelumnya. Dasarnya adalah sebagaimana al-Qur’an (QS, Hud;120) menyatakan;
 “…dan semua kisah tentang cerita para rasul (dahulu) yang kami ceritakan adalah untuk meneguhkan keyakinan dalam hatimu”. Sehingga mendengarkan cerita kesalehan mereka, akan menjadi hikmah yang mengukuhkan keyakinan murid atau salik yang sedang menjalankan tugas berat spiritualnya, bahwa apa yang sedang mereka kerjakan juga pernah dilakukan oleh para pendahulu sebelumnya[28].
Melihat kuatnya para sufi menerima dan mempraktekkan esensi riwayat keagamaan, baik secara langsung dalam bentuk sanad ruhani maupun bentuk-bentuk penceritaan dari kisah-kisah pendahulu mereka, maka kecenderungan berbagai karya-karya yang menyangkut sufisme selalu banyak melibatkan peran riwayat di dalamnya. Termasuk dalam tradisi penulisan Kitab Manaqib Syaikh  ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy (KMSA) seperti dijelaskan di muka, begitu banyak menggunakan sistem periwayatan, baik lisan maupun rujukan dari komentar para ulama yang tertuang dalam kitab-kitab yang cukup akademik dan dipercaya (al-kutub al-shốreh wa al-mu’tamad), adalah bukti ke arah kuatnya pewarisan salafy (al-turats) yang selalu pada ujungnya berdimensi riwayat.
Sejumlah pendapat ulama dan kitab-kitab rujukan yang digunakan para penulis KMSA selalu menghiasi pada berbagai tulisan pada fasal-fasal manqabahnya. Karena dengan melalui riwayat keagamaan bukan hanya memudahkan dalam memberikan pemahaman dan kepraktisan dan kepastian dalam penulisan informasi, tapi juga telah memberi kontribusi yang cukup besar dalam menumbuhkan kekuatan dan tanggung jawab ilmiah secara objektif. Sehingga apa pun isi dan ragamnya pola-pola penulisan karya KMSA, nampaknya akan memudahkan untuk dipertanggungjawabkan di depan publik, baik dari sisi keilmiahan materi-materinya maupun dari sisi kredibilitas dan pertanggungjawaban rawi-rawinya. Karena seolah-olah isi materi yang dituangkan dalam karya tersebut, bukan hanya menjadi beban dan tanggung jawab si penulis KMSA belaka secara sendirian, tapi juga melibatkan para rawi dan ulama-ulama yang dirujuknya, semuanya ikut bertanggungjawab secara bersama-sama. Oleh karena itulah berbagai karya kitab manaqib khususnya KMSA selalu mencantumkan rawi-rawi dalam alur ceritanya, bahkan komentar para ulama-ulama besar di dalamnya. Berikut ini bukti dan contoh beberapa teks KMSA yang menggunakan sanad dan rawi dalam penulisan ceritanya: [29]

Berkata Syaikh kita al-Hafidz Abu al-Husain ‘Ali bin Muhammad: “aku mendengar Syaikh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdussalam al-Faqih al-Syafi’i berkata: “tidak pernah ada sesuatu yang aku menukil secara mutawatir mengenai karamat seseorang, kecuali tentang karamahnya Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy …termasuk tentang pemikirannya, sesuatu yang luar biasa dalam tradisi madzhab, meskipun ia bukanlah seorang pendiri sebuah madzhab (fiqh).

Syaikh al-Hafidz Abu al-Husain ‘Ali bin Muhammad, merupakan sebagai rawi dari teks kisah di atas. Sedangkan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Abdussalam al-Faqih al-Syafi’i adalah sebagai sanad utama dan ungkapannya sebagai berikut:
“Tidak pernah ada sesuatu yang aku menukil secara mutawatir mengenai karamat seseorang, kecuali tentang karamahnya Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy … termasuk tentang pemikirannya, sesuatu yang luar biasa dalam tradisi madzhab meskipun ia bukanlah seorang pendiri sebuah madzhab (fiqh)”.
Ungkapannya Syaikh Abdussalam ini banyak dikutip oleh ulama-ulama berikutnya, termasuk oleh Ibn Taymiyah[30]. Nampaknya, Syaikh Abdul Aziz bin Abdussalam adalah orang yang pertama kali secara tegas dan cukup berani dalam menyatakan validitas dan signifikansi posisi karamah Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy sebagai salah satu model dan media untuk pengajaran agama. Sebagai seorang qodli yang sangat berwibaya pada zamannya, dengan gelarnya sebagai “suthan al-‘ulama”, Ia telah memposisikan keberadaan sumber-sumber periwayatan dan materi-materi yang ada dalam kitab manaqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy pada posisi akademik yang bisa dipercaya dan bisa dipertanggungjawabkan, baik secara akademik maupun secara syari’ah.
Al-Hafidz ‘Imaduddin ibn Katsir menuliskan dalam al-Bidāyah wa al-Nihāyah-nya:

Syaikh penghidup Sunnah dan ajaran Islam, ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy datang ke Baghdad lalu sima’ dan menekuni hadits hingga memiliki keunggulan dalam disiplin ilmu tersebut. Beliau memiliki kepakaran dalam bidang hadits, fiqh, nasihat dan ilmu-ilmu hakikat. Beliau memiliki watak yang baik dan selalu diam dalam masalah-masalah yang tidak berkaitan dengan amar ma’ruf nahi munkar. Beliau melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap para khalifah, menteri, sultan, elite maupun awam. Beliau melontarkan kritiknya secara terbuka di atas mimbar-mimbar dan tempat-tempat pertemuan. Di jalan Allah tersebut, beliau tidak takut celaan oarang-orang yang suka mencela. Beliau senantiasa zuhud dan memiliki kondisi-kondisi peribadatan di luar kebiasaan manusia biasa serta mukasyafah-mukasyafah. Semoga Allah menyucikan kebaikannya dan menyinari makamnya.[31]

Dengan demikian, nilai dan substansi riwayat di kalangan para sufi bukan hanya sebagai rangkaian legitimasi kekuatan ilmu syari’ah, tapi juga secara spiritual memberikan ketersambungan ruhaniyah Islam dan menjalin nilai keterhubungan yang terus menerus antara satu ruhani ke ruhani berikutnya, dan selanjutnya hingga sampailah kepada Rasulullah Saw yang menjadi pusat tumpuan dari dimensi ilahiyyah. Inilah arti tawasul, sebagai dimensi penyambungan garis ruhaniyah yang antara pelimpahan “barakah” dari yang satu pada yang lainnya agar saling mengisi secara keberlanjutan. Sehingga hampir bisa dipastikan, bila pola periwayatan seperti itu cukup mewarnai pula dalam penulisan KMSA. Oleh karena itu, disemua cerita tentang karamah, pasti ada yang meriwayatkannya dan menceritakannya. Terlepas apakah sebagai saksi langsung dari hasil pengamatan yang terlibat secara fisik, maupun periwayatan yang lahir dari hasil-hasil kasyf, ru’yah shadiqah, musyahadah dan lain sebagainya. Semua cerita dan kisah yang didasarkan atas dasar empiris, maupun metafisik dalam dimensi sufistisme terkadang sama saja nilainya, bahkan temuan-temuan metafisik terkadang lebih diapresiasi secara holistik.



[1] Studi yang dilakukan oleh al-‘Ulaimi dalam Tārīkh al-Dāris al-Madārīs, juz 1-2, menunjukkan betapa zawiyah-zawiyah sufi berperan aktif dalam pengembangan penghafalan dan pengkajian hadits-hadits Nabi Muhammad Saw. Al-‘Ulaimi seringkali menyebut zawiyah-zawiyah tersebut sebagai “Dār al-Hadīts” atau “al-Madāris”. Perkembangan sejenis zawiyah ini di Damaskus saja sejak abad 5 -7 H, yakni sampai masa zaman penulisnya menyaksikan realitas tersebut. Pusat-pusat studi hadits tersebut tersebar sekitar 116 sejenis pusat-pusat zawiyah atau madaris dimana kelompok sufi berada di dalamnya. Lihat al-’Ulaimi, Tārīkh al-Dāris al-Madārīs juz 1, Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1998
[2] Al-‘Ulaimi, Tārikh al-Madāris Juz 1, h. 16-19. Lihat pula Ibn Bathuthah, Tuhfah al-Nadlār fī Gharāib al-Amshār wa ‘Ajāib al-Asfār (Rihlah Ibn Bahuthah), juz 1-2, Mathba’ah al-Tijāriyyah al-Kubra, Mesir, 1938.
[3] Al-Islam fi-Dla'u Al-Kitab wa As-Sunnah, cet.II, h. 81-97. Dimuat di majalah As-Sunnah edisi 17/II/1416H-1996M. Persoalan mendasar dari tuduhan mereka diantaranya adalah karena dalam salah satu keyakinan para sufi, terdapat pandangan bahwa Allah bisa langsung memberikan ilmu pada seseorang melalui kasyf, khususnya terhadap seseorang yang telah beribadah melampaui batas-batas yang difardlukanNya. Juga ada beberapa ungkapan para sufi besar yang dipandang anti pada riwayat atau sanad hadits sebagaimanan ungkapan Abu Yazid al-Busthamy dan al-Junaidy di atas. Padahal kedua ungkapan itu perlu dilihat dalam kontes psikologis dan sosiologisnya. Abu Yazid mengungkap itu karena adanya arogansi dari para ahli hadits saat itu tentang ilmu riwayat yang begitu sangat dibanggakannya. Termasuk Junaidy al-Baghdadi mengungkapkan itu pada dasarnya untuk kepentingan para salik muda agar bisa lebih berkonsentrasi dahulu pada pendidikan spiritualnya. Munculnya kritik dari para sufi tentang ilmu riwayat pada saat itu karena banyaknya ahli ilmu yang terlibat dan mengunakannya untuk kepentingan perdebatan, mujadalah dan pencarian popularitas. Lihat tinjauan langsung secara sosiologis tentang ilmu-ilmu agama yang banyak disalahgunakan oleh al-Ghazaly dalam karyanya al-Ashnāf al-Maghrūrīn; al-Kasyf wa al-Tabyīn fi Ghurūr al-Khalq Ajma’īn, Maktabah al-Qur’an, Kairo Mesir ,tt. atau dalam karya lain al-Ghazaly “al-Munqidz min al-Dhalal”. Termasuk lahir Ihya ‘Ulūm al-Din, adalah bentuk respon al-Ghazaly terhadap situasi ketimpangan para ilmuan muslim saat itu yang memperlakukan posisi ilmu-ilmu agama kurang pada tempat yang sewajarnya.
[4] Siraj al-Thusi, al-Luma’ fī Tarikh al-Tasawuf al-Islami, Dar Kutub ‘Ilmiyyah, Beirut,2001; h. 20-25
[5] Ibn Hajar al-Asqolani, Ghibthah al-Nādlir, h. 10, 34. Banyak anak cucu Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy yang mengembangkan dirinya sebagai ahli fiqh dan ahli hadits, hingga banyak yang bergelar sebagai “al-Hāfidz, al-Tsīqah, al-Zâhid”, seperti halnya, al-Qudwah Abu Bakar Abdur Razzaq bin Syaikh  ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy  (528-600 H). Adz-Dzahabi, Tarikh al-Siyar, juz 2, h. 2314
[6] ‘Abd al-Wahhab al-Sya’rani, Thabaqāt al-Kubrā juz I, Dar Fikr,tt; h. 47.
[7] ‘Abd al-Wahhab al-Sya’rani, Thabaqāt al-Kubrā juz I, h. 47
[8] Yahya al-Tadafi al-Hanbali, Kitāb Qolāid al-Jawāhir, h. 14
[9] Sanad dalam hadits-hadits yang juga diterima langsung dari guru-gurunya pada Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy dalam karyanya, al-Ghunyah tercatat misalnya: “ dari Abu Nashr dari ayahnya, telah menceritakan pada kami Abul Hasan Ali bin Ahmad al-Maqri, berkata Abul Husain Ahmad bin Usman bin Yahya al-Adami, berkata Abbas bin Muhammad bin Hatim al-Duwari, berkata Hajaj bin Muhammad al-A’war, berkata Ibn Juraij telah menceritakan pada saya Ismail bin Umayah dari Ayyub bin Khalid dari Ubaidillah bin Rafi‘ maula Abi Salmah dari Abu Hurairah ra. “Nabi memegang kedua tanganku dan berkata: ... Lihat al-Ghunyah li Thāliby Tharīqi al-Haq juz 2, Dar Fikr, 1956.h. 72
[10] Muhyi al-Din Muhammad Ibn ‘Ali Ibn ‘Arabi al-Hatimi al-Andalusi dalam karyanya al-Misykāt al-Anwār ini ia telah mengumpulkan 101 hadits-hadits qudsi yang ia terima dari guru-guru haditsnya. Fakta ini membuktikan sufi Ibn ‘Arabi adalah seorang tetap memelihara arti penting sanad dan rawi dalam hadits. Karya ini telah diterbitkan di Kairo tahun 1369/1951 dan di Aleppo tahun 1346/1927. Lihat Ibn ‘Arabi, Relung Cahaya, terj.Ari Anggari, Pustaka Firdaus, Jakarta,1996.
[11] Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy, Adāb al-Sulūk, Dar al-Sanabil, Damaskus, 1995;30-31, Adz-Dzahabi, Siyar a’lam al-Nubala, juz 2; 2310,
[12] Lihat Ibn Hajar al-Asqolani, Ghibthah al-Nādlir, h. 34
[13] Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Misykat al-Anwar, Relung Cahaya, terj. Ary Anggari, Pustaka Firdaus, Jakarta,1996; h. 8
[14] ‘Abd al-Wahhab al-Sya’rani, al-Anwār al-Qudsiyyah, h. 16-20
[15] Siraj al-Thusi, al-Luma’ fi Tarikh al-Tasawuf , h. 20
[16] Musthafa al-Kumsyakhnawy, Jậmi’ al-Ushūl fi al-Awliya, h.22. Kata tabarruk dalam dimensi sufistik, seringkali dipahami sebagai restu dan kebaikan yang diterima dari seorang suci. Karena ruh orang-orang yang disucikan (para wali mursyid) masih terus bekerja bagi pendidikan ruhani para generasi berikutnya. Lihat, Muhyiddin al-Irbili, Tafrîkh al-Khậthir, h.5. Henri Chmbert-Loir & Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, h. 532
[17] Kedekatan para sufi dengan para ahli hadits, fuqoha, mufassir maupun para ulama mujtahidin, terlihat dari beberapa tawasul dan amalan wiridan yang melibatkan para ahli agama dan keagamaan sebagai sesuatu yang selalu diberi penghormatan atau tasawulan. Lihat amalan-amalan yaumiyyah, TQN Suryalaya, Tijaniyyah, Rifaiyyah, Naqsyabandiyyah dan sebagainya. Sekilas Tentang Tarekat, http://www.sufis News.Com. Juli 2008
[18] Hadits-hadits yang banyak Sufyan al-Tasury kumpulkan, nampaknya lebih banyak mengarah pada hadits-hadits mengenai zuhud, hal ini mungkin didasarkan pada konteks dan situasi awal perkembangan gerakan sufisme. Hal mana seiring dengan gerakan Hasan al-Bashri bahwa di Bashrah telah muncul kelompok-kelompok asketis, dan al-Tsauri sendiri seringkali menolak beberapa ajakan khalifah Abu Ja’far al-Manshur untuk bisa bergabung dengannya. Bahkan secara kontras ajarannya lebih mengarahkan pada kehidupan zuhud dan mewaspadai akan tipu daya kehidupan duniawi. Ia banyak mengingatkan berbagai kalangan ulama dalam khotbah-khutbahnya untuk berhati-hati dalam hidup di akhir zaman ini. Mengenai berbagai doktrin pemikirannya lihat ‘Abd al-Wahhab al-Sya’rani, Thabaqāt al-Kubrā juz I, h. 47-50.
[19] Yahya al-Tadafi al-Hambali, Kitāb Qolāid al-Jawāhir, h.14.
[20] Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy, Adāb al-Sulūk, h. 54.
[21] ’Abd al-Qodir ‘Isa al-Halb, Haqāiq‘an al-Tasawwuf, Dar al-‘Irfan, Suriah, 2001; h. 68-69.
[22] ’Abd al-Qodir ‘Isa al-Halb, Haqāiq‘An al-Tasawwuf, h. 70-71.
[23] Amin al-Qurdy al-Naqsyabandi, Tanwīr al-Qulūb, Dar Ihya Kutub al-‘Arabiyah, tt; h. 524-525.
[24] ’Abd al-Qodir ‘Isa al-Halb, Haqāiq‘An al-Tasawwuf, h.71.
[25] Imam Suhrawardi dalam karya memberi catatan lebih detil lagi, bahwa seorang mursyid yang layak untuk diambil sanad spritualnya adalah mereka yang kehidupannya mewakili tradisi kenabian Muhammad Saw, mengikuti jalur sanad ruhani dari syaikh sebelumnya yang terus menyambung hingga Rasulullah Saw, menguasai ilmu syari’at Islam (akidah dan Fiqh), tidak banyak tergoda oleh tipuan dunia, telah berhasil dalam riyadlah spiritual seperti menyedikitkan makan, tidur, bicara; memperbanyak shalat, zakat, shadaqoh, puasa dan terpelihara dalam sifat dan perbuatannya seperti sabar, syukur, tawakal, yakin, dermawan, qona’ah, bijak, tawadlu, jujur, pemalu, pemaaf, sopan santun, tenang dan semacamnya. Lihat ‘Awarif al-Ma’arif, al-Hamisi bi Ihya ‘Ulumiddin, juz II, Dar Fikr,2002; h. 15-38
[26] Sayyid Muhhamad Haqqi al-Nazili, Khazīnah al-Asrār, Maktabah Thoha Putra Semarang, tt; h. 194-195
[27] Diriwayatkan oleh al-Hafidz bin ‘Adi dari Ibn ‘Umar, lihat “Kanz al-‘Ummal, juz 3;152
[28] Syaikh Dliyauddin Ahmad Musthafa al-Kumsyakhnawi, Jāmi’ al-Ushūl fi al-Awliya, Mathba’ah al-Haromain, tt, 282
[29] Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyar A’lām II, h. 2311
[30] Sebagai tokoh yang cukup mengagumi keberadaan Syekh  ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy, Ibn Taymiyah telah memberi komentar dan contoh-contoh yang baik dan pelik tentang fenomena keagamaan yang dinisbatkan pada Syekh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy. Seperti halnya ketika menjelaskan dalam Majmu’ Fatawa-nya untuk membedakan mana “awliya al-Rahman” dan “awliya al-Syaithan”, ia merujuk pada karamah yang terjadi pada diri Syekh  ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy. Ia dengan tegas mengakui kewaliannya, dan mengutip banyak hal dari kitab manaqibnya. Ia menyebutkan..”kama qāla fi manāqibihi al-masyhūrah…. Bahkan secara khusus ia telah membuat Kitab Syarh Futuh al-Ghaeb-nya Syekh  ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy, yang secara akademik ia telah merujuk secara konsisten pemikiran akidah yang dikembangkan oleh Syekh  ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy. Dalam kata-katanya ia selalu menyebut, kama qôla Syaikhuna… ini artinya ia telah mengakui Sykeh  ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy sebagai guru spiritualnya dan seniornya dalam madzhab Hanbaly. Lihat Ibn Taymiyah, Majmu’ Fatāwa, juz 8, h. 324. Majmu’ Fatāwa, juz 10, h.507. Majmu’ Fatāwa, juz 10, h.522, dan Ibn Taymiyah, Syarh Futūh al- Ghaeb, h. 5.
[31] Al-Hafidz ‘Imaduddin ibn Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah juz 3, Dar Fikr, 1998, h.323. Yahya al-Tadafi, Qolāid al-Jawāhir, h. 6. Abd al-Razzaq al-Kailany, al-Syaikh  ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy; al-Imam al-Zāhid al-Qudwah, Dar Qalam Damaskus, 1994; h. 286-287

Tidak ada komentar:

Posting Komentar