Tulisan ini ingin menjelaskan
posisi akademik, eksistensi, fungsi, epistemologi dan metodologi Kitab
Manaqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy di tengah-tengah kehidupan lingkungan
masyarakat sufi. Sekaligus juga akan mengklarifikasi atau menepis
tuduhan kelompok-kelompok yang anti terhadap sufisme, dan seringkali membuat
fitnah terhadap keberadaan para sufi. Meskipun tuduhan sebagian kecil kebanyakan
dilakukan dari kalangan para fuqoha dan ahl hadits kelompok Wahabi, namun cukup
menggangu terhadap objektifitas akademik serta keberadaan dan kewibawaan para
sufi dalam mengembangkan dinamika peradabannya. Kitab Manaqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy dalam tradisi sufi, meskipun banyak
mendapat sorotan negatif dari para penentangnya, namun kehadirannya terus
memberi manfaat bagi kelompok yang menggunakannya.
Klarifikasi Atas Penolakan yang Anti Sufi
Dalam pandangan mereka (Wahabiyah), para sufi banyak yang mengingkari dan
menyepelekan pentingnya sanad dan anti pada ilmu riwayat, namun dalam realitas sejarahnya,
sebenarnya justru para sufi kebanyakan dan berprofesi sebagai guru-guru hadits
yang tersebar di banyak zawiyah-zawiyah mereka[1].
Hal ini terbukti antara abad ke 5 dan ke 7 Hijriyyah, banyak sekali
perguruan-perguruan ilmu hadits (dār
al-hadīts) yang bermunculan dan berkembang dari kelompok-kelompok sufi[2].
Misalnya tuduhan miring itu telah dinyatakan oleh Salim al-Hilali dan Ziyad
ad-Dabij, dalam salah satu sub judul dalam karyanya ia menulis, “Borok-Borok
Sufi”. Lebih detil ia menyatakan sebagai berikut[3]:
Orang-orang
sufi, dalam rangka merealisir ajarannya, menempuh beberapa jalan. Jalan terpenting itu,
diantaranya:
1.
Menjauhkan diri dari menuntut ilmu syar'i.
Dikatakan oleh Al-Junaid, seorang pentolan sufi, "Yang paling aku sukai
pada seorang pemula, bila tak ingin berubah keadaannya, hendaknya jangan
menyibukkan hatinya dengan tiga perkara berikut: mencari penghidupan, menimba
ilmu (hadits) dan menikah. Dan yang lebih aku sukai lagi, pada penganut
sufi, tidak membaca dan menulis. Karena hal itu hanya akan menyita
perhatiannya". Demikian pula yang dikatakan Abu Sulaiman Ad-Darani,
"Jika seseorang menimba ilmu (hadits), bepergian untuk mencari penghidupan,
atau menikah, sungguh ia telah condong kepada dunia". Menghancurkan
sanad-sanad hadits dan menshahihkan hadits-hadits dha'if (lemah), munkar
dan maudhu' (palsu) dengan cara kasyaf. Sebagaimana
dikatakan Abu Yazid Al-Busthami, "Kalian mengambil ilmu dari mayat ke
mayat. Sedang kami mengambil ilmu dari yang Maha Hidup dan tidak pernah mati.
Hal itu seperti yang telah disampaikan para pemimpin kami: "Telah mengabarkan pada aku hatiku dari
Rabbku". Sedang kalian (maksudnya, kalangan Ahlu al-hadits)
mengatakan: "Telah mengabarkan
kepada kami Fulan". Padahal, bila ditanya dimana dia? (si Fulan
tersebut) Tentu akan dijawab: "Ia (Fulan, yakni yang meriwayatkan ilmu
atau hadits tersebut) telah meninggal". "(Kemudian) dari Fulan
(lagi)". Padahal, bila ditanyakan dimana dia (Fulan tadi)? Tentu akan
dijawab: "Ia telah meninggal". Dikatakan
pula oleh Ibnu Arabi, "Ulama
Tulisan mengambil peninggalan dari salaf (orang-orang terdahulu) hingga hari kiamat. Itulah yang
menjauhkan atau menjadikan timbulnya jarak antara nasab mereka. Sedang para wali
mengambil ilmu dari Allah (secara langsung -peny). Yakni, dengan cara Ia
(Allah) mengilhamkan kedalam hati para wali". Dikatakan oleh Asy-Sya'rani,
"Berkenan dengan hadits-hadits. Walaupun cacat menurut para ulama ilmu
hadits, tapi tetap shahih menurut ulama ilmu kasyaf".
2.
Menganggap menimba ilmu (hadits) sebagai
perbuatan aib dan merupakan jalan menuju kemaksiatan serta kesalahan. Ibnu
Al-Jauzi menukil, bahwa ada seorang syaikh sufi melihat seorang murid membawa
papan tulis (baca: buku), maka dikatakannya kepada murid tersebut
:"Sembunyikan auratmu". Bahkan, mereka saling mewariskan sebagian
pameo-pameo yang bertendensi menjauhkan peninggalan salaf, umpanya: Barang
siapa gurunya kitab, maka salahnya lebih banyak dari benarnya.
Dalam realitas yang
sesungguhnya, para sufi nyatanya telah menaruh minat yang sangat kuat dalam
mewujudkan model pelestarian pengetahuan riwayat dalam persoalan-persoalan
keagamaan, termasuk dalam bentuk informasi kisah-kisah keteladanan para
pendahulunya. Hal ini mereka buktikan dengan semangatnya yang cukup kuat dalam
menjaga keberadaan periwayatan tentang mereka dan bahkan sampai masuk pada sistem
sanad spiritualnya. Secara khusus mewujudkan pelestarian sistem periwayatan
spiritual, diabadikan dalam bentuk ijazah, khirqah, ilbas, bai’at, talqin
dan sebagainya, sebagai intisari utama dari pengetahuan silsilah sufistik. Atau
dalam tradisi dan afiliasi spiritual yang lain, merka membentuknya dalam tradisi
“tawashul“ terhadap berbagai awrad yang diamalkannya kepada para
guru-guru mereka hingga sampai kepada Rasulullah Saw.
Sehingga dalam banyak
hal, dan menjadi tidak aneh lagi tradisi ini mereka praktekkan ketika para sufi
juga begitu ketat dan kuat dalam upaya melestarikan sistem periwayatan
hadits-hadits Nabi Muhammad Saw. Mereka selalu setia dalam mencantumkan sanad
dan rawi pada suatu matan hadits yang digunakannya. Sehingga tuduhan di atas
sangat bertolak belakang dengan keberadaan sikap para sufi sendiri dalam
menjaga keberadaan keilmuan Islam dalam periwayatannya[4].
Bahkan dalam banyak hal, mereka teruji secara historis dan terbukti lebih kuat
ketika mereka sangat ketat dan berhati-hati dalam pemeliharaan sanad-sanad
spiritualnya. Mereka memilih guru-guru spiritual, sebagai oarang-orang yang
terpilih baik secara geneologis intelektual maupun kesucian spiritualnya. Tidak
sedikit para sufi besar sendiri selain sebagai ahli syari’at adalah juga
sebagai ahli hadits dan juga sekaligus sebagai rawi serta ahli dalam berbagai
bidang ilmu hadits[5].
Sebagaimana halnya
masa-masa awal perkembangan sufi, Sufyan bin Sa’id al-Tsauri selain dipandang
sebagai tokoh besar sufi di Basrah, juga dipandang sebagai ahli fiqh dan
pendiri madzhab fiqh bahkan secara populer selalu disebut sebagai “amỉr al-mu’minīn fi al-hadīts“.[6]
Ungkapan dia yang paling berkesan dalam pengembangan ilmu hadits dan
pemeliharaan hadits adalah bagaimana membangun jembatan antara kekuatan ilmu
riwayat dan jalan spiritualitas (ruhaniyah) sufi, dan itu adalah agar menjadi
upaya kesadaran bagi kepribadian bagi ahli hadist sendiri, ia menyatakan[7]:
Tidaklah
layak bagi para pencari ilmu hadits dan matan hadits, kecuali ia telah menapaki
perjalanan spiritual (latihan sufistik dahulu) selama sepuluh tahun, karena
jika sudah rusak para ahli ilmunya, maka akan mudah mereka tergelincir pada
materialisme. Siapa yang akan sanggup memperbaikinya, karena mana mungkin
seorang dokter yang sakit akan bisa menyembuhkan dirinya, apalagi untuk orang
lain.
Sayyid al-Thaifah
al-Sufiyyah Syaikh Al-Junaid al-Baghdadi dalam hal ini selalu menegaskan, bahwa
kelompok sufi dibangun atas dasar al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karenanya, barang
siapa yang mengabaikan pada hafalan dan tulisan tentang al-Qur’an dan hadits,
serta tidak mau memperluas pemahaman keagamaan (fiqh)-nya dan tidak mau
menseleksi jalan kesufiannya, maka jangan berharap mereka akan mendapat
keridlaan Allah Swt secara sempurna[8].
Oleh karena itulah ‘Abd al-Qādir
al-Jīlāniy, Ibn Arabi dan tokoh-tokoh sufi besar lainnya adalah juga seorang ahli
hadits yang memberikan banyak sumbangan karya dalam bidang hadits berikut
periwayatannya. Karya al-Jilany, al-Ghunyah
li Thāliby Tharīqi al-Haq begitu sarat dengan berbagai jalan perawian
hadits-hadits dari gurunya. Dalam karya ini ia telah mengutip 386 hadits pada
juz 1 dan 493 pada juz 2-nya[9].
Termasuk juga Ibn ‘Arabi, karyanya dibidang hadits al-Misykāt al-Anwār[10]
yang berisi kumpulan hadits-hadits qudsi yang berkaitan dengan spiritualisme
Islam, juga sarat dengan sistem perawiannya. Oleh karena itu, kedua sanad
sekaligus rawi dan guru ilmu-ilmu hadits dari kedua tokoh sufi al-Jilaniy dan
Ibn ‘Arabi berikut ini, nampaknya akan membuktikan bahwa tuduhan Salim
al-Hilali dan Ziyad ad-Dabij di atas secara ilmiah perlu diragukan.
Berikut ini guru-guru
ilmu hadits atau sanad dimana Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy mengambil hadits dari guru-gurunya[11]
seperti, al-Muhaddits Abu Muhammad bin Ja’far bin Ahmad bin al-Hasan bin Ahmad
al-Baghdadi (w.500 H/1106 M), al-Muhaddits Abu Ghālib Muhammad bin al-Hasan bin
Ahmad bin al-Hasan Khudzad al-Baqilani (w.500 H/1106M.), Syaikh al-Shodūq Abu
Sa’d Muhammad bin ‘Abd al-Karim bin Khusyaisi al-Baghdadi (w.502 H/1108),
Syaikh Abu Bakr Ahmad bin al-Mudzaffar bin Husain bin ‘Abdullah bin Sữsan
al-Tammar (w.503 H/1109 M), al-Syaikh al-Musnid Abu al-Qosim ‘Aly bin Ahmad bin
Muhammad bin Bayan bin Razzaz al-Baghdadi (w.510 H/1116 M), al-Syaikh
al-Tsiqqah Abu Thalib ‘Abd al-Qodir bin Muhammad bin ‘Abd al-Qodir bin Muhammad
bin Yusuf al-Baghdadi al-Yusafi (w.516 H/1122 M), al-Syaikh al-Muhaddits Abu
al-Barakat Hibatullah bin Mubarak bin Musa al-Baghdadi al-Saqathi (w.509 H/1115
M), al-Syaikh Abu al-‘Iz Muhammad bin al-Mukhtar bin Muhammad bin ‘Abd al-Wahid
bin ‘Abdullah bin Muayyad Billah al-Hasyimi al-‘Abbasi (w.508 H/1114 M).[12]
Berikut ini guru-guru ilmu
hadits atau sanad Ibn ‘Arabi dalam bidang hadits[13]
di antaranya: Ibn Qosim al-Tamimi, Yunus bin Yahya al-Hasyimi, al-Mas’ud
‘Abdullah bin Badr al-Habsi, Abu ‘Abdullah Muhammad bin Khalid al-Sadafi
al-Tilmisani, Abul Hasan al-Husain ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman
al-Faryabi al-Lakhmi, Abul Walid bin Ahmad al-Ma’arifi, Ahmad bin Muhammad bin
Ahmad bin Ibrahim, Abu Thahir al-Salafi, Abu Bakar Muhammad bin ‘Abdullah ibn
al-‘Arabi, al-Zaki Ibn Abu Bakar al-‘Iraqi, Syarih ibn Muhammad al-Za’bi.
Pentingnya ilmu riwayat
(sanad) bagi para sufi disamping karena tuntutan syari’at ilmu agama, juga
karena suksesnya penyambungan tradisi suci spiritual sangat ditentukan oleh
proses dan pengambilan sanad spiritual (khirqah awliyā wa ilbāsul khirqah) yang jelas dari pengembang sebelumnya[14].
Hal ini bisa dimengerti mengingat tradisi sufisme yang dibangun atas dasar
kesadaran sebagai upaya membersihkan dan menyempurnakan para salik agar menjadi
hamba yang shaleh dan ridlai Allah Swt, maka cara-cara untuk mendapatkannya
perlu ditempuh dengan media personal yang dibenarkan berdasarkan syari’at agama
dan kejelasan genetikanya, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah Nabi Muhammad Saw[15].
Misalnya salah satu upaya pewarisan tersebut menyangkut pewarisan akhlak dan
spiritualitas Rasulullah Saw, maka semua proses dan upaya pewarisannya tentu
harus melalui jalan terpenting dan termudah yakni melalui guru-guru mursyid
yang langsung berperan sebagai penyambung sanad keagamaan dan spiritualitasnya
sekaligus. Atau para mursyid dan saliknya memahami dan mengambil pewarisannya
melalui kitab-kitab hadits dan sanad-sanad yang mengantarkannya atau bertabaruk
melaluinya[16].
Mengapa hal ini terjadi, karena tidak semua sufi adalah ahli hadits, sehingga
banyak juga membutuhkan informasi matan hadits, hasil dari kerja keras para
ahli hadits[17].
Namun demikian, banyak pula ahli hadits yang sufi sebagaimana Sufyan Tsauri
(w.161H/778 M) dan yang lainnya yang mampu mengumpulkan warisan kenabian
Muhammad Saw melalui jalan periwayatan haditsnya[18].
Arti penting riwayat
bagi para sufi adalah sama artinya dengan pewarisan agama itu sendiri secara
menyeluruh. Oleh karena itulah pewarisan agama dan nilai-nilai spritualnya
tidak sembarangan mereka ambil secara asal saja[19].
Semua guru-guru sufi sepakat bahwa pencarian guru agama dalam hal ini mursyid
yang mampu mengembangkan potensi spiritualnya adalah kewajiban setiap
individual muslim[20].
Belajar agama berikut spirtualitasnya tidaklah cukup hanya dari catatan-catatan
buku atau kitab-kitab klasik, namun perlu didiskusikan atau dikonfirmasikan
bahkan dijelaskan secara komprehensif pada ahlinya. Karena bahasa tulisan
mengenai doktrin-doktrin syari‘at dan hikmah-hikmah agama, terkadang tidak
sanggup menampung secara menyeluruh dan menyerap apa makna yang terkandung
dalam istilah-istilah keagamaan itu sendiri. Karena itulah dalam perspektif
sufi, setiap orang wajib memiliki guru agamanya yang bisa memberinya petunjuk
baik secara lahir maupun bathinya. Para sufi sepakat bahwa guru-guru agama yang
bisa dipercaya untuk bisa meriwayatkan agama dan keagamaannya, paling tidak
harus memiliki empat sifat yang kemudian menjadi karakter pribadinya:[21]
1.
Harus menguasai dan mengetahui ilmu-ilmu yang
difardlukan dalam agama, baik dalil dan hikmah yang terkandung di dalamnya;
2. Harus ‘Arif
billah, yakni mereka yang sudah merasakan dan menemukan hidup bersama Allah
Swt;
3. Harus mahir
dalam mendidik dan menggunakan metode pembersihan jiwa;
4.
Harus sudah mendapat izin dari guru-guru
mereka sebelumnya.
Syarat nomor empat dari
calon-calon mursyid sufi ini, secara tersirat menunjukkan bahwa proses
pewarisan sanad syari’at agama dan spiritualitas keagamaan, telah menjadi tolak
ukur bagi syahnya penguatan dan kekuatan arti riwayat keagamaan seseorang.
Karena salah satu syarat yang ditentukan seseorang syah tidaknya menjadi sorang
mursyid sufi, adalah setelah ia mendapat restu atau khirqah dan ijazah
kesufian dari mursyid sebelumnya yang diizinkan untuk dikembangkan pada
murid-murid berikutnya. Tali spiritual (khirqah al-awliya) itu adalah warisan dari guru yang satu kepada guru yang
kemudiannya, tentang etika pengajaran spirtual dan isi pegajarannya yang
semuanya tersambung dari guru-guru sebelumnya, tidak boleh ada yang terputus
sampai kepada sahabat Ali bin Abi Thalib krw atau Abu Bakar Siddiq dari
Rasulullah Saw dari Malaikat Jibril as dan dari Allah Swt[22].
Sebagaimana halnya hadits, tidak dibolehkan seseorang meriwayatkan hadits,
kecuali telah diketahui siapa rawi sebelumnya dan dari mana ia mengambilnya
sampai ke Rasulullah Saw.
Dalam hal ini para sufi
sepakat bahwa seseorang yang menapaki jalan spiritual tetapi tidak memiliki
guru spiritual yang diandalkannya, maka syaitan akan mengantikannya sebagai
gurunya[23]. Sehingga
tidak jarang banyak orang yang tergelincir dalam spiritual dan akhirnya masuk
dalam jalan kesesatan. Oleh karena itulah jika tidak menemukan seorang mursyid
dalam satu wilayah, maka masih diwajibkan bagi seseorang untuk terus mencari
dan menemukan mursyid yang sesui syarat dan kriteria di atas. Meskipun ia
berada di lain negara, maka wajib baginya untuk menemuinya. Alasannya adalah
karena dalam rangka upaya untuk mengobati kebodohannya dalam agama atau jika
diibaratkan ia sedang sakit, maka kewajibannya untuk menyembuhkan berbagai
penyakit hati dan mencari obat untuk bisa sehat ruhaninya, maka upaya menemukan
dokter yang ahli dibidang ini meskipun berada di luar wilayah negaranya, maka
ia wajib untuk mengejar dan menemuinya[24].
Karena kebeadaan mursyid kamil wa mukammil dalam dunia
sufisme memang sangat jarang, maka proses pencarian dalam setiap zaman bagi
para salik adalah sebuah kemestian. Namun demikian dalam setiap zaman Allah Swt
tetap akan menghadirkannya, karena ia bertugas sebagai pewaris Nabi Muhammad Saw
dalam mengem-bangkan spiritualitas syari’at Islam. Maka bagi siapa saja yang
menemukan dan mengambil hikmah darinya, sungguh sangat beruntung. Demikian Ibn
‘Arabi dan sufi-sufi lainnya semacam Suhrawardi menyebut mereka (mursyid kāmil wa mukammil) sebagai rawi
dalam spiritulaitas Islam[25], meraka
adalah ibarat “belerang merah” (qibrit
al-ahmar) ditengah-tengah padang pasir, sebagai sesuatu barang yang langka,
namun pasti ada jika dicari[26]. Dalam hal
ini, posisi kitab manaqib dan parktek pembacaannya telah memperkuat pada
keberadaan pentingnya guru-guru sufi tersebut sebagai pusat keteladanan mereka,
yakni bagi para salik maupun masyarakat yang mencintai orang-orang yang shaleh.
Para sufi menyadari bahwa agama dan sufisme
memang hasil dari warisan para ahli riwayat dan pemegang
sanad spiritual termasuk KMSA adalah bagian dari sistem periwayatan mengenai
dinamika spiritual para tokoh sufi sebelumnya. Pentingya periwayatan dalam
agama sebagaimana Rasulullah Saw memberi nasihat pada Ibn ‘Umar ra dan meriwayatkannya
sebagai berikut:
Rasulullah Saw
telah menasihatiku, wahai Ibn ‘Umar perhatikan agamamu! Perhatikan agamamu!
Karena ia adalah darah dagingmu, perhatikan dan waspadailah dari mana kau
mengambilnya. Ambillah agamamu dari orang-orang yang istiqamah (terpelihara
dalam keyakinan) jangan kau ambil dari mereka yang miring (mudah terbawa arus).[27]
Oleh karena itu pula,
secara keseluruhan isi kitab manaqib yang dibangun atas dasar-dasar periwayatan
nampaknya sengaja dibuat untuk menuntun para penggunanya sebagai penguat bagi
jalan intelektualitas maupun untuk mengukuhkan pola-pola kepengikutan para generasi
muda untuk bisa belajar dari generasi sebelumnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh
Al-Junaid al-Baghdadi, bahwa berbagai kisah dan hikayat tentang prilaku para
ahli ma’rifah dalam kitab manaqib, adalah sebagai wasilah dari sekian banyak
pertolongan Allah Swt bagi para salik atau murid untuk mengukuhkan hati mereka.
Sebagaimana Nabi Muhammad Saw juga dikuatkan hatinya oleh cerita-cerita
kenabian sebelumnya. Dasarnya adalah sebagaimana al-Qur’an (QS, Hud;120)
menyatakan;
“…dan
semua kisah tentang cerita para rasul (dahulu) yang kami ceritakan adalah untuk
meneguhkan keyakinan dalam hatimu”. Sehingga mendengarkan cerita kesalehan
mereka, akan menjadi hikmah yang mengukuhkan keyakinan murid atau salik yang
sedang menjalankan tugas berat spiritualnya, bahwa apa yang sedang mereka
kerjakan juga pernah dilakukan oleh para pendahulu sebelumnya[28].
Melihat kuatnya para
sufi menerima dan mempraktekkan esensi riwayat keagamaan, baik secara langsung
dalam bentuk sanad ruhani maupun bentuk-bentuk penceritaan dari kisah-kisah
pendahulu mereka, maka kecenderungan berbagai karya-karya yang menyangkut
sufisme selalu banyak melibatkan peran riwayat di dalamnya. Termasuk dalam
tradisi penulisan Kitab Manaqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy (KMSA) seperti
dijelaskan di muka, begitu banyak menggunakan sistem periwayatan, baik lisan
maupun rujukan dari komentar para ulama yang tertuang dalam kitab-kitab yang
cukup akademik dan dipercaya (al-kutub
al-shốreh wa al-mu’tamad), adalah bukti ke arah kuatnya pewarisan salafy (al-turats) yang selalu pada ujungnya
berdimensi riwayat.
Sejumlah pendapat ulama
dan kitab-kitab rujukan yang digunakan para penulis KMSA selalu menghiasi pada
berbagai tulisan pada fasal-fasal manqabahnya. Karena dengan melalui riwayat
keagamaan bukan hanya memudahkan dalam memberikan pemahaman dan kepraktisan dan
kepastian dalam penulisan informasi, tapi juga telah memberi kontribusi yang
cukup besar dalam menumbuhkan kekuatan dan tanggung jawab ilmiah secara
objektif. Sehingga apa pun isi dan ragamnya pola-pola penulisan karya KMSA,
nampaknya akan memudahkan untuk dipertanggungjawabkan di depan publik, baik
dari sisi keilmiahan materi-materinya maupun dari sisi kredibilitas dan
pertanggungjawaban rawi-rawinya. Karena seolah-olah isi materi yang dituangkan
dalam karya tersebut, bukan hanya menjadi beban dan tanggung jawab si penulis
KMSA belaka secara sendirian, tapi juga melibatkan para rawi dan ulama-ulama
yang dirujuknya, semuanya ikut bertanggungjawab secara bersama-sama. Oleh
karena itulah berbagai karya kitab manaqib khususnya KMSA selalu mencantumkan
rawi-rawi dalam alur ceritanya, bahkan komentar para ulama-ulama besar di
dalamnya. Berikut ini bukti dan contoh beberapa teks KMSA yang menggunakan
sanad dan rawi dalam penulisan ceritanya: [29]
Berkata
Syaikh kita al-Hafidz Abu al-Husain ‘Ali bin Muhammad: “aku mendengar Syaikh
‘Abdul Aziz bin ‘Abdussalam al-Faqih al-Syafi’i berkata: “tidak pernah ada
sesuatu yang aku menukil secara mutawatir mengenai karamat seseorang, kecuali
tentang karamahnya Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy …termasuk
tentang pemikirannya, sesuatu yang luar biasa dalam tradisi madzhab, meskipun
ia bukanlah seorang pendiri sebuah madzhab (fiqh).
Syaikh al-Hafidz Abu
al-Husain ‘Ali bin Muhammad, merupakan sebagai rawi dari teks kisah di atas.
Sedangkan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Abdussalam al-Faqih al-Syafi’i adalah sebagai
sanad utama dan ungkapannya sebagai berikut:
“Tidak pernah ada
sesuatu yang aku menukil secara mutawatir mengenai karamat seseorang, kecuali
tentang karamahnya Syaikh ‘Abd
al-Qādir al-Jīlāniy … termasuk tentang pemikirannya, sesuatu yang luar biasa
dalam tradisi madzhab meskipun ia bukanlah seorang pendiri sebuah madzhab
(fiqh)”.
Ungkapannya Syaikh
Abdussalam ini banyak dikutip oleh ulama-ulama berikutnya, termasuk oleh Ibn
Taymiyah[30]. Nampaknya,
Syaikh Abdul Aziz bin Abdussalam adalah orang yang pertama kali secara tegas
dan cukup berani dalam menyatakan validitas dan signifikansi posisi karamah
Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy sebagai salah satu model dan media untuk
pengajaran agama. Sebagai seorang qodli yang sangat berwibaya pada zamannya,
dengan gelarnya sebagai “suthan al-‘ulama”, Ia telah memposisikan
keberadaan sumber-sumber periwayatan dan materi-materi yang ada dalam kitab
manaqib Syaikh ‘Abd al-Qādir
al-Jīlāniy pada posisi akademik yang bisa dipercaya dan bisa dipertanggungjawabkan,
baik secara akademik maupun secara syari’ah.
Al-Hafidz ‘Imaduddin ibn
Katsir menuliskan dalam al-Bidāyah wa
al-Nihāyah-nya:
Syaikh penghidup Sunnah dan ajaran Islam, ‘Abd al-Qādir
al-Jīlāniy datang ke Baghdad lalu sima’ dan menekuni
hadits hingga memiliki keunggulan dalam disiplin ilmu tersebut. Beliau memiliki
kepakaran dalam bidang hadits, fiqh, nasihat dan ilmu-ilmu hakikat. Beliau
memiliki watak yang baik dan selalu diam dalam masalah-masalah yang tidak
berkaitan dengan amar ma’ruf nahi munkar. Beliau melakukan amar ma’ruf nahi
munkar terhadap para khalifah, menteri, sultan, elite maupun awam. Beliau
melontarkan kritiknya secara terbuka di atas mimbar-mimbar dan tempat-tempat
pertemuan. Di jalan Allah tersebut, beliau tidak takut celaan oarang-orang yang
suka mencela. Beliau senantiasa zuhud dan memiliki kondisi-kondisi peribadatan
di luar kebiasaan manusia biasa serta mukasyafah-mukasyafah. Semoga Allah
menyucikan kebaikannya dan menyinari makamnya.[31]
Dengan demikian, nilai
dan substansi riwayat di kalangan para sufi bukan hanya sebagai rangkaian
legitimasi kekuatan ilmu syari’ah, tapi juga secara spiritual memberikan
ketersambungan ruhaniyah Islam dan menjalin nilai keterhubungan yang terus
menerus antara satu ruhani ke ruhani berikutnya, dan selanjutnya hingga
sampailah kepada Rasulullah Saw yang menjadi pusat tumpuan dari dimensi
ilahiyyah. Inilah arti tawasul, sebagai dimensi penyambungan garis ruhaniyah
yang antara pelimpahan “barakah” dari yang satu pada yang lainnya agar saling
mengisi secara keberlanjutan. Sehingga hampir bisa dipastikan, bila pola
periwayatan seperti itu cukup mewarnai pula dalam penulisan KMSA. Oleh karena
itu, disemua cerita tentang karamah, pasti ada yang meriwayatkannya dan
menceritakannya. Terlepas apakah sebagai saksi langsung dari hasil pengamatan
yang terlibat secara fisik, maupun periwayatan yang lahir dari hasil-hasil kasyf, ru’yah shadiqah, musyahadah dan
lain sebagainya. Semua cerita dan kisah yang didasarkan atas dasar empiris,
maupun metafisik dalam dimensi sufistisme terkadang sama saja nilainya, bahkan
temuan-temuan metafisik terkadang lebih diapresiasi secara holistik.
[1] Studi yang dilakukan oleh al-‘Ulaimi dalam Tārīkh al-Dāris al-Madārīs, juz 1-2,
menunjukkan betapa zawiyah-zawiyah sufi berperan aktif dalam pengembangan
penghafalan dan pengkajian hadits-hadits Nabi Muhammad Saw. Al-‘Ulaimi
seringkali menyebut zawiyah-zawiyah tersebut sebagai “Dār al-Hadīts” atau
“al-Madāris”. Perkembangan sejenis zawiyah ini di Damaskus saja sejak abad 5 -7
H, yakni sampai masa zaman penulisnya menyaksikan realitas tersebut.
Pusat-pusat studi hadits tersebut tersebar sekitar 116 sejenis pusat-pusat
zawiyah atau madaris dimana kelompok sufi berada di dalamnya. Lihat al-’Ulaimi,
Tārīkh al-Dāris al-Madārīs juz 1, Dar
Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1998
[2] Al-‘Ulaimi, Tārikh al-Madāris Juz 1, h. 16-19. Lihat pula Ibn Bathuthah, Tuhfah al-Nadlār fī Gharāib al-Amshār wa
‘Ajāib al-Asfār (Rihlah Ibn Bahuthah), juz 1-2, Mathba’ah al-Tijāriyyah
al-Kubra, Mesir, 1938.
[3] Al-Islam fi-Dla'u Al-Kitab wa As-Sunnah, cet.II, h. 81-97. Dimuat di majalah
As-Sunnah edisi 17/II/1416H-1996M. Persoalan mendasar dari tuduhan mereka
diantaranya adalah karena dalam salah satu keyakinan para sufi, terdapat
pandangan bahwa Allah bisa langsung memberikan ilmu pada seseorang melalui kasyf, khususnya terhadap seseorang yang
telah beribadah melampaui batas-batas yang difardlukanNya. Juga ada beberapa
ungkapan para sufi besar yang dipandang anti pada riwayat atau sanad hadits
sebagaimanan ungkapan Abu Yazid al-Busthamy dan al-Junaidy di atas. Padahal kedua
ungkapan itu perlu dilihat dalam kontes psikologis dan sosiologisnya. Abu Yazid
mengungkap itu karena adanya arogansi dari para ahli hadits saat itu tentang
ilmu riwayat yang begitu sangat dibanggakannya. Termasuk Junaidy al-Baghdadi
mengungkapkan itu pada dasarnya untuk kepentingan para salik muda agar bisa
lebih berkonsentrasi dahulu pada pendidikan spiritualnya. Munculnya kritik dari
para sufi tentang ilmu riwayat pada saat itu karena banyaknya ahli ilmu yang
terlibat dan mengunakannya untuk kepentingan perdebatan, mujadalah dan
pencarian popularitas. Lihat tinjauan langsung secara sosiologis tentang
ilmu-ilmu agama yang banyak disalahgunakan oleh al-Ghazaly dalam karyanya al-Ashnāf al-Maghrūrīn; al-Kasyf wa al-Tabyīn
fi Ghurūr al-Khalq Ajma’īn, Maktabah al-Qur’an, Kairo Mesir ,tt. atau dalam
karya lain al-Ghazaly “al-Munqidz min al-Dhalal”. Termasuk lahir Ihya
‘Ulūm al-Din, adalah bentuk respon al-Ghazaly terhadap situasi ketimpangan
para ilmuan muslim saat itu yang memperlakukan posisi ilmu-ilmu agama kurang
pada tempat yang sewajarnya.
[4] Siraj al-Thusi, al-Luma’ fī Tarikh al-Tasawuf al-Islami,
Dar Kutub ‘Ilmiyyah, Beirut,2001; h. 20-25
[5] Ibn Hajar al-Asqolani, Ghibthah al-Nādlir, h. 10, 34. Banyak
anak cucu Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy yang mengembangkan dirinya sebagai
ahli fiqh dan ahli hadits, hingga banyak yang bergelar sebagai “al-Hāfidz,
al-Tsīqah, al-Zâhid”, seperti halnya, al-Qudwah Abu Bakar Abdur Razzaq bin Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy (528-600 H). Adz-Dzahabi, Tarikh al-Siyar, juz 2, h. 2314
[6] ‘Abd al-Wahhab al-Sya’rani,
Thabaqāt al-Kubrā juz I, Dar Fikr,tt;
h. 47.
[7] ‘Abd al-Wahhab al-Sya’rani,
Thabaqāt al-Kubrā juz I, h. 47
[8] Yahya al-Tadafi al-Hanbali,
Kitāb Qolāid al-Jawāhir, h. 14
[9] Sanad dalam
hadits-hadits yang juga diterima langsung dari guru-gurunya pada Syaikh ‘Abd
al-Qādir al-Jīlāniy dalam karyanya, al-Ghunyah tercatat misalnya: “
dari Abu Nashr dari ayahnya, telah menceritakan pada kami Abul Hasan Ali bin
Ahmad al-Maqri, berkata Abul Husain Ahmad bin Usman bin Yahya al-Adami, berkata
Abbas bin Muhammad bin Hatim al-Duwari, berkata Hajaj bin Muhammad al-A’war,
berkata Ibn Juraij telah menceritakan pada saya Ismail bin Umayah dari Ayyub
bin Khalid dari Ubaidillah bin Rafi‘ maula Abi Salmah dari Abu Hurairah ra.
“Nabi memegang kedua tanganku dan berkata: ... Lihat al-Ghunyah li Thāliby Tharīqi
al-Haq juz 2, Dar Fikr, 1956.h. 72
[10] Muhyi
al-Din Muhammad Ibn ‘Ali Ibn ‘Arabi al-Hatimi al-Andalusi dalam karyanya al-Misykāt al-Anwār ini ia telah
mengumpulkan 101 hadits-hadits qudsi yang ia terima dari guru-guru
haditsnya. Fakta ini membuktikan sufi Ibn ‘Arabi adalah seorang tetap
memelihara arti penting sanad dan rawi dalam hadits. Karya ini telah
diterbitkan di Kairo tahun 1369/1951 dan di Aleppo tahun 1346/1927. Lihat Ibn
‘Arabi, Relung Cahaya, terj.Ari
Anggari, Pustaka Firdaus, Jakarta,1996.
[11] Syaikh ‘Abd
al-Qādir al-Jīlāniy, Adāb al-Sulūk,
Dar al-Sanabil, Damaskus, 1995;30-31, Adz-Dzahabi, Siyar a’lam al-Nubala, juz 2; 2310,
[12] Lihat Ibn Hajar al-Asqolani,
Ghibthah al-Nādlir, h. 34
[13] Muhyiddin Ibn
‘Arabi, Misykat al-Anwar, Relung Cahaya,
terj. Ary Anggari, Pustaka Firdaus, Jakarta,1996; h. 8
[14] ‘Abd
al-Wahhab al-Sya’rani, al-Anwār
al-Qudsiyyah, h. 16-20
[15] Siraj al-Thusi,
al-Luma’ fi Tarikh al-Tasawuf , h. 20
[16] Musthafa
al-Kumsyakhnawy, Jậmi’ al-Ushūl fi
al-Awliya, h.22. Kata tabarruk
dalam dimensi sufistik, seringkali dipahami sebagai restu dan kebaikan yang
diterima dari seorang suci. Karena ruh orang-orang yang disucikan (para wali
mursyid) masih terus bekerja bagi pendidikan ruhani para generasi berikutnya.
Lihat, Muhyiddin al-Irbili, Tafrîkh al-Khậthir,
h.5. Henri Chmbert-Loir & Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, h. 532
[17] Kedekatan
para sufi dengan para ahli hadits, fuqoha, mufassir maupun para ulama
mujtahidin, terlihat dari beberapa tawasul dan amalan wiridan yang melibatkan
para ahli agama dan keagamaan sebagai sesuatu yang selalu diberi penghormatan
atau tasawulan. Lihat amalan-amalan yaumiyyah, TQN Suryalaya, Tijaniyyah,
Rifaiyyah, Naqsyabandiyyah dan sebagainya. Sekilas
Tentang Tarekat, http://www.sufis News.Com.
Juli 2008
[18]
Hadits-hadits yang banyak Sufyan al-Tasury kumpulkan, nampaknya lebih banyak
mengarah pada hadits-hadits mengenai zuhud, hal ini mungkin didasarkan pada
konteks dan situasi awal perkembangan gerakan sufisme. Hal mana seiring dengan
gerakan Hasan al-Bashri bahwa di Bashrah telah muncul kelompok-kelompok
asketis, dan al-Tsauri sendiri seringkali menolak beberapa ajakan khalifah Abu
Ja’far al-Manshur untuk bisa bergabung dengannya. Bahkan secara kontras
ajarannya lebih mengarahkan pada kehidupan zuhud dan mewaspadai akan tipu daya
kehidupan duniawi. Ia banyak mengingatkan berbagai kalangan ulama dalam
khotbah-khutbahnya untuk berhati-hati dalam hidup di akhir zaman ini. Mengenai
berbagai doktrin pemikirannya lihat ‘Abd al-Wahhab al-Sya’rani, Thabaqāt al-Kubrā juz I, h. 47-50.
[19] Yahya
al-Tadafi al-Hambali, Kitāb Qolāid
al-Jawāhir, h.14.
[21] ’Abd al-Qodir ‘Isa al-Halb, Haqāiq‘an al-Tasawwuf, Dar al-‘Irfan, Suriah,
2001; h. 68-69.
[22] ’Abd al-Qodir ‘Isa al-Halb, Haqāiq‘An al-Tasawwuf, h. 70-71.
[23] Amin al-Qurdy al-Naqsyabandi, Tanwīr al-Qulūb, Dar Ihya Kutub
al-‘Arabiyah, tt; h. 524-525.
[24] ’Abd al-Qodir ‘Isa al-Halb, Haqāiq‘An al-Tasawwuf, h.71.
[25] Imam Suhrawardi dalam karya
memberi catatan lebih detil lagi, bahwa seorang mursyid yang layak untuk
diambil sanad spritualnya adalah mereka yang kehidupannya mewakili tradisi
kenabian Muhammad Saw, mengikuti jalur sanad ruhani dari syaikh sebelumnya yang
terus menyambung hingga Rasulullah Saw, menguasai ilmu syari’at Islam (akidah
dan Fiqh), tidak banyak tergoda oleh tipuan dunia, telah berhasil dalam
riyadlah spiritual seperti menyedikitkan makan, tidur, bicara; memperbanyak
shalat, zakat, shadaqoh, puasa dan terpelihara dalam sifat dan perbuatannya
seperti sabar, syukur, tawakal, yakin, dermawan, qona’ah, bijak, tawadlu,
jujur, pemalu, pemaaf, sopan santun, tenang dan semacamnya. Lihat ‘Awarif al-Ma’arif, al-Hamisi bi Ihya
‘Ulumiddin, juz II, Dar Fikr,2002; h. 15-38
[26] Sayyid Muhhamad Haqqi al-Nazili,
Khazīnah al-Asrār, Maktabah Thoha
Putra Semarang, tt; h. 194-195
[27] Diriwayatkan oleh al-Hafidz bin
‘Adi dari Ibn ‘Umar, lihat “Kanz
al-‘Ummal, juz 3;152
[28] Syaikh Dliyauddin Ahmad Musthafa
al-Kumsyakhnawi, Jāmi’ al-Ushūl fi
al-Awliya, Mathba’ah al-Haromain, tt, 282
[29] Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyar A’lām II, h. 2311
[30] Sebagai tokoh yang cukup
mengagumi keberadaan Syekh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy, Ibn Taymiyah telah memberi komentar dan
contoh-contoh yang baik dan pelik tentang fenomena keagamaan yang dinisbatkan
pada Syekh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy. Seperti halnya ketika menjelaskan dalam Majmu’ Fatawa-nya untuk membedakan mana “awliya al-Rahman” dan “awliya
al-Syaithan”, ia merujuk pada karamah yang terjadi pada diri Syekh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy. Ia
dengan tegas mengakui kewaliannya, dan mengutip banyak hal dari kitab
manaqibnya. Ia menyebutkan..”kama qāla fi
manāqibihi al-masyhūrah…. Bahkan secara khusus ia telah membuat Kitab Syarh
Futuh al-Ghaeb-nya Syekh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy, yang secara akademik ia telah merujuk
secara konsisten pemikiran akidah yang dikembangkan oleh Syekh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy. Dalam
kata-katanya ia selalu menyebut, kama
qôla Syaikhuna… ini artinya ia telah mengakui Sykeh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy sebagai guru spiritualnya dan seniornya dalam
madzhab Hanbaly. Lihat Ibn Taymiyah, Majmu’
Fatāwa, juz 8, h. 324. Majmu’ Fatāwa,
juz 10, h.507. Majmu’ Fatāwa, juz 10,
h.522, dan Ibn Taymiyah, Syarh Futūh al-
Ghaeb, h. 5.
[31] Al-Hafidz ‘Imaduddin ibn Katsir,
al-Bidāyah wa al-Nihāyah juz 3, Dar
Fikr, 1998, h.323. Yahya al-Tadafi, Qolāid
al-Jawāhir, h. 6. Abd al-Razzaq al-Kailany, al-Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāniy; al-Imam al-Zāhid al-Qudwah, Dar Qalam Damaskus, 1994; h. 286-287
Tidak ada komentar:
Posting Komentar