Minggu, 24 November 2013

USHUL FIQH: Historiografi Ushul Fiqh

Oleh H. Jamaludin, MAg

Bertolak dari pendapat Nurcholis Majid dalam bukunya “Persoalan Taqlid dan Ijtihad” sebagaimana dikutif oleh Asafri Jaya Bakri mengatakan bahwa suatu disiplin ilmu merupakan suatu hasil dari proses komulasi informasi dan pemikiran yang memiliki mata rantai dengan masa-masa sebelumnya,[1] maka uraian tentang perkembangan pemikiran hukum Islam masa-masa sebelum pembukuan menjadi penting untuk dipaparkan.
Pertumbuhan Ushul Fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam itu sendiri sejak zaman Rasulullah SAW sampai pada masa tersusunnya Ushul Fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriyah.
Sumber hukum Islam pada zaman Rasulullah SAW hanya dua, yaitu al-Qur`an dan Al-hadits atau al-Sunnah. Apabila muncul suatu kasus atau permasalahan, Rasulullah SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Namun apabila wahyu tidak turun, maka beliau menetapkan hukumnya melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan al-Hadits atau al-Sunnah.
Ilmu Ushul Fiqh lahir dan berkembang sejak abad ke-2 H. Ilmu tersebut pada abad pertama memang tidak diperlukan, karena Rasulullah SAW dapat mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu hukum berdasarkan ajaran al-Qur`an dan al-Sunnah yang diilhamkan kepadanya.
Para ulama ahli Ushul Fiqh menyimpulkan bahwa berbagai kasus pada zaman Rasulullah SAW yang diselesaikan atau ditetapkan hukumnya padahal tidak ada ketentuannnya secara eksplisit dalam al-Qur`an adalah memberikan isyarat bahwa Rasulullah SAW menetapkan hukum “ kasus per kasus ” melalui ijtihad. Hal ini dapat diketahui melalui sabda Rasulullah SAW, yang artinya “ sesungguhnya aku adalah manusia biasa, apabila aku perintahkan kepadamu sesuatu yang menyangkut agamamu, maka ambillah. Dan apabila aku perintahkan kepadamu sesuatu yang berasal dari pendapatku, maka sesungguhnya aku adalah manusia biasa”. Hasil ijtihad Rasulullah SAW ini secara otomatis menjadi sunnah sebagai sumber hukum dan dalil bagi umat Islam.
Rasulullah SAW dalam beberapa kasus tidak jarang menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya, ketika menjawab pertanyaan sahabat Umar ibn Khathab tentang batal tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya. Ketika itu, Rasulullah SAW menjawab denga sabdanya yang artinya “ Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal ? Umar menjawab : Tidak apa-apa (tidak batal). Rasulullah kemudian bersabda : teruskanlah puasa....”(HR. Bukhari dan Muslim).
Sabda Rasulullah SAW di atas, menurut para ulama Ushul Fiqh adalah sebuah proses bagaimana Rasulullah SAW meng-qiyas-kan hukum mencium isteri dalam keadaan puasa dengan hukum berkumur-kumur bagi orang yang sedang berpuasa. Jika berkumur-kumur tidak membatalkan puasa, maka mencium isteri pun tidak membatalkan puasa.
Cara-cara Rasulullah SAW dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit munculnya ilmu Ushul Fiqh. Karenanya, para ulama Ushul Fiqh menyatakan bahwa keberadaan Ushul Fiqh bersamaan dengan hadirnya fiqh, yaitu sejak zaman Rasulullah SAW. Bibit ini semakin jelas terlihat pada zaman sahabat, karena wahyu dan sunnah Rasulullah SAW tidak turun lagi, sementara persoalan yang mereka hadapi selain vareatif juga semakin berkembang.
Sejalan dengan pendapat di atas, Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya “Ilmu Ushul Fiqh” menegaskan bahwa Ushul Fiqh tidaklah tumbuh kecuali pada abad ke-2 Hijriyah, karena pada abad pertama hijriyah, ilmu tersebut belum diperlukan, dimana Rasulullah SAW berfatwa dan menjatuhkan putusan hukum menurut ajaran Al-Qur`an yang diwahyukan kepadanya, dan menurut al-Sunnah yang diilhamkan kepadanya. Juga menurut ijtihadnya secara naluri tanpa memerlukan ushul dan kaidah yang dijadikan pedoman dalam ber-istinbath dan ber-ijtihad. Sedangkan para sahabat Nabi SAW memberikan fatwa hukum dengan dalil-dalil nash yang dapat mereka pahami  berdasarkan kemampuan bahasa Arab yang baik tanpa memerlukan kaidah bahasa yang dijadikan pedoman dalam memahami nash. Mereka juga melakukan istinbath terhadap hukum yang tidak terdapat nash baginya berdasarkan kemampuan mereka dalam membina hukum syariat Islam yang telah mereka jiwai lantaran pergaulan mereka dengan Rasulullah SAW. Selain itu, mereka juga menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat dan datangnya hadits-hadits. Mereka telah memahami tujuan-tujuan pembuat hukum syariat Islam dan dasar-dasar pembentukannya. Tetapi ketika kemenangan Islam makin bertambah luas dan bangsa Arab mulai berinteraksi  dengan bangsa-bangsa lain, bergaul dalam bahasa Arab dan bergaul dalam tulis-menulis. Sehingga, di dalam bahasa Arab terjadi beberapa mufradat (kata-kata baru) dan uslub-uslub (gaya bahasa) yang bukan bahasa Arab, maka tidaklah kekal naluri bahasa itu dalam kondisi yang murni. Karenanya, terjadilah kesamaran dan kemungkinan-kemungkinan lain yang harus terjadi dalam memahami nash. Dari itulah diperlukan menyusun batasan-batasan da kaidah-kaidah bahasa, yang dengan itu nash bisa dipahami sebagaimana orang Arab dapat memahaminya lantaran datang sesuai dengan bahasanya. Fungsi menyusun kidah itu adalah tidak jauh berbeda dengan diperlukannya menyusun kaidah-kaidah Nahwu, yang dengan itu seseorang bisa berhasa secara baik.[2]
Apalagi sepeninggal Rasulullah SAW, banyak persoalan baru yang muncul dan menuntut para ulama untuk menetapkan hukumnya melalui upaya ijtihad mereka sendiri, dan tidak lagi menunggu pengesahan dari Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, semenjak masa sahabat, ijtihad mulai menjadi salah satu sumber hukum Islam. Sebagai contoh, ijtihad Umar bin Khattab yang tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seorang pencuri karena kelaparan. Begitu pula Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum menentukan maharnya, hanya berhak menerima mut’ah. [3]
Penetapan hukum yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya, baik ketika beliau masih hidup atau setelah wafatnya menjadi bukti terjadinya praktik ijtihad pada masa itu. Hanya saja, pada waktu itu tidak tersusun sebagai suatu ilmu yang kelak disebut Ushul Fiqh. Karena pada masa itu, ilmu tersebut belum dibutuhkan adanya. Sebab Rasulullah SAW mengetahui cara-cara nash dalam menunjukkan hukum, baik langsung atau tidak langsung, sehingga beliau tidak membutuhkan adanya suatu ilmu khusus yang mengatur kaidah-kaidah ijtihad. Demikian pula para sahabatnya yang tidak membutuhkan adanya kaidah-kaidah tersebut dalam berijtihad karena pergaulan mereka yang dekat dengan Rasulullah SAW, menyebabkan mereka mengetahui sebab-sebab turunya ayat (asbabun nuzul), sebab-sebab datang (asbabul wurud) hadits, dan memahami rahasia-rahasia syariat secara mendalam. Kemudian, pengetahuan dan penguasaan Bahasa Arab yang baik ikut menjadi faktor pendukung kemampuan memahami nash secara baik dan berijtihad tanpa membutuhkan adanya kaidah-kaidah tersebut. 
Pada masa tabi’in , tabi’ tabi’iin dan para imam mujtahid sekitar abad ke II dan III H, kekuasaan Islam meluas ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan berbahasa Arab atau bukan bangsa Arab, dimana situasi dan kondisi budayanya cukup berbeda-beda. Banyak diantara ulama yang bertebaranke daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit pula penduduk daerah tersebut yang masuk Islam. Konsekuensi logis dari semua itu adalah semakin kompleksnya persoalan-persoalan hukum yang ketetapannya tidak dijunpai dalam al-Qur`an dan al-Hadits. Oleh karena itu, ulama-ulama yang tinggaldi daerah-daerah tersebut melakukan ijtihad, mencarai ketetapan hukumnya berdasarkan penalaran mereka terhadap ayat-ayat al-Qur`an dan hadits nabi. Ditambah pula dengan pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidangnya pada masa itu, kegiatan ijtihad menjadi semarak dan maju pesat.
Di lain pihak kesemarakan kehidupan ijtihad tersebut ternyata menimbulkan banyak perbedaan pendapat dan polemik-polemik ilmiah di antara para ulama, baik mengenai hasil ijtihad, dalil-dalil yang digunakan, atau jalan-jalan yang mereka tempuh dalam berijtihad itu sendiri. Hal-hal seperti itu bukan saja terjadi antara ulama-ulama yang berdomisili di tempat yang sama. Kenyataan ini melahirkan ide baru bagi mereka untuk merumuskan kaidah-kaidah syariat sebagai panduan metodologis yang berkaitan dengan dasar-dasar dan tujuan-tujuan syara’ menetapkan hukum.
Hal lain yang tidak dapat disangkal adalah pengaruh bahasa lain terhadap struktur bahasa Arab. Kenyataan banyaknya bangsa non Arab yang memeluk agama Islam dan pergaulan mereka yang intensif dengan bahasa Arab itu sendiri, menyebabkan terjadinya penyusupan bahasa-bahasa asing tertentu ke dalam bahasa Arab. Hal ini banyak menimbulkan keraguan dan bermacam kemungkinan dalam memahami nash syara’. Hal semacam ini menimbulkan ide lain bagi para ulama itu untuk menyesun kaidah-kaidah umum yang berkaitan dengan kebahasaan.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syari’ah dan lughawiyah pada abad II Hijriyah itu, terwujudlah apa yang disebut dengan ilmu Ushul Fiqh. Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa ulama yang pertama kali menyusun sekaligus membukukan kaidah-kaidah ilmu Ushul Fiqh yang disertai denga alasan-alasannya dalam sebuah kitabnya al-Risalah adalah Muhammad bin Idris Al-Syafi’i. Hal senada disampaikan oleh Noel J. Coulson dalam bukunya “A History of Islamic Law” bahwa al-Syafi’i (w. 204 H) adalah perintis atau bapak yurisprudensi dalam Islam. Oleh sebab itu, kiranya beralasan apabila para ulama ushul memandang bahwa Imam Syafi’i sebagai pencipta ilmu Ushul Fiqh dan dilanjutkan oleh ulama-ulama generasi berikutnya. 





[1] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), p. 32.
[2] Abdul Wahhab Khallaf, op. cit., pp. 10-11.
[3] Mut’ah adalah harta yang diberikan kepada isteri yang ditalak sebagai penghibur atas kesedihan (al-wihsyah) yang diterimanya.  Al-Wihsyah menurut Ahmad Nahrawy sebagaimana dikutif oleh Syeikh Muhammad Nawawi dalam kitabnya “Mirqah shu’ud al-Tashdiiq fi Syarhi Sullam al-Taufiiq” adalah memutuskan dan menjauhkan hati dari rasa cinta. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar