Oleh H. Jamaludin, MAg
 Bertolak dari pendapat Nurcholis Majid dalam
bukunya “Persoalan Taqlid dan Ijtihad”
sebagaimana dikutif oleh Asafri Jaya Bakri mengatakan bahwa suatu disiplin ilmu
merupakan suatu hasil dari proses komulasi informasi dan pemikiran yang
memiliki mata rantai dengan masa-masa sebelumnya,[1]
maka uraian tentang perkembangan pemikiran hukum Islam masa-masa sebelum
pembukuan menjadi penting untuk dipaparkan.
Bertolak dari pendapat Nurcholis Majid dalam
bukunya “Persoalan Taqlid dan Ijtihad”
sebagaimana dikutif oleh Asafri Jaya Bakri mengatakan bahwa suatu disiplin ilmu
merupakan suatu hasil dari proses komulasi informasi dan pemikiran yang
memiliki mata rantai dengan masa-masa sebelumnya,[1]
maka uraian tentang perkembangan pemikiran hukum Islam masa-masa sebelum
pembukuan menjadi penting untuk dipaparkan.
Pertumbuhan Ushul Fiqh tidak terlepas dari
perkembangan hukum Islam itu sendiri sejak zaman Rasulullah SAW sampai pada
masa tersusunnya Ushul Fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2
Hijriyah.
Sumber hukum Islam pada zaman Rasulullah SAW hanya
dua, yaitu al-Qur`an dan Al-hadits atau al-Sunnah. Apabila muncul suatu kasus
atau permasalahan, Rasulullah SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan
hukum kasus tersebut. Namun apabila wahyu tidak turun, maka beliau menetapkan
hukumnya melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan al-Hadits atau
al-Sunnah.
Ilmu Ushul Fiqh lahir dan berkembang sejak abad
ke-2 H. Ilmu tersebut pada abad pertama memang tidak diperlukan, karena
Rasulullah SAW dapat mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu hukum berdasarkan
ajaran al-Qur`an dan al-Sunnah yang diilhamkan kepadanya.
Para ulama ahli Ushul Fiqh menyimpulkan bahwa
berbagai kasus pada zaman Rasulullah SAW yang diselesaikan atau ditetapkan
hukumnya padahal tidak ada ketentuannnya secara eksplisit dalam al-Qur`an
adalah memberikan isyarat bahwa Rasulullah SAW menetapkan hukum “ kasus per
kasus ” melalui ijtihad. Hal ini dapat diketahui melalui sabda Rasulullah SAW,
yang artinya “ sesungguhnya aku adalah
manusia biasa, apabila aku perintahkan kepadamu sesuatu yang menyangkut
agamamu, maka ambillah. Dan apabila aku perintahkan kepadamu sesuatu yang
berasal dari pendapatku, maka sesungguhnya aku adalah manusia biasa”. Hasil
ijtihad Rasulullah SAW ini secara otomatis menjadi sunnah sebagai sumber hukum
dan dalil bagi umat Islam.
Rasulullah SAW dalam beberapa kasus tidak jarang
menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya, ketika
menjawab pertanyaan sahabat Umar ibn Khathab tentang batal tidaknya puasa
seseorang yang mencium istrinya. Ketika itu, Rasulullah SAW menjawab denga
sabdanya yang artinya “ Apabila kamu
berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal ? Umar menjawab :
Tidak apa-apa (tidak batal). Rasulullah kemudian bersabda : teruskanlah
puasa....”(HR. Bukhari dan Muslim).
Sabda Rasulullah SAW di atas, menurut para ulama
Ushul Fiqh adalah sebuah proses bagaimana Rasulullah SAW meng-qiyas-kan hukum
mencium isteri dalam keadaan puasa dengan hukum berkumur-kumur bagi orang yang
sedang berpuasa. Jika berkumur-kumur tidak membatalkan puasa, maka mencium
isteri pun tidak membatalkan puasa. 
Cara-cara Rasulullah SAW dalam menetapkan hukum
inilah yang menjadi bibit munculnya ilmu Ushul Fiqh. Karenanya, para ulama
Ushul Fiqh menyatakan bahwa keberadaan Ushul Fiqh bersamaan dengan hadirnya
fiqh, yaitu sejak zaman Rasulullah SAW. Bibit ini semakin jelas terlihat pada
zaman sahabat, karena wahyu dan sunnah Rasulullah SAW tidak turun lagi,
sementara persoalan yang mereka hadapi selain vareatif juga semakin berkembang.
Sejalan dengan pendapat di atas, Abdul Wahab
Khalaf dalam bukunya “Ilmu Ushul Fiqh”
menegaskan bahwa Ushul Fiqh tidaklah tumbuh kecuali pada abad ke-2 Hijriyah,
karena pada abad pertama hijriyah, ilmu tersebut belum diperlukan, dimana
Rasulullah SAW berfatwa dan menjatuhkan putusan hukum menurut ajaran Al-Qur`an
yang diwahyukan kepadanya, dan menurut al-Sunnah yang diilhamkan kepadanya.
Juga menurut ijtihadnya secara naluri tanpa memerlukan ushul dan kaidah yang
dijadikan pedoman dalam ber-istinbath
dan ber-ijtihad. Sedangkan para
sahabat Nabi SAW memberikan fatwa hukum dengan dalil-dalil nash yang dapat
mereka pahami  berdasarkan kemampuan
bahasa Arab yang baik tanpa memerlukan kaidah bahasa yang dijadikan pedoman
dalam memahami nash. Mereka juga melakukan istinbath
terhadap hukum yang tidak terdapat nash baginya berdasarkan kemampuan mereka
dalam membina hukum syariat Islam yang telah mereka jiwai lantaran pergaulan
mereka dengan Rasulullah SAW. Selain itu, mereka juga menyaksikan sebab-sebab
turunnya ayat dan datangnya hadits-hadits. Mereka telah memahami tujuan-tujuan
pembuat hukum syariat Islam dan dasar-dasar pembentukannya. Tetapi ketika
kemenangan Islam makin bertambah luas dan bangsa Arab mulai berinteraksi  dengan bangsa-bangsa lain, bergaul dalam
bahasa Arab dan bergaul dalam tulis-menulis. Sehingga, di dalam bahasa Arab
terjadi beberapa mufradat (kata-kata
baru) dan uslub-uslub (gaya bahasa)
yang bukan bahasa Arab, maka tidaklah kekal naluri bahasa itu dalam kondisi
yang murni. Karenanya, terjadilah kesamaran dan kemungkinan-kemungkinan lain
yang harus terjadi dalam memahami nash. Dari itulah diperlukan menyusun
batasan-batasan da kaidah-kaidah bahasa, yang dengan itu nash bisa dipahami
sebagaimana orang Arab dapat memahaminya lantaran datang sesuai dengan
bahasanya. Fungsi menyusun kidah itu adalah tidak jauh berbeda dengan
diperlukannya menyusun kaidah-kaidah Nahwu, yang dengan itu seseorang bisa
berhasa secara baik.[2]
Apalagi sepeninggal Rasulullah SAW, banyak
persoalan baru yang muncul dan menuntut para ulama untuk menetapkan hukumnya
melalui upaya ijtihad mereka sendiri, dan tidak lagi menunggu pengesahan dari
Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, semenjak masa sahabat, ijtihad mulai menjadi
salah satu sumber hukum Islam. Sebagai contoh, ijtihad Umar bin Khattab yang
tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seorang pencuri karena
kelaparan. Begitu pula Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita yang
suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum menentukan maharnya,
hanya berhak menerima mut’ah. [3]
Penetapan hukum yang dilakukan oleh Rasulullah SAW
dan para sahabatnya, baik ketika beliau masih hidup atau setelah wafatnya
menjadi bukti terjadinya praktik ijtihad pada masa itu. Hanya saja, pada waktu
itu tidak tersusun sebagai suatu ilmu yang kelak disebut Ushul Fiqh. Karena
pada masa itu, ilmu tersebut belum dibutuhkan adanya. Sebab Rasulullah SAW
mengetahui cara-cara nash dalam menunjukkan hukum, baik langsung atau tidak
langsung, sehingga beliau tidak membutuhkan adanya suatu ilmu khusus yang
mengatur kaidah-kaidah ijtihad. Demikian pula para sahabatnya yang tidak
membutuhkan adanya kaidah-kaidah tersebut dalam berijtihad karena pergaulan
mereka yang dekat dengan Rasulullah SAW, menyebabkan mereka mengetahui
sebab-sebab turunya ayat (asbabun nuzul),
sebab-sebab datang (asbabul wurud)
hadits, dan memahami rahasia-rahasia syariat secara mendalam. Kemudian,
pengetahuan dan penguasaan Bahasa Arab yang baik ikut menjadi faktor pendukung
kemampuan memahami nash secara baik dan berijtihad tanpa membutuhkan adanya
kaidah-kaidah tersebut.  
Pada masa tabi’in , tabi’ tabi’iin dan para imam
mujtahid sekitar abad ke II dan III H, kekuasaan Islam meluas ke daerah-daerah
yang dihuni oleh orang-orang yang bukan berbahasa Arab atau bukan bangsa Arab,
dimana situasi dan kondisi budayanya cukup berbeda-beda. Banyak diantara ulama
yang bertebaranke daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit pula penduduk daerah
tersebut yang masuk Islam. Konsekuensi logis dari semua itu adalah semakin
kompleksnya persoalan-persoalan hukum yang ketetapannya tidak dijunpai dalam
al-Qur`an dan al-Hadits. Oleh karena itu, ulama-ulama yang tinggaldi
daerah-daerah tersebut melakukan ijtihad, mencarai ketetapan hukumnya
berdasarkan penalaran mereka terhadap ayat-ayat al-Qur`an dan hadits nabi.
Ditambah pula dengan pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai
bidangnya pada masa itu, kegiatan ijtihad menjadi semarak dan maju pesat.
Di lain pihak kesemarakan kehidupan ijtihad
tersebut ternyata menimbulkan banyak perbedaan pendapat dan polemik-polemik
ilmiah di antara para ulama, baik mengenai hasil ijtihad, dalil-dalil yang
digunakan, atau jalan-jalan yang mereka tempuh dalam berijtihad itu sendiri.
Hal-hal seperti itu bukan saja terjadi antara ulama-ulama yang berdomisili di
tempat yang sama. Kenyataan ini melahirkan ide baru bagi mereka untuk merumuskan
kaidah-kaidah syariat sebagai panduan metodologis yang berkaitan dengan
dasar-dasar dan tujuan-tujuan syara’ menetapkan hukum.
Hal lain yang tidak dapat disangkal adalah
pengaruh bahasa lain terhadap struktur bahasa Arab. Kenyataan banyaknya bangsa non
Arab yang memeluk agama Islam dan pergaulan mereka yang intensif dengan bahasa
Arab itu sendiri, menyebabkan terjadinya penyusupan bahasa-bahasa asing
tertentu ke dalam bahasa Arab. Hal ini banyak menimbulkan keraguan dan bermacam
kemungkinan dalam memahami nash syara’. Hal semacam ini menimbulkan ide lain
bagi para ulama itu untuk menyesun kaidah-kaidah umum yang berkaitan dengan
kebahasaan.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syari’ah dan
lughawiyah pada abad II Hijriyah itu, terwujudlah apa yang disebut dengan ilmu
Ushul Fiqh. Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa ulama yang pertama kali
menyusun sekaligus membukukan kaidah-kaidah ilmu Ushul Fiqh yang disertai denga
alasan-alasannya dalam sebuah kitabnya al-Risalah
adalah Muhammad bin Idris Al-Syafi’i. Hal senada disampaikan oleh Noel J.
Coulson dalam bukunya “A History of
Islamic Law” bahwa al-Syafi’i (w. 204 H) adalah perintis atau bapak
yurisprudensi dalam Islam. Oleh sebab itu, kiranya beralasan apabila para ulama
ushul memandang bahwa Imam Syafi’i sebagai pencipta ilmu Ushul Fiqh dan
dilanjutkan oleh ulama-ulama generasi berikutnya.  
[1] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1996), p. 32.
[2] Abdul Wahhab Khallaf, op. cit., pp. 10-11.
[3] Mut’ah adalah harta yang diberikan kepada
isteri yang ditalak sebagai penghibur atas kesedihan (al-wihsyah) yang diterimanya. 
Al-Wihsyah menurut Ahmad
Nahrawy sebagaimana dikutif oleh Syeikh Muhammad Nawawi dalam kitabnya “Mirqah shu’ud al-Tashdiiq fi Syarhi Sullam
al-Taufiiq” adalah memutuskan dan menjauhkan hati dari rasa cinta. 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar