Minggu, 24 November 2013

TAFSIR SUFI: Analisis terhadap Metode Penafsiran Ibnu ‘Arabi


Oleh DR CECEP ALBA, MA

Sebagaimana telah diterangkan dalam bab sebelumnya, bahwa penafsiran sufistik masih menjadi perdebatan antara yang membolehkan dan melarang, antara yang memuji dan yang mencela. Masing-masing mengemukakan argumen baik naqli maupun ‘aqli. Mengapa tafsir sufi tampil beda dibanding tafsir lainnya, karena paradigma yang dipergunakan para sufi pun berbeda sehingga tidak aneh kalau natijahnya berbeda-beda. Keragaman dalam penafsiran, tidak terlepas dari subyektifitas, pengaruh kehidupan, latar belakang pendidikan, keilmuan dan lingkungan dimana para mufassir berada.

Demikian pula halnya terhadap eksistensi tafsir sufistik Ibnu ‘Arabi, ada ulama rasikhūn yang menyetujuinya dan ada juga yang menganggagpnya sebagai penafsiran liar dan menyimpang.

etode penafsiran Ibnu ‘Arabi dalam karya-karyanya khususnya, al-Futūhat al-Makkiyyah dan Fusūs al-Hikam, sebagaimana telah dibahas, berdiri di atas paradigma sufisme yang ia munculkan yaitu paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud) atau disebut juga pantheisme. Wahdat al-wujud sendiri maknanya, menurut Ibnu ‘Arabi, adalah wujud hakiki itu hanya satu, sementara yang berbilang yang nampak secara zahir di mata, merupakan indikator adanya wujud mutlak tersebut, jadi keberadaanya tidak hakiki, sebab wujud yang hakiki itu adalah sesuatu yang wujudnya tidak karena yang lain dan tidak disebabkan oleh wujud yang lain. Oleh karenanya, selain yang wujud hakiki ada yang disebut wujud idāfi. Wujud idāfi hakikatnya tidak ada. Oleh karena tidak ada, maka wujud itu hanya satu atau disebut wahdat al-wujud.[1]

Masih berkaitan dengan wahdat al-wujud, Ibnu ‘Arabi menyatakan: Telah menjadi ketetapan bagi para muhaqqiqīn (orang-orang yang telah mencapai kedekatan dengan Allah) bahwa dalam wujud ini tiada yang lain kecuali hanya Allah swt. Walapun kita ada, namun adanya kita adalah karena wujud-Nya, dan yang wujudnya disebabkan oleh wujud yang lain maka sebenarnya ia tidak ada.[2]

Bagi Ibnu ‘Arabi, al-Haq mempunyai dua wujud yang berlainan satu sama lain, namun berhubungan antara keduanya. Pertama adalah wujud yang haqiqi, yaitu wujud Tuhan di dalam diri-Nya, dan yang kedua adalah wujud idāfi (relatif) yang tak lain adalah wujud Tuhan yang tampak pada segenap fenomena yang ada di alam selain-Nya. Yang pertama adalah wujud Tuhan yang batin, yang hanya diketahui oleh diri-Nya sendiri, dan yang kedua adalah wujud Tuhan yang lahir yang tampak pada segenap makhluk yang ada. Di dalam al-Qur’an Al-Haq digambarkan sebagai yang pertama (al-awwal), yang terakhir (al-ākhir), yang lahir dan yang batin. Kalau wujud yang pertama adalah wujud yang tetap sejak azali, maka wujud yang kedua adalah wujud yang senantiasa berubah dan berganti terus-menerus.[3]

Timbul persoalan, apakah faham wahdat al-wujud itu merupakan faham yang bersumber dari al-Qur’an atau faham yang terlepas dari al-Qur’an? Setelah mengkaji tafsir karya Ibnu ‘Arabi, dapat ditarik natijah bahwa faham wahdat al-wujud Ibnu ‘Arabi ternyata berakar kepada al-Qur’an. Dalam bahasa lain wahdat al-wujud merupakan interpretasi dari banyak ayat al-Qur’an yang secara maknawi (tersirat) ayat-ayat itu batinnya menggambarkan faham wahdat al-wujud. Makna yang batin itu, dalam paradigma sufistik, hanya dapat diselami oleh orang-orang yang suci hatinya. Proses pensucian hati yang ditempuh para sufi disebut suluk, artinya pendekatan spiritual melalui pelaksanaan yang al-wajib secara benar, an-nawāfil secara kontinyu dan riyādoh secara istiqamah. Orang yang mengamalkan teori ini, menurut Ibnu ‘Arabi disebut ahlullah (keluarga Allah). Kata Ibnu ‘Arabi sebagaimana al-Qur’an diturunkan kepada orang yang suci hatinya, demikian juga al-Qur’an lebih dapat dipahami dan diselami kedalaman maknanya oleh orang yang suci hatinya. Orang yang suci hatinya adalah para sufi.

Dalam bahasa yang singkat Az-Zahabi melukiskan karakteristik pola penafsiran Ibnu Arabi yang sufistik dan perbedaannya dengan pola penafsiran ahli zahir, yang ia kutip dari statement Ibnu ‘Arabi sendiri dalam kitabnya al-Futūhāt, dalam tulisan sebagai berikut:

Segala ucapan yang keluar dari ahli hakekat berupa makna-makna isyarat dalam al-Qur’an, pada hakekatnya ia adalah tafsiran dan penjelasan terhadap maksud firman Allah. Ibnu ‘Arabi meredaksikan dengan istilah isyarat, untuk membedakan dari ahli zahir. Selanjutnya bagaimana ia mengaku bahwa ahl Allah adalah orang yang paling berhak menjelaskan kitab Allah, sebab mereka menerima ilmu mereka langsung dari Allah, mereka membicarakan al-Qur’an atas dasar penglihatan mata hati, sedangkan ahli zahir berbicara tentang al-Qur’an berdasar dugaan dan perkiraan.

Berkata Syu’bah dari Abdullah bin Abi as-Safar bahwa As-Sya’bi berkata: “Demi Allah tidaklah suatu ayat turun kecuali aku bertanya tentang maknanya, tetapi akhirnya aku sadar bahwa penjelasan makna ayat itu adalah riwayat dari Allah”.[4]

Abu ‘Ubaid berkata, telah meriwayatkan hadis kepada saya Hasyim, telah meriwayatkan hadis kepada saya ‘Amr bin Abu Zaidah dari As-Sya’bi dari Masruq ia berkata: “Hati-hatilah dengan tafsir sebab tafsir itu hanyalah riwayat dari Allah”.[5]

Kedua hadis di atas, memberi peluang kepada siapa saja untuk mendapat informasi langsung dari Allah menyangkut maksud ayat-ayat al-Qur’an. Dan hanya orang-orang yang terbuka hatinya yang dapat menangkap cahaya Tuhan tersebut yaitu para sufi. Meskipun pada awalnya kedua hadis di atas merupakan argumen tentang betapa penafsiran bi ar-rakyi itu dilarang Rasulullah.

Dari pernyataan Ibnu ‘Arabi di atas, nampak kelihatan bahwa pola kedua yang dijadikan landasan Ibnu ‘Arabi dalam upaya menafsirkan al-Qur’an adalah al-faid atau pancaran dari Tuhan. Artinya pancaran ilmu yang langsung diberikan Tuhan ke dalam hati para sufi karena mereka telah berhasil mensucikan hati sesuci sucinya, sehingga cahaya Tuhan (berupa ilmu) datang dengan sendirinya sesuai dengan kehendak Tuhan. Dalam istilah sufi lain, al-Gazali, misalnya, ia menyebutnya dengan istilah ilmu ladunni (ilmu mukasyafah). Itulah sebabnya sebagian fakar tafsir menyebut pola penafsiran Ibnu ‘Arabi sebagai pola penafsiran teosofi, seperti halnya tafsir-tafsir sufi yang lainnya.

Para Nabi, para wali dan yang seumpamanya, terbuka kepada mereka segala perkara dan tercurahlah ke dalam hati mereka cahaya bukan dengan belajar dan menela’ah kitab-kitab, tetapi cahaya itu didapat dengan zuhud terhadap dunia dan lepas dari keterikatan dengan dunia, mengosongkan hati dari kesibukan dunia serta menghadap secara konsentrasi dan sepenuh hati kepada Allah Ta’ala. Barang siapa yang beramal hanya karena Allah maka Allah pun memperhatikan dia.

Paradigma sufistik ala Ibnu ‘Arabi ini, jelas menjadi bahan perdebatan panjang yang sejak kelahirannya hingga sekarang masih hangat untuk dibicarakan. Ibnu Taimiyyah seorang mufassir ahli zahir tentu saja mengeritik secara tajam terhadap faham wahdat al-wujud sekaligus terhadap metode penafsiran sufistik serupa ini. Ia menulis; Barang siapa beralih dari manhaj penafsiran sahabat dan tabi’in ke manhaj penafsiran yang tidak sesuai dengan mereka, maka pola serupa ini adalah salah bahkan bid’ah. Namun Ibnu Taimiyyah selanjutnya menyatakan, jika orang yang menafsirkan itu seorang mujtahid maka kesalahannya diampuni.[6]

Lebih lanjut Ibnu Taimiyyah mengutarakan, al-Qur’an dibaca para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in. Merekalah orang yang paling tahu terhadap tafsir al-Qur’an dan makna-makna al-Qur’an. Barang siapa menyalahi ucapan para sahabat dan menafsirkan al-Qur’an berbeda dengan tafsiran para sahabat dan tabi’in maka orang itu telah melakukan kesalahan dalam dalīl dan madlūl secara langsung. Faktor penyebab kekeliruan ini, kata Ibnu Taimyyah adalah bid’ah-bid’ah yang dibawa ahlinya yang pada gilirannya membawa perubahan dan penyimpangan kalam dari tempatnya, lalu mereka menafsirkan kalam Allah dengan tafsiran yang tidak dikehendaki-Nya dan mereka melakukan takwil dengan takwil yang tidak sesuai dengan indikator-indikatornya. Pola penafsiran serupa ini, kata Ibnu Taimiyyah, biasa dilakukan oleh para orator, fuqoha dan terutama oleh para sufi. Mereka menafsirkan al-Qur’an dengan makna dan pengertian yang benar sahih dan valid, tetapi al-Qur’an tidak menunjuk atas penafsiran itu. Oleh karena itu, mereka telah salah dalam dalīl tidak dalam madlūl. Tetapi jika interpretasi yang mereka kemukakan mengandung kebatilan, maka pola serupa ini keliru dalam dalil dan madlul sekaligus. Sehingga pada akhirnya makna yang mereka pahami pun menjadi fasid.[7]

Senada dengan kritik Ibnu Taimiyyah, Mahmud Basyuni menyatakan: Cara penafsiran yang dilakukan Ibnu ‘Arabi, termasuk dalam bentuk penafsiran yang terlarang, karena setiap tafsir yang tidak didasarkan pada kaidah-kaidah dari al-Qur’an adalah tafsir yang sesat dan menyesatkan. Kitabullah telah mewajibkan agar aturan-aturan diambil daripadanya, bukannya agar orang membuat aturan-aturan terhadap al-Qur’an.[8] Namun sejak awal Ibnu ‘Arabi menandaskan bahwa ucapan para sufi dalam menafsirkan al-Qur’an itu adalah tafsir yang hakiki, bukan sekedar bandingan-bandingan bagi makna-makna tersebut. Bahkan ia merasa bahwa para sufilah yang paling berhak menafsirkan al-Qur’an.[9]

Bagaimana cara pandang Ibnu ‘Arabi terhadap al-Qur’an? Tulisan Ibnu ‘Arabi dalam al-Futūhāt menggambarkan cara pandang Ibnu ‘Arabi terhadap al-Qur’an. Tulisan selengkapnya sebagai berikut:

Menurut kami (Ibnu ‘Arabi), al-Qur’an al-‘Aziz telah tetap secara mutawatir dibawa oleh seseorang yang mengaku sebagai utusan Allah (Rasulullah), al-Qur’an sendiri datang dengan membawa informasi tentang kebenaran pengakuan orang termaksud. Itulah al-Qur’an, tidak ada seorang pun yang dapat menentangnya. Telah legal secara jama’i, bahwa orang itu adalah Rasulullah (utusan Allah) yang diutus ke tengah-tengah umat manusia untuk menjelaskan kepada manusia bahwa yang ia bawa adalah kalam Allah. Semua itu diyakini secara mutawatir bahwa al-Qur’an adalah berita yang hak, ucapan yang memisahkan antara yang salah dan benar, yang ma’ruf dan munkar yang haq dan yang batil. Argumen-argumen tentang hal di atas, sama’i dan rasional.

Jika inti persoalan seperti digambarkan di atas, maka hendaklah orang yang mau mengambil faham aqidahnya, mengambilnya dari al-Qur’an. Dalam hal ini, kedudukan al-Qur’an bagaikan dalil ‘aqli dalam sebuah dilalah, sebab al-Qur’an adalah kebenaran yang tidak datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakang, ia diturunkan dari Allah yang Maha Terpuji dan Maha Bijaksana. Jika argumen yang pasti telah didapat maka tidak perlu lagi terhadap argumen yang lain. Sebagai misal, ketika orang Yahudi minta kepada Nabi Muhammad agar nabi menjelaskan substansi dan karakteristik Tuhannya, maka Allah menurunkan surat al-Ikhlas. Dengan turunnya surat al-Ikhlas Rasulullah merasa tidak perlu lagi menjelaskan kepada mereka argumen-argumen ‘aqli sebagai dalil.[10]

Itulah sebabnya Ibnu ‘Arabi menolak sumber-sumber penafsiran yang bermacam-macam berupa dominasi keilmuan yang menjadi milik si mufassir itu sendiri yang boleh jadi mengalihkan nash al-Qur’an dari yang semestinya. Ibnu ‘Arabi berpendapat bahwa al-Qur’an tidak dapat dipelajari kecuali dari al-Qur’an lagi melalui jalan pencerahan (pancaran ilmu dan ma’rifah dari Tuhan). Selanjutnya ia menulis, tidaklah Allah Swt. menurunkan al-Qur’an-Nya dan mengutus rasul-Nya untuk membawanya kecuali kita harus siap-siap untuk menerima dan mengambil petunjuknya (hidayahnya) dan menjadikan al-Qur’an sebagai imam, sebab ia adalah jalan Allah yang lurus dan tali Allah yang kokoh. Apabila terjadi kesulitan dalam memahami maksud suatu ayat sebagai misal memastikan malam yang gelap maka hendaklah kita kembali kepada al-Qur’an itu sendiri, sebab al-Qur’an adalah syāfi’ (pemberi syafa’at) yang dapat memberikan syafa’at (pertolongan), syāhid (saksi) dan musaddiq (yang membenarkan). Barang siapa menjadikan al-Qur’an berada di depannya maka al-Qur’an akan menuntunnya ke surga sebaliknya barang siapa menjadikan al-Qur’an berada di belakangnya maka al-Qur’an akan menggiringnya ke neraka. al-Qur’an adalah dalil yang paling jelas yang menunjukan ke jalan yang terbaik.[11]

Dasar untuk dapat memahami makna-makna al-Qur’an adalah tadabbur dan tafakkur. Ketahuilah bahwa seseorang tidak akan dapat memahami makna-makna al-Qur’an dengan sebenarnya. Ia tidak akan melihat rahasia-rahasia ilmu tentang pengetahuan gaib, jika dalam hatinya ada kesombongan, nafsu, cinta dunia, atau imannya sebatas kata-kata, atau kurang kuat daya nalarnya, atau berpegang pada pendapat mufassir yang hanya memiliki ilmu zahir, atau hanya mendasarkan pada nalarnya. Semua ini merupakan hijab dan penghalang yang sebagiannya ada yang lebih kuat ketimbang yang lainnya.[12]

Menurut Hamid Mahmud az-Zaqri, Ibnu ‘Arabi tidak memiliki ukuran dan timbangan yang jelas mengenai sumber penafsiran. Sementara salah seorang pakar tafsir menyebutkan bahwa pendekatan ma’şur, kebahasaan dan ar-ra’yu yang sahih adalah amat diperlukan bagi siapa saja yang bermaksud memasuki dunia tafsir, sebab memperhatikan yang lahir adalah urgen (amat diperlukan) bagi keselamatan memasuki dunia batin. Dalam pada itu, tidak akan sempurna pengetahuan terhadap al-Kitab yang mulia ini kecuali jika tasawuf yang hakiki, dijadikan sebagai salah satu pembuka terhadap rahasia-rahasia-Nya dan cahanya-cahaya-Nya. Tanpa tasawuf tidak akan sempurna berada dalam cahaya al-Qur’an, walaupun ia adalah seorang yang memahami tarkib kebahasaan, mengerti sebab nuzul dan sumber-sumber ma’şur. Kata Hamid Mahmud az-Zaqri, sayangnya pola penafsiran Ibnu ‘Arabi, tidak mementingkan kaidah-kaidah prinsip serupa ini, malah dia mengambil mazhab batini yang tidak sejalan dengan sufi lainnya.[13] Selanjutnya, Hamid menilai. Betapa Ibnu ‘Arabi tidak mementingkan sumber dan pola penafsiran seperti yang dikemukakan oleh mufassir yang lainnya, dapat dilihat dari risalah yang ia kirimkan kepada ar-Razi[14] yang intinya mengajak Ar-Razi agar menanggalkan ketergantungan atas berbagai pengetahuan-pengetahuan sekunder yang berkaitan dengan penafsiran, sebalikmya mengambil serta berpegang teguh terhadap sumber primer penafsiran yaitu ilmu dari Tuhan (Allah) melalui emanasi dan pancaran-Nya.

Betul Ibnu ‘Arabi mengajak Ar-Razi untuk masuk ke dunia tasawuf agar dapat memahami maksud Tuhan secara benar, tetapi ajakan itu tidak dapat dijadikan argumen bahwa Ibnu ‘Arabi tidak memiliki pengetahuan sebagai yang dimiliki mufassir zahiri yang lain. Ajakan ke ilmu ilahiyyat itu, boleh jadi karena dia sendiri sudah merasa tidak perlu lagi memperdalam dan memunculkan ilmu-ilmu zahir yang berpungsi membantu untuk memahami maksud Tuhan karena ilmu zahir itu telah pula ia kuasai, demikian juga Ar-Razi, dalam pandangan Ibnu ‘Arabi telah memiliki kecukupan dalam penguasaan terhadap ilmu zahir dalam upaya memahami maksud Tuhan. Itulah sebabnya Ibnu ‘Arabi mengajak Ar-Razi untuk segera masuk ke dunia tasawuf yaitu at-tkhalluq bi akhlāqillah, agar mendapat pancaran ilmu langsung dari Allah.

Kenyataan ini dapat dilihat dari komentar Az-Zahabi, bahwa Ibnu ‘Arabi bukan hanya sebagai seorang sufi besar, tetapi ia juga ahli yang mumpuni dalam bidang hadis dan āsār, ia mengambil hadis dari banyak ahlinya, ia juga adalah seorang sastrawan (ahli dalam bahasa dan ilmu-ilmu kebahasaannya), sehingga tidak aneh kalau Ibnu ‘Arabi banyak menulis pesan-pesan moral dalam bentuk narasi atau syi’ir-syi’ir yang indah yang ia persembahkan kepada beberapa raja di Spanyol. Ia adalah seorang ulama yang sudah sampai ke tingkat mujtahid dan mustanbit (orang yang mampu mengeluarkan hukum dari dalilnya), bahkan dapat menyusun kaidah-kaidah dan maksud-maksud filosofis suatu masalah yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh penggagasnya dan ia sanggup menemukan permasalahan hingga ke akar-akarnya.[15]

Sebagaimana para sufi selalu memandang segala aspek dari dua sisi yaitu lahir dan batin, demikian juga Ibnu’Arabi melihat segala pernyataan dari dua segi yaitu yang tampak dan tidak tampak, termasuk cara pandang dia terhadap pernyataannya sendiri. Orang yang memandang ucapan Ibnu ‘Arabi dari lahirnya tidak sedikit yang menilai Ibnu ‘Arabi sebagai kafir dan zindik. Tetapi para pengikut dan para pengkaji tasawuf serta orang-orang yang kagum terhadap pemikiran teosofi Ibnu ‘Arabi tidak mengambil semua tulisan Ibnu ‘Arabi dari segi lahirnya tetapi dari segi batinnya. Selanjutnya mereka menulis: “Sesungguhnya tulisan atau pernyataan yang tampak secara lahir bukanlah yang dimaksud, yang dimaksud adalah perkara-perkara yang telah berlaku di kalangan para sufi. (term-term sufistik yang telah galib dan lazim di kalangan para sufi)”. Oleh sebab itu, As-Suyuti, demikian juga Al-Gazali, menulis: “Barang siapa membawa perkataan para sufi kepada makna-makna yang dikenal di kalangan ahli zahir maka bisa jadi kafir”. Selanjutnya Al-Gazali mengatakan, bahwa ucapan para sufi itu menyerupai ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an atau sunnah, oleh karena itu jika orang membawa pengertian ayat itu secara zahir, hal itu dapat menggiring kepada kekufuran.[16]

Bukan hanya dalam cara pandang terhadap ayat atau hadis, para sufi selalu melihatnya dari dua sisi, Islam yang sebagai identitas bagi agama yang lurus pun, mereka pandang dari dua segi. Bagi para sufi, Islam memiliki dua segi; Islam zahir dan Islam batin. Islam zahir adalah pengakuan secara lisan, dan pengamalan secara anggauta. Inilah Islam jasadi. Hal yang bersifat jasadi digambarkan dengan malam yang selalu gelap. Sedangkan Islam batini adalah tercerahkannya hati dan dada oleh cahaya Allah Ta’ala. Inilah Islam ruhani. Islam ruhani selalu terang, maka digambarkan sebagai siang. Islam jasadi memerlukan Islam ruhani. Islam jasadi menuntut islamnya jasad artinya tunduknya anggaota badan terhadap segala perintah dan larangan Allah. Sementara itu Islam ruhani menuntut atas penerimaan hati dan ruh terhadap hukum azali, ketentuan azali, kadar azali dan lain-lain.

Barang siapa berada pada Islam jasadi dan tidak sampai pada Islam ruhani maka laksana orang yang berjalan di malam yang gelap gulita, tentu saja ia akan ragu dan bingung dan akhirnya ia akan melihat betapa banyak tuhan dan raja, sebagaimana Ibrahim pernah menganggap bulan dan bintang sebagai tuhan, demikian juga matahari sebagai tuhan. Tetapi tatkala hatinya telah bersih dan terbitlah cahaya Islam ruhani dari dirinya sendiri dan dari tempat terbitnya sendiri yaitu hatinya sendiri maka segera ia ada dalam cahaya Tuhannya sehingga tatkala waktu subuh tiba ia berkata; Kami memasuki waktu subuh dan jadilah segala kerajaan dan kekuasaan adalah milik Allah, ia melihatnya dengan ain al-yaqin bahkan hingga meningkat ke tingkat haq al-yaqin bahwa seluruh kerajaan dan kekuasaan adalah milik Allah, tidak ada lagi raja kecuali Raja yang Menguasai hari kemudian.[17]

Seringkali terjadi kesalahan dalam memandang Ibnu ‘Arabi, sehingga menuduhnya sebagai kafir atau zindik, gara-gara tidak dapat memahami kerangka berfikikir Ibnu ‘Arabi atau karena sulit memahami ungkapan-ungkapan sufistik Ibnu ‘Arabi. Atau bisa jadi kesalahan penilaian itu akibat data dan fakta yang tidak akurat. Contoh kesalahan penilaian itu pernah terjadi pada diri As-Sya’rani, seorang fakar tasawuf yang mencoba meringkas karya besar Ibnu ‘Arabi, al-Futūūhāt. As-Sya’roni menulis ‘Tatkala aku meringkas al-Futūhāt, aku berhenti dalam banyak tempat, karena apa yang aku temukan dalam kitab tersebut ternyata berlainan dengan ajaran ahl al-Sunnah wa al-jama’ah. Lalu aku membuangnya dari mukhtasar yang aku kerjakan. Tetapi sering aku lupa, aku mengikuti apa yang tertulis dalam al-Futūhāt, sebagaimana terjadi pada Al-Baidhawi beserta Az-Zamahsari. Terus menerus aku demikian sehingga aku mengira bahwa beberapa persoalan yang aku buang adalah juga dari tuan Syaikh. Tak ku duga datanglah kepadaku seorang kawan yang alim yang mulya yaitu Syamsuddin as-Sayyid Muhammad bin Sayyid Abi at-Tib al-Madanī yang meninggal tahun 955 H.; Aku menuturkan kejadian itu kepadanya. Lalu ia (Syaikh Syamsuddin) mengeluarkan satu naskah al-Futūhāt yang ia miliki yang ditulis oleh Ibnu ‘Arabi dengan tangannya sendiri. Maka aku tidak melihat sedikitpun dalam naskah asli ini apa yang aku tidak pahami sehingga aku berhenti dan membuang kesalahan. Akhirnya aku tahu bahwa naskah yang beredar di Mesir sekarang ini, semuanya diambil dari naskah orang-orang yang tidak senang kepada Ibnu ‘Arabi, dimana mereka menyisipkan di dalam kitab al-Futūhāt, perkara-perkara yang berlainan dengan ajaran ahlu as-sunnah wa al-jama’ah. Hal ini juga terjadi pada kitab Fusūs al-Hikam dan kitab-kitab karya Ibnu ‘Arabi yang lainnya.[18]

Dari pernyatan As-Sya’roni, kita dapat menangkap betapa As-Sya’roni membela Ibnu ‘Arabi bahwa pola fikir Ibnu ‘Arabi tidak keluar dari koridor ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah. Intinya As-Sya’roni hendak mengatakan bahwa Ibnu ‘Arabi pun termasuk bagian dari komunitas Ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah. Hanya As-Sya’roni lupa kalau paradigma awal Ibnu ‘Arabi yakni tentang wahdat al-wujud tidak bisa diterima oleh ahl as-sunnah wa al-jama’ah, meskipun pola penafsiran yang ia kembangkan dinilai ahli sunnah tidak menyimpang sejauh pengalihan makna dari zahir ke makna batin tidak menafikan makna zahir.

Ternyata Ibnu ‘Arabi tidak menolak makna zahir, sungguhpun terkadang dalam berbagai penafsiran ayat, ia langsung menafsirkannya ke makna batin. Namun dari redaksi yang ia pergunakan, Ibnu ‘Arabi tetap tidak menapikan makna zahir. Sebagai contoh, agar lebih jelas bagaimana Ibnu ‘Arabi menafsirkan secara batin, dengan tidak menafikan makna zahir sebagai berikut.

Tatkala menafsirkan makna ashāb al-kahfi yang termuat dalam surat al-kahfi ayat ke delapan. Ibnu ‘Arabi menulis tafsiran sebagai berikut:

Boleh saja diartikan bahwa yang dimaksud dengan ashāb al-kahfi adalah ruhani manusia yang tetap kekal setelah hancurnya badan. Adapun ucapan orang yang mengatakan ada tiga, adalah isyarat terhadap ruh, ‘aqal, dan hati. Sedangkan yang dimaksud kalbun (anjing) adalah nafsu yang senantiasa menggoda pintu ruhani manusia. Barang siapa mengatakan lima: Ini suatu isyarat terhadap ruh, hati, ‘aqal teoritis, akal praktis, dan kekuatan yang kudus bagi para nabi, yang bagi yang lain disebut al-fikr. Barang siapa yang menyatakan tujuh maka adalah yang lima tertulis di atas ditambah dengan sirr dan khafa (samar). Wallahu A’alamu. Allah lebih tahu.

Memang tidak mudah memahami tulisan Ibnu ‘Arabi, terutama karya-karya sastranya, karena di dalamnya bercampur antara bahasa batin dengan bahasa zahir. Dan untuk memahaminya tidak cukup kita menangkapnya dengan hanya menggunakan pendekatan konvensional, sebab biasanya makna yang dimaksud adalah makna batin. Sebagai contoh, misalnya syi’ir Ibnu ‘Arabi di bawah ini:
Wahai, Yang Dia melihatku dan aku tidak melihat-Nya Betapa kini aku melihat-Nya dan Dia tidak melihatku

Ratapannya, segera dibantah oleh orang-orang yang mendengarnya. Mereka bertanya “Bagaimana tuan mengatakan bahwa Dia tidak melihat tuan, padahal tuan tahu bahwa Dia melihat tuan ? Segera Ibnu ‘Arabi menjawab dalam syi’ir berikut ini:


Wahai Dia Yang melihatku melakukan dosa

Dan aku tidak melihat-Nya Dia memaafkan
Betapa kini aku melihat-Nya dalam kenikmatan

Dan Dia tidak melihatku Dia kutinggalkan.

Dari kedua syi’ir ini, nampak kelihatan bahwa ucapan Ibnu ‘Arabi tidaklah makna lahir yang dimaksud melainkan makna batin sesuai dengan indikator-indikator yang ada pada susunan redaksinya. Terhadap pola fikir Ibnu ‘Arabi serupa ini, ada ulama yang mendukungnya dan ada juga yang menolaknya. Di antara para ulama yang mendukung, misalnya Majduddin al-Fairuzabadi, Sirajuddin al-Makhzumi, Sirajuddin al-Bulqini, Fakhruddin ar-Razi, Imam Ibnu As’ad ay-Yāfi’i, Sa’duddin al-Hamāwi, Kamaluddin al-Kasyi dan Ibnu Kamal Fasya. Sedangkan ulama yang mencelanya antara lain, Jamaluddin al-Khayyat al-Yamani, Ibnu Taimiyyah, Burhanudidin al-Biqa’i.[19]

Untuk memahami maksud ayat, mufassir tidak perlu pergi mencari penjelasan ke dalam kisah-kisah israiliyyat. Berkaitan dengan israiliyyat, Ibnu ‘Arabi menulis, “adalah sebuah keharusan seorang mufassir menjaga kejujuran, ia tidak sepantasnya mengambil ceritera-ceritera yahudi dan nasrani sebagai penjelasan terhadap firman-firman Allah”. Selanjutnya ia mengutip pernyataan para ahli tafsir; ‘demikian juga tidak pantas seorang mufassir mengajukan sebagai interpretasi terhadap kalam Allah, takwil-takwil yang fasidah dan hadis-hadis dengan sanad-sanad yang lemah”.[20]

Adapun kisah yang dapat diterima Ibnu ‘Arabi berkaitan dengan upaya memahami kalam Tuhan adalah segala informasi menyangkut Yahudi maupun Nasrani yang dimuat dalam hadis-hadis yang sahih, sedangkan informasi yang menyalahi hal di atas maka janganlah diperhitungkan. [21] Jadi kesimpulan yang dapat kita tarik dari sikap Ibnu ‘Arabi terhadap kisah israiliyyat adalah bahwa Ibnu ‘Arabi sama sekali tidak mau mengambil kisah-kisah israiliyyat sebagai penjelasan terhadap kalam Tuhan yang ijaz di dalam kitab tafsirnya kecuali israiliyyat yang dimuat dalam hadis-hadis yang sahih, baik secara sanad maupun matan. Dalam hal ini, Ibnu ‘Arabi sependapat dengan mufassir-mufassir yang sezaman dengannya; Fakhruddin ar-Razi, Ibnu ‘Atiyyah, Ibnu al-Jauzi yang mengajak para fakar untuk membersihkan al-Qur’an dari kisah-kisah israiliyyat yang tidak dapat diterima oleh akal (irrasional), dan juga tidak dikuatkan oleh argumen dari riwayat yang sahih.

Ibnu ‘Arabi tidak tertarik untuk menguraikan perbedaan pendapat menyangkut masalah-masalah fikih (masāil al-fiqhiyyah), melainkan ia lebih memperdalam pembahasan ke arah tasawuf. Siapa saja yang memperhatikan cara penafsiran Ibnu ‘Arabi, ia akan melihat bahwa faktor bahasa, kesucian hati, ketakwaan dan intuisi (ilhām), itulah yang menjadi landasan penafsiran dalam kitab tafsirnya. Oleh karenanya, maka adalah tepat jika ada sementara fakar yang mengelompokan Ibnu ‘Arabi dalam jajaran ahli bahasa, hanya saja disamping sebagai ahli bahasa yang mumpuni, yang juga merupakan ilmu zahir, dalam waktu sama, Ibnu ‘Arabi adalah seorang sufi yang memiliki rasa yang dalam yang hatinya terbuka sehingga dapat memahami maksud ayat yang tidak dapat dijangkau oleh hanya pendekatan linguistik ahli bahasa, tetapi penafsirannya tetap tidak keluar dari ruh bahasa itu sendiri.[22] Bagi Ibnu ‘Arabi substansi bahasa adalah apa yang ia fahami dengan jalan al-kasyaf wa al-faudhāt. Itulah sebabnya, orientasi kebahasaannya berujung pada isyarat-isayarat yang dalam yang tidak dapat dijangkau oleh sekedar pendekatan bahasa secara lahir.

Berkaitan dengan pendekatan tafsir Ibnu ‘Arabi sebagai diungkap di atas, Ibnu Taimiyyah, menulis yang ia kutip dari Ibnu Katsir bahwa pola penafsiran yang paling utama, pertama adalah menjelaskan ayat al-Qur’an dengan al-Qur’an lagi, jika belum nampak kejelasannya maka masuk ke tahapan yang kedua yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan mencari penjelasan dari hadis Nabi, jika dalam hadis belum nampak kejelasan maknanya maka masuk ke langkah ke tiga yaitu mencari pendapat ulama sahabat. Dan jika dalam āsār sahabat pun belum nampak kejelasannya maka pergunakalanlah pendekatan kebahasaan (linguistik).[23]

Sehubungan dengan kritik Ibnu Taimiyyah, tulisan Ibnu ‘Arabi menggambarkan antisipasinya: Memang betul ilmu itu tidak akan didapat kecuali dengan cara belajar secara manual, sesuai dengan firman Allah: “Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan manusia. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, Tuhanmulah yang Maha Mulia. Yang mengajar manusia menulis dengan qalam”. (al-‘Alaq: 1-5). Allah berfirman: “Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan kamu tidak tahu apa-apa” “Allahlah yang menciptakan manusia. Ia mengajarkan kepadanya penjelasan-penjelasan” (Ar-Rahman: 3-4).

Memang Allah lah yang mengajar manusia. Namun janganlah ragu kalau para sufi itu adalah ahli waris para Rasul. Menyangkut hak para Rasul Allah berfirman:

“Allah mengajarmu apa yang kamu tidak ketahui” (an-Nisa: 13). Tentang hak ‘Isa Allah berfirman: “Allah mengajarnya ilmu dan hikmah, taurat dan injil” (Ali Imran: 48). Tentang hak Hidir Allah berfirman: “Kami berikan kepadanya ilmu dari Kami sendiri” (Al-Kahfi: 65).

Selanjutnya Ibnu ‘Arabi berkata: Memang benar para ulama yang menyatakan bahwa ilmu tidak dapat diperoleh kecuali dengan belajar, tetapi i’tikad mereka salah kalau mereka berpendapat bahwa Allah tidak memberi ilmu kecuali kepada Nabi, Rasul dan ulama. Padahal Allah berfirman:

“Allah memberikan hikmah kepada siapa saja yang Ia kehendaki” (al-Baqarah: 269)

Maksud “hikmah” di sini adalah ilmu. Dan kata “man” diungkap secara nakirah. Ini menunjukan kepada selain Rasul pun Allah memberikan ilmu. Para sufilah orang yang mendapatkannya[24]

Ketika Ibnu ‘Arabi menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan alam (ayat kaoniyyah), Ibnu ‘Arabi menafsirkannya secara sufistik. Seringkali apa yang ia paparkan secara zahir tidak ada kaitannya dengan ayat yang sedang ditafsirkannya. Sebagai misal ketika ia menafsirkan ayat:

Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. (al-A’rāf : 57).



Negeri yang baik akan mengeluarkan tumbuh-tumbuhan yang baik pula atas izin Tuhan, sedangkan negeri yang jelek tidak akan mengeluarkan apa-apa kecuali kegersangan, seperti itulah Kami memperlihatkan ayat-ayat Kami bagi orang-orang yang bersyukur. Selanjutnya Ibnu ‘Arabi menuturkan bahwa sesuai dengan fitrah yang mesti terjadi bahwa siapa yang masuk dalam tarekat maka ia akan melihat Tuhan Yang Maha Suci. Lalu ia membaca kedua ayat di atas. Allah mengingatkan kita dengan apa yang kita baca atas pertolongan awal yang Allah berikan kepada kita melalui tangan Isa, Musa dan Muhammad saw. Kita kembali ke jalan yang lurus ini karena jasa Isa, Musa dan Muhammad saw.

Adapun tafsiran (Baina Yadai Rahmatihi) yakni Ia menolong kita. (Hatta iza aqallat sahāban şiqālan) yakni kesesuaian taufiq. (Suqnāhu libaladin mayyitin) Itulah Aku. (Fa’ahyainā bihi al-ardha ba’da mautiha) yakni apa yang nampak kepada kita berupa cahaya penerimaan dan amal salih serta kerinduan kepada-Nya. (demikianlah Kami menghidupkan orang yang telah mati); Potongan ayat itu mengandung isyarat, sebagaimana hadis Nabi, bahwa Allah menjadikan hujan yang turun membasahi bumi laksana air mani seorang laki-laki.[25]

Ibnu ‘Arabi mengulang tafsir atas ayat di atas sebagai berikut: Negeri yang baik mengeluarkan tumbuh-tumbuhan atas izin Tuhannya. Maksudnya tiada lain kecuali kesesuaian, pendengaran, dan ketaatan untuk mensucikan tempat. Sedangkan negri yang jelek yaitu pribadi yang dikendalikan oleh nafsu dan karakter yang buruk tidak mengeluarkan sesuatu kecuali perbuatan yang sia-sia.

Membawa penafsiran ayat secara langsung ke penafsiran sufistik tanpa terlebih dahulu mengungkapkan tafsir secara zahir, sebenarnya bertentangan dengan pola penafsiran teosofi sendiri. Sebab menafsirkan ayat secara sufistik tanpa didahului dengan tafsiran zahiri, sering menimbulkan kesulitan bagi sebagian orang untuk memahaminya, bahkan dapat juga menimbulkan pitnah di kalangan umat. Pola ini secara sistimatis kelihatannya merupakan pelanggaran, tetapi Ibnu ‘Arabi tidak bermaksud demikian, karena makna zahir, baginya sudah ada dalam alam pemikirannya dan dianggapnya sebagai sesuatu yang muhkam (tidak perlu dijelaskan lagi).

Sebagaimana kebiasaan tafsir sufi, dalam banyak hal selalu berorientasi pada eksisitensi hati, peranan hati dan kesucian hati. Demikian juga Ibnu ‘Arabi dalam banyak interpretasinya selalu membawa segala persoalan berujung pada kesucian hati. Memang wajar, sebab bagi para sufi, hakikat manusia terletak pada hatinya,[26] jika hatinya baik maka baiklah manusia dan jika hatinya jelek maka jeleklah manusia.[27]

Sebagai misal, ketika ia menafsirkan ayat 32 surat al-haj sebagai berikut:

ومن يعظم شعائر الله فانها من تقوى القلوب (الحج: 32)

لكم فيها منافع الى اجل مسمى ثم محلها الى البيت العتيق ) الحج: 33)


“Barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. (al-Haj: 32)

“Bagi kamu pada binatang-binatang hadyu, ada beberapa manfa’at sampai kepada waktu yang telah ditentukan, kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah sampai ke Bait al-‘Ataiq (Baitullah)”. (al-Haj: 33).

Ibnu ‘Arabi menafsirkan kata syi’ar-syi’ar Allah dengan tanda-tanda (a’alām), a’alām artinya dalil-dalil yang dapat menyampaikan kepada-Nya. Kemudian ia menafsirkan kata “kemudian tempatnya hingga sampai ke Baitullah” yang dimaksud adalah bait al-īman (rumahnya iman), sesuai dengan pendapat ahli isyarah. Tempat iman tiada lain adalah hati orang yang beriman yang meluaskan keagungan Allah dan kegagahan-Nya.[28]

Alasan lain mengapa penafsiran Ibnu ‘Arabi selalu berorentasi kepada kesucian hati. Sebab hati adalah eksisitensi manusia itu sendiri bahkan hakikat manusia itu sendiri. Selama hatinya berfungsi maka manusia itu sempurna, tetapi jika hatinya tidak berfungsi maka bukanlah ia manusia. Dalam ayat Tuhan yang lain, disebutkan bahwa orang yang hatinya tidak berfungsi disebutnya sebagai binatang bahkan lebih jelek dan lebih sesat daripada binatang. Bagaimana orientasi Ibnu ‘Arabi terhadap fungsionalisasi qalb (hati), telah penulis angkat dalam bab empat.

Dalam ayat lain, interpretasi Ibnu ‘Arabi terhadap kesucian dan pemaksimalan fungsi hati, agaknya perlu pula penulis utarakan di sini beberapa contoh.

Ibnu ‘Arabi menganalogikan salat dengan kehadiran hati, musyahadah dengan ruh dan ibadah haji dengan pendekatan (taqarrub ilallāhi) bahkan intinya segala bentuk pendekatan dengan hati itu adalah salat. Dalam pada itu, masih dari interpretasi terhadap ayat tertulis di atas, masih terasa dan bahkan nampak begitu jelas betapa faham wahdat al-wujud selalu mendominasi ujung penafsiran Ibnu ‘Arabi. Ia mengatakan: Tidak ada wujud untukku dan untuk selainku sehingga aku mendapat bagian. Jika aku beramal maka aku mendapat bagian. Karena ia beramal ia mendapat bagian, karena mendapat bagian maka ia dianggap wujud. Sementara jika tidak mendapat bagian, maka eksistensinya dianggap tidak ada maka tidaklah ada wujud untuku dan tidak juga untuk selainku. Dengan keadaan seperti itulah aku diperintah yakni aku diperintah agar aku tidak melihat kecuali kepada-Nya dalam arti secara al-jām’i (keseluruhan), demikian juga dalam gambaran rincian, sehingga aku beramal bagi Allah, tidaklah akan keliru penglihatan dan tidak akan sesat, Dialah yang memerintah sekaligus Yang diperintah, Yang melihat sekaligus Dia juga yang dilihat. Dari kedua proposisi itulah nampak kelihatan pemunculan faham wahdat al-wujud hampir sepanjang ayat dalam setiap surat.

Karena penafsirannya yang komitmen dengan teori sufistiknya maka sebagaian fakar tafsir, semisal Husain az-Zahabi, Manna al-Qhattan, demikian juga Tameem Ushama, seringkali menyebut tafsir Ibnu ‘Arabi ini sebagai tafsir induk bagi corak tafsir falsafi nazhari, selanjutnya Ibnu ‘Arabi sendiri dipandang sebagai orang yang paling bertangung jawab terhadap pola penafsiran tasawuf falsafi nazhari ini. Ia menafsirkan al-Qur’an dengan tafsiran yang sesuai dengan teori awal tasawufnya yaitu teori wahdat al-wujud. Penafsiran serupa ini terutama nampak sekali dalam buku falsafat mistiknya yaitu kitab Fusūs al-Hikam.[29]

Ketika Ibni ‘Arabi menafsirkan ayat ke lima puluh tujuh surat Maryam yaitu ayat berikut ini:

ورفعناه مكانا عليا (مريم: 57)

Ia menyatakan: Tempat tertinggi yang menjadi tempat beredarnya ruh alam aflak adalah falak matahari. Falak matahari ini merupakan tempat ruhani Nabi Idris. Sementara tempat yang paling tinggi adalah tempat bagi kita yakni ummat Muhammad, sesuai dengan firman Allah dalam surat Muhammad ayat ke tiga puluh lima:

وانتم أ ﻷعلون والله معكم (محمد: 35)

Dalam kedua ayat di atas, Ibnu ‘Arabi menafsirkan kata (makān) dengan arti tempat secara fisik bukan dalam arti kedudukan. Sementara kebanyakan mufassir yang lain justru menafsirkan kata "makān" dan "makanah" sebagai tempat (kedudukan) secara spiritual. Di satu sisi, ia mengartikan tempat secara fisik, tapi di sisi lain, ia mengartikan tempat itu sebagai pusat beredarnya ruhani Nabi Idris As.

Komentar Mannā al-Qatthān, pola penafsiran seperti ini, sebenarnya membawa nash kepada makna yang tidak tampak dan cenderung memperdalam ta’wil batin yang jauh dan bahkan bisa mengarah kepada kekeliruan dan kesalahan. Hanya menurut Ibnu ‘Arabi, kekeliruan bisa terjadi manakala mufassir melepaskan diri dari makna harfiyah dan tafsir lahir, juga meninggalkan syari’ah sebagai mizan. Jika tidak demikian maka ta’wil para sufi adalah benar baik secara ilmu apalagi secara kasyfi. Yang perlu dicatat, ternyata tidak semua penafsiran Ibnu ‘Arabi berkarakter falasfi, malah kecenderungan terhadap isyarinya lebih kental, hanya harus diakui dalam waktu yang sama ia pun mengungkapkan ajarannya dengan sangat rasional, sehingga karena itulah para pakar menganganggap ajaran Ibnu ‘Arabi sebagai falsafat hasil dari refleksi. Karena itu pula, di satu sisi tafsir Ibnu ‘Arabi ini dipandang sebagai tafsir isyari yang dasarnya kasyf dan di sisi lain dipandang sebagai tafsir falsafi nazari, karena ajaran Ibnu ‘Arabi sesuai dengan nalar yang lurus (rasional). Kenyataanya kedua kecenderungan tafsir ini ada pada karya tafsir Ibnu ‘Arabi ini. Barangkali karena itu pula, para pakar tafsir ketika mengangkat contoh tafsit isyari, mereka mengangkat tafsir Ibnu ‘Arabi sebagai sampelnya, tetapi dalam waktu yang sama, ketika mereka harus memberi uraian tentang tafsir falsafi nazari, mereka memunculkan tafsir Ibnu ‘Arabi juga sebagai sampelnya. Tafsir Ibnu ‘Arabi memang pantas menjadi sampel karena mufassir sufi yang datang kemudian menempatkan tafsir Ibnu ‘Arabi ini sebagai induk dan referensi bagi pengembangan tafsir corak tasawuf yang mereka kembangkan.






[1] Lihat ! Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt al-Makkiyyah, juz I, hal 43. Az-Zahabi, at-Tafsīr wa al-Mufassirūn, juz II, hal. 391.


[2] Ibnu ‘Arabi, al-Futūhat, juz I, hal. 43.


[3] Ibnu ‘Arabi, Risalah Wujudiyyah, hal. 11.

Lihat! Fudoli Zaini, Sepintas Sastra Sufi Tokoh dan Pemikirannya, ( Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hal. 112.


[4] Lihat At-Tabari, juz I, hal 87.


[5] Ibnu Taimiyyah, Muqaddimah fi Uusūl at-Tafsīr, hal. 91.


[6] Ibnu Taimiyyah, Muqaddimah fi Usūl at-Tafsīr, tth, hal. 91.


[7] Ibnu Taimiyyah, Muqaddimah fi Usūl at-Tafsīr, hal. 93.


[8] Mahmud Basuni, at-Tafsir wa Manāhijuhu, hal. 253.


[9] Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt, juz I, hal. 280. at-Tafsir, juz, II, hal. 387. M. Basuni, hal 254.


[10] Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt al-Makkiyyah, juz I, hal. 42. Lihat! Ibrahim Abdurahman, Usūl at-Tafsīr wa Qawā’iduhu, hal. 91.


[11] Ibnu Arabi, al-Futūhāt, juz IV, hal. 72.


[12] Az-Zarkasyi, al-Burhān, II, hal. 180. Tekstualitas al-Qur’an, hal. 302.


[13] Hamid Mahmud az-Zaqri, Muhyiddin Ibnu ‘Arabi Mufassiran, Mesir, tp. Tt, hal. 262.


[14] Ia adalah mufassir yang sezaman dengan Ibnu ‘Arabi, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Amr bin al-Hasan bin ‘Ali At-Tabrastani ar-Razi, as-Syafi’i, al-Bakry, at-Taimi keturunan Abu Bakar Siddiq. Nama laqabnya antara lain Syaikh al-Islam, Ar-Razi atau Fakhruddin. Nama populernya adalah Fakhruddin ar-Razi, atau Ar-Razi saja. Ia lahir di kota Ray pada tahun 544 H. Disamping sebagai mufassir besar yang menulis Kitab Tafsir al-Kabir (Mafātih al-Gaib), ia juga banyak menulis disiplin ilmu lainnya, misalnya tentang ushul Fikih ia menulis kitab “al-Mahsūl fi ‘Ilmi usūl al-Fiqh”. Menyangkut teologi, ia menulis “al-Mahsal fi Afkār al-Mutaqaddimīn” “al-Masāil al-Khamsun fi usūl al-Kalām”. Berkaitan dengan mantiq ia menulis “at-Tāriqht fi al-Jadal” dan “Kitab al-Arba’in fi Usūl al-Din”. Berkaitan dengan Ulum al-Qur’an ia menulis “Nihāyat al-Îjaz fi Dirayāt al-I’jaz”. Menyangkut tasawuf misalnya ia menulis “Syarh Asmā al-Husnā” “’Ashamāt al-Anbiyā” “Lubāb al-Isyārat” dan lain-lain. Komentar As-Subki tentang tafsir karya Ar-Razi : Di dalamnya kecuali penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an (tafsir), juga kaya dengan berbagai informasi ilmiah lainnya.


[15] Zahabi, at-Tafsīr, juz II, hal. 408.


[16] ‘Abdul Hay bin al-‘Amad, Syazarāt az-Zahab, (Maţba’ah al-Kuds, 1350 H), hal. 191.


[17] Ismail Haqqi al-Burusawi, Tafsir Rūh al-Bayān, Beirut: Dār al-Fikr, tt. Juz I, hal. 16.


[18] Ibnu ‘Arabi, Khatimah al-Futūhāt, juz IV. Hal 555.


[19] M. Fudoli Zaini, Sepintas Sastra Sufi, Tokoh dan Pemikirannya, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hal. 106.


[20] Muhammad Ibrahim Abdurahman, Manhaj al-Fakhr ar-Razī, hal. 228.


[21] al-Futūhāt, juz II, hal 338-339. Ibrahim Abdurahman, Manhaj, hal. 228.


[22] Muhyiddin Ibni ‘Arabi Mufassiran, juz I, hal. 142.


[23] Ibnu Taimiyyah, Muqaddimah fi at_tafsīr, hal. 93-103.


[24] Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt, juz I, hal. 279-280. Az-Zahabi, at-Tafsīr, juz II, hal. 371.


[25] Ibnu ‘Arabi, al-Futūhāt, juz IV, hal. 172. Lihat az-Zahabi, at-Tafsīr, hal. 414. Muhammad Ibrahim Abdurahman, Manhaj al-Fakhr ar-Rāzī, hal. 138.


[26] Al-Gazali sebagai dikutip oleh Syaikh Sahibul Wafa, ia menulis bahwa hati yang dalam konsep Al-Gazali disebut al-Latifah ar-rabbaaniyyah ar-ruhaniyyah yang berkaitan dengan jasad manusia adalah hakikat zat manusia sendiri. Hatilah yang dapat menjangkau ma’rifah. Hati adalah tempat cahaya yang Allah limpahkan ke dalamnya sehingga ia memperoleh daya dan kekuatan kasyaf atas berbagai substansi persoalan. (Lihat Miftāh as-Sudūr, juz II, hal. 22).


[27] Proposisi di atas sesuai dengan hadis Nabi: Ingatlah bahwa dalam diri manusia terdapat segumpal darah, jika ia baik maka baiklah manusia dan jika ia jelek maka jeleklah manusia, ingtlah dialah hati (al-hadis riwayat Tirmizi, Daruqutni, Ibnu Hibban dan lain-lain).


[28] Az-Zahabi, at-Tafsir, juz I, hal. 414.


[29] Manna al-Qatthan, Mabāhis fi Ulūm al-Qur’an,(Qairo: Mansurāt al-‘Asr al-Hadīs, tth) hal. 356.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar