Minggu, 24 November 2013

TQN: Mursyid Inklusif Pengayom Umat




Oleh Dr. ASEP SALAHUDIN

Kyai kharismatik dari Priangan Timur dan tokoh nasional satu persatu berpulang ke rahmatullah, mulai dari KH Ilyas Rukhiyat (Cipasung), KH Irfan Hielmy (Pesantren Darussalam) dan kemarin (5/9) tepat di usianya yang ke 96 dan berbarengan dengan hari ulang tahun  pondon pesantren Suryalaya yang ke-106 putera terbaik sekaligus mursyid tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, KH Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin atau lebih popular dipanggil Abah Anom, telah dipanggil yang Kuasa pada pukul 12.15 WIB .

Orang tuanya Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) kawan karibnya pujangga Sunda Haji Hasan Mustapa berpulang ke Rahmattullah pada tahun 1956 di usia yang ke 120. Kepemimpinan dan kemursyidan kemudian dilimpahkan kepada putranya yang kelima, yaitu KH. Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin itu.

Estafeta kepemimpinan dari Abah Sepuh ke Abah Anom sesungguhnya  bukan sekadar perpindahan dari seorang ayah biologis  kepada anaknya. Namun dalam tradisi tarekat pada sisi lain yang lebih penting adalah perpindahan tongkat kemursyidan. Abah Anom bukan sekadar ‘putera biologis’ namun adalah ‘putera ideologis’ yang paling militan dalam lakuning tarekat (riyadhah) seperti terbaca dalam guguritan yang ditulisnya berjudul Lumengis:
Kabeh murid sing gumati, poma ulah rek balangah
Kahade ulah campoleh, dina waktu nishfi sya’ban
Solat anu geus biasa, murid-murid pek karumpul
Di patapan suryalaya

Panglinggihan guru suci, nu mulya dunya aherat
Guru nu terus sumeren, kabeh elmu panemuna
Putra nu neraskeunana, putra nu dijungjung eunggah
Asmana Shohibul Wafa
Abah Sepuh yang telah menancapkan landasan dasar kepesantrenan yang memadukan antara ketarekatan, kesundaan dan keindonesiaan dilanjutkan Abah Anom. Bahkan di tangan Abah Anom, pesantren ini dapat dikomunikasikan ke halayak umat yang lebih luas. Tidak hanya lintas mazhab, lintas wilayah bahkan juga lintas agama. Komunitasnya bukan hanya dari kalangan atas namun juga masyarakat bawah. Ajaran tarekatnya bukan saja menyebar di Jawa Barat, tapi juga dapat menembus wilayah yang sangat luas di seluruh pelosok Nusantra berdiri korwil-korwilnya bahkan membuka cabangnya di Singapura, Malaysia dan Tailand.
Dalam tradasi sejarah kepesantrenan sangat sulit menemukan pesantren di Jawa Barat mampu melakukan ekspansi ke Jawa, kalau tidak justru kebalikannya. Namun, di tangan Abah Anom pesantren ini mampu menembus Jawa. Langka sekali kelompok santri dari Jawa Tengah atau Jawa Timur talabul ilmi ke pesantren yang ada di Sunda, justru yang terjadi adalah rasa kurang afdol kalau kelompok santri Sunda belum pernah mesantren ke Jawa walaupun hanya sekadar ngalap berkah.

Tentu di tangan Abah Anom tantangan pesantren dan penyebaran tarekat itu tidaklah kecil. Kalau pada masa Abah Sepuh menghadapi kolonialisme, maka zaman Abah Anom pemberontakan. Menghadapi huru hara dari  gerakan yang hendak memaksakan ideologinya baik yang berhaluan kiri (PKI) ataupun kanan (DI/TII). Pada masa itu Pondok Pesantren Suryalaya sering mendapat teror, terhitung lebih dari 48 kali serangan yang dilakukan DI/TII yang memang basis perjuangannya tersebar di seputar wilayah Malangbong, Tasikmalaya, Garut dan Ciamis. Juga pada masa pemberontakan PKI tahun 1965. Medan pertempuran bagi Abah Anom bukanlah wilayah asing. Pada masa-masa perang kemerdekaan, bersama Brig. Jend. Akil bahu-membahu memulihkan keamanan dan ketertiban di wilayahnya.
Dalam konteks ini Abah Anom banyak membantu pemerintah menyadarkan kembali eks anggota PKI. Juga bersama dengan masyarakat menghentikan arus ideologis gerakan DI-TII. Abah Anom lebih memilih jalur beragama yang inklusif  sebagai gerakan kultural ketimbang masuk menjadi bagian dari Islam ideologis dan berhadap-hadapan dengan pemerintahan sah. Seperti disampaikan oleh pembantu khususunya Punawirawan Letjen Sukriya Atmadja kepada penulis bahwa garis politik Abah Anom dan Pesantren Suryalaya adalah Islam nasionalis, semangat keislaman yang mengakui pancasila dan UUD 1945 sebagai konstitusi dan NKRI sebagai tujuan final dalam kehidupan bernegara.
Kesundaan

Salah satu hal yang menarik disamping pemahamannya yang  inklusif adalah alam dan horizon Sunda dijadikan sebagai media utama untuk membangun paradigma tarekatnya. Bukan hanya  simbol kyainya yang sama sekali tidak mencitrakan ‘manusia Arab’ tapi tubuh dengan segala semiotika kesundaan,  juga mindset kyainya yang dengan seutuhnya menyimpulkan manusia Sunda yang telah ‘sirna di rasa’. “Tanbih” sebagai manifesto tarekat dengan sangat jelas mencerminkan aroma alam sundawi dengan segala metafora yang diambilanya. Kita kutip penggalannya: “kudu logor dina liang jarum ulah sereg di buana di bauna”, “ulah medal sila mun ka panah”, “ulah rek kajongjonan ngeunah dewek henteu lian “, “entong mariksa murid batur” .

Di titik inilah tarekat yang dikomunikasikan Pesntren Suryalaya memikul pesan budaya bagaimana agama Islam yang notabene  berasal dari Arab dapat berdialog dengan tradisi kesundaan sehingga nampak pertautan yang kental antara nilai sebuah budaya dengan nilai-nilai keagamaan. Semacam religiositas yang sama sekali tidak mengabaikan kebudayaan. Religiositas menyatu dengan kultur lokal karena satu sama lain pada level spiritual menjadi tidak ada jarak yang membedakan. Kedua-duanya membawa pesan kearifan abadi (perenial) untuk membangun kemanusiaan yang santun

Konteks kebangsaan

Komunikasi politik kebangsaan yang dikembangkan Abah Anom  lebih mengedepankan “politik moral” ketimbang politik praktis . Apalagi  dengan sangat tegas dalam komunitas Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah ini ketaatan kepada Negara dianggap sama pentingnya dengan agama sebagaimana tercantum dalam tanbih yang selalu dibaca setiap acara Manakiban.

Dalam tafsir Hiroko Horikoshi (1987) bahwa format komunikasi politik  Abah Abah Anom lebih  merupakan konsultan politik, sekaligus sebagai agen yang mampu menyeleksi dan mengarahkan nilai-nilai budaya yang akan memberdayakan masyarakat. Fungsi konsultan politik ini dapat juga diperankan untuk membentengi titik titik rawan dalam jalinan yang menghubungkan sistem lokal dengan keseluruhan sistem yang lebih luas, dan sering betindak sebagai penyanggga atau penengah antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan, menjaga terpeliharanya daya pendorong dinamika masyarakat yang diperlukan.

Ribuan orang yang selalu menghadiri upacara manakiban setiap bulan dari berbagai kalangan, ratusan tamu yang selalu datang tiap hari ke pesantren Suryalaya dari berbegai pelosok bahkan luar negeri dan selalu dilayani dengan ikhlas dan istikamah adalah magnet tersendiri yang memancar dari kharisma Kyai sederhana Suryalaya. Bahkan diterima juga ketika yang datang itu manusa korban NAPZA untuk diinapkan di pondok Inabah. Selemat jalan, mursyid. Semoga karamah dan baraokahnya menyertai kita. (Pikiran Rakyat, 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar