Oleh Dr. ASEP SALAHUDIN
Kyai
kharismatik dari Priangan Timur dan tokoh nasional satu persatu berpulang ke
rahmatullah, mulai dari KH Ilyas Rukhiyat (Cipasung), KH Irfan Hielmy
(Pesantren Darussalam) dan kemarin (5/9) tepat di usianya yang ke 96 dan
berbarengan dengan hari ulang tahun
pondon pesantren Suryalaya yang ke-106 putera terbaik sekaligus mursyid
tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, KH Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin atau
lebih popular dipanggil Abah Anom, telah dipanggil yang Kuasa pada pukul 12.15
WIB .
Orang
tuanya Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) kawan karibnya pujangga
Sunda Haji Hasan Mustapa berpulang ke Rahmattullah pada tahun 1956 di usia yang
ke 120. Kepemimpinan dan kemursyidan kemudian dilimpahkan kepada putranya yang
kelima, yaitu KH. Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin itu.
Estafeta
kepemimpinan dari Abah Sepuh ke Abah Anom sesungguhnya bukan sekadar perpindahan dari seorang ayah
biologis kepada anaknya. Namun
dalam tradisi tarekat pada sisi lain yang lebih penting adalah perpindahan
tongkat kemursyidan. Abah Anom bukan sekadar ‘putera biologis’ namun adalah
‘putera ideologis’ yang paling militan dalam lakuning tarekat (riyadhah) seperti terbaca dalam guguritan yang
ditulisnya berjudul Lumengis:
Kabeh murid
sing gumati, poma ulah rek balangah
Kahade ulah
campoleh, dina waktu nishfi sya’ban
Solat anu geus
biasa, murid-murid pek karumpul
Di patapan
suryalaya
Panglinggihan
guru suci, nu mulya dunya aherat
Guru nu terus
sumeren, kabeh elmu panemuna
Putra nu
neraskeunana, putra nu dijungjung eunggah
Asmana
Shohibul Wafa
Abah Sepuh yang telah menancapkan landasan dasar kepesantrenan
yang memadukan antara ketarekatan, kesundaan dan keindonesiaan dilanjutkan Abah
Anom. Bahkan di tangan Abah Anom, pesantren ini dapat dikomunikasikan ke
halayak umat yang lebih luas. Tidak hanya lintas mazhab, lintas wilayah bahkan
juga lintas agama. Komunitasnya
bukan hanya dari kalangan atas namun juga masyarakat bawah. Ajaran tarekatnya
bukan saja menyebar di Jawa Barat, tapi juga dapat menembus wilayah yang sangat
luas di seluruh pelosok Nusantra berdiri korwil-korwilnya bahkan membuka
cabangnya di Singapura, Malaysia dan Tailand.
Dalam tradasi sejarah kepesantrenan sangat
sulit menemukan pesantren di Jawa Barat mampu melakukan ekspansi ke Jawa, kalau
tidak justru kebalikannya. Namun, di tangan Abah Anom pesantren ini mampu
menembus Jawa. Langka sekali kelompok santri dari Jawa Tengah atau Jawa Timur
talabul ilmi ke pesantren yang ada di Sunda, justru yang terjadi adalah rasa
kurang afdol kalau kelompok santri Sunda belum pernah mesantren ke Jawa
walaupun hanya sekadar ngalap berkah.
Tentu di tangan
Abah Anom tantangan pesantren dan penyebaran tarekat itu tidaklah kecil. Kalau
pada masa Abah Sepuh menghadapi kolonialisme, maka zaman Abah Anom
pemberontakan. Menghadapi huru hara dari
gerakan yang hendak memaksakan ideologinya baik yang berhaluan kiri
(PKI) ataupun kanan (DI/TII). Pada masa itu Pondok Pesantren Suryalaya sering
mendapat teror, terhitung lebih dari 48 kali serangan yang dilakukan DI/TII
yang memang basis perjuangannya tersebar di seputar wilayah Malangbong,
Tasikmalaya, Garut dan Ciamis. Juga pada masa pemberontakan PKI tahun 1965.
Medan pertempuran bagi Abah Anom bukanlah wilayah asing. Pada masa-masa perang
kemerdekaan, bersama Brig. Jend. Akil bahu-membahu memulihkan keamanan dan
ketertiban di wilayahnya.
Dalam konteks ini
Abah Anom banyak membantu pemerintah menyadarkan kembali eks anggota PKI. Juga
bersama dengan masyarakat menghentikan arus ideologis gerakan DI-TII. Abah Anom
lebih memilih jalur beragama yang inklusif
sebagai gerakan kultural ketimbang masuk menjadi bagian dari Islam
ideologis dan berhadap-hadapan dengan pemerintahan sah. Seperti disampaikan
oleh pembantu khususunya Punawirawan Letjen Sukriya Atmadja kepada penulis
bahwa garis politik Abah Anom dan Pesantren Suryalaya adalah Islam nasionalis,
semangat keislaman yang mengakui pancasila dan UUD 1945 sebagai konstitusi dan
NKRI sebagai tujuan final dalam kehidupan bernegara.
Kesundaan
Salah
satu hal yang menarik disamping pemahamannya yang inklusif adalah alam dan horizon Sunda
dijadikan sebagai media utama untuk membangun paradigma tarekatnya. Bukan
hanya simbol kyainya yang sama sekali
tidak mencitrakan ‘manusia Arab’ tapi tubuh dengan segala semiotika
kesundaan, juga mindset kyainya yang
dengan seutuhnya menyimpulkan manusia Sunda yang telah ‘sirna di rasa’.
“Tanbih” sebagai manifesto tarekat dengan sangat jelas mencerminkan aroma alam
sundawi dengan segala metafora yang diambilanya. Kita kutip penggalannya: “kudu
logor dina liang jarum ulah sereg di buana di bauna”, “ulah medal sila mun ka
panah”, “ulah rek kajongjonan ngeunah dewek henteu lian “, “entong mariksa
murid batur” .
Di
titik inilah tarekat yang dikomunikasikan Pesntren Suryalaya memikul pesan
budaya bagaimana agama Islam yang notabene
berasal dari Arab dapat berdialog dengan tradisi kesundaan sehingga
nampak pertautan yang kental antara nilai sebuah budaya dengan nilai-nilai keagamaan.
Semacam religiositas yang sama sekali tidak mengabaikan kebudayaan.
Religiositas menyatu dengan kultur lokal karena satu sama lain pada level
spiritual menjadi tidak ada jarak yang membedakan. Kedua-duanya membawa pesan
kearifan abadi (perenial) untuk membangun kemanusiaan yang santun
Konteks kebangsaan
Komunikasi
politik kebangsaan yang dikembangkan Abah Anom
lebih mengedepankan “politik moral” ketimbang politik praktis . Apalagi dengan sangat tegas dalam komunitas Tarekat
Qadiriyah Naqsyabandiyah ini ketaatan kepada Negara dianggap sama pentingnya
dengan agama sebagaimana tercantum dalam tanbih yang selalu dibaca setiap acara
Manakiban.
Dalam tafsir Hiroko Horikoshi (1987) bahwa
format komunikasi politik Abah Abah Anom
lebih merupakan konsultan politik,
sekaligus sebagai agen yang mampu menyeleksi dan mengarahkan nilai-nilai budaya
yang akan memberdayakan masyarakat. Fungsi konsultan politik ini dapat juga
diperankan untuk membentengi titik titik rawan dalam jalinan yang menghubungkan
sistem lokal dengan keseluruhan sistem yang lebih luas, dan sering betindak
sebagai penyanggga atau penengah antara kelompok-kelompok yang saling
bertentangan, menjaga terpeliharanya daya pendorong dinamika masyarakat yang
diperlukan.
Ribuan
orang yang selalu menghadiri upacara manakiban setiap bulan dari berbagai
kalangan, ratusan tamu yang selalu datang tiap hari ke pesantren Suryalaya dari
berbegai pelosok bahkan luar negeri dan selalu dilayani dengan ikhlas dan
istikamah adalah magnet tersendiri yang memancar dari kharisma Kyai sederhana
Suryalaya. Bahkan diterima juga ketika yang datang itu manusa korban NAPZA
untuk diinapkan di pondok Inabah. Selemat jalan, mursyid. Semoga karamah dan
baraokahnya menyertai kita. (Pikiran Rakyat, 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar