Dodo Widarda S.Ag. M.Hum.
Makalah disampaikan dalam Seminar "Tasawuf Nafas Peradaban Dunia" di IAILM
Menilik dari awal kelahiran sampai mencapai tarap
kematangannya seperti sekarang, Tarekat
Qodiriyyah Naqsabandiyyah (TQN), telah menempuh rentang waktu yang sangat
panjang. Adalah Syaikh Ahmad Khatib Sambas, seorang ulama Nusantara yang sangat
berpengaruh di Makkah, yang telah mengintegrasikan dua tradisi tarekat besar;
Qodiriyyah dengan Naqsabandiyyah dalam bentuk TQN seperti yang kita kenal pada
abad ke-21 sekarang ini. Menurut Dhofier, TQN yang menjadi tarekat terbesar di
Jawa, memang didirikan oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas, yang melalui rujukannya
pada orientalis Snouck Hourgrounje, dipandang sebagai tokoh tarekat Qodiriyyah
yang berpusat di Makkah pada abad ke-19 Masehi.[1]
Murid-muridnyalah yang berasal dari Jawa serta Madura, telah menyebarkan ajaran
dari syaikh besar hingga memiliki berjuta-juta pengikut sekarang ini dengan
penyebaran yang kian meluas baik di dalam maupun di luar negeri.
Akan
halnya integrasi antara Qodiriyyah dengan Naqsabandiyyah, dinisbatkan pada dua
nama pendiri tarekat yang sudah sangat dikenal luas di Dunia Islam, yaitu
Syaikh Abd al-Qodir al-Jailaniy dengan
Syaikh Baha’uddin al-Naqsyabandi al-Bukhary. Tarekat Qodiriyyah didirikan oleh
Syaikh Abd al-Qodir al-Jailaniy (wafat 561 H./1166 M.) dan tarekat
Naqsyabandiyyah didirikan oleh Syaikh Baha’uddin al-Naqsyabandy al-Bukhary
(wafat 791 H./1389 M.).[2] Kedua tarekat,
kemudian menyebar secara luas ke seluruh penjuru dunia Islam, dengan poros
penyebarannya di Kota Makkah Jazirah Arabia, kota suci umat Islam. Rupanya dari
sinilah pangkal integrasi oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas yang juga sudah
memberikan sumbangan sangat berharga dari seorang ulama Nusantara yang berasal
dari Kota Sambas Kalimantan Barat, terhadap perkembangan tarekat di Dunia
Islam.
Adapun
keberadaan Pondok Pesantren Suryalaya sampai menginjak usia 105 tahun pada
tahun 2010, didirikan oleh Syaikh Abdullah Mubarak ibn Nur Muhammad pada
tanggal 7 Rajab 1323 H. (5 September 1905 M.). Beliau, pigur kharismatik itu,
menerima TQN dari Gurunya, Syaikh Ahmad Tholhah di Cirebon, seorang murid
terpilih dari Syaikh Ahmad Khatib Sambas di Makkah. Setelah uzur, pada tahun
50-an, Syaikh Abdullah Mubarak ibn Nur Muhammad menyerahkan tongkat
kepemimpinan Pondok Pesantren Suryalaya, kepada Putra Beliau, Syaikh Ahmad
Sahibulwafa Tajul Arifin (sangat terkenal dengan sebutan: Abah Anom),
Mursyid TQN sekaligus pemimpin pesantren Suryalaya dewasa ini.
Di dalam
kehidupan manusia kontemporer yang terus
diharu-biru berbagai masalah dengan tantangan-tantangan kemanusiaan yang
bersifat universal serta global, TQN dengan salah satu titik sentrumnya di
Suryalaya, tetap eksis melintasi masa demi masa. Menembus dimensi ruang dan
waktu. Hal ini tidak lepas dari basis kepemimpinan serta kekuatan manajerial
dari Mursyid Agung, Abah Anom, dengan berbagai khidmah yang diembannya
terhadap agama, terhadap bangsa, terhadap kemanusiaan hingga TQN bisa tetap
berdiri eksis di tengah situasi chaos tatanan dunia global sekarang.
Bersama empat pondok pesantren yang lain sebagai basis penyebaran TQN di tengah
eksotisme tanah Jawa, Suryalaya kian mengukuhkan keberadaannya seperti
tercermin pada gegap-gempitanya Milad Suryalaya yang ke-105.
Dalam telisik Dhofier, Suryalaya ini merupakan
bagian dari lima pondok pesantren di Jawa, yang menjadi basis penyebaran TQN.
Kelima pesantren itu adalah Pesantren Pagentongan di Bogor, Pesantren Suryalaya
di Tasikmalaya (keduanya di Jawa Barat), Pesantren Mranggen di Demak (Jawa
Tengah), Pesantren Rejoso serta
Tebuireng di Jombang (Jawa Timur).[3] Dari tanah air,
TQN ini menyebarkan auranya melalui pesantren-pesantren tersebut, untuk
memberikan jawaban terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, baik menyangkut
hubungan vertikalnya dengan Allah, maupun dalam konteks hubungan sesama manusia
yang bersifat horizontal. Bahkan juga dengan lingkungan alam berdasarkan pada world-view
(pandangan dunia) yang berbasis
pandangan teosofis-sufistis.
Gerakan membangun kesadaran manusia kontemporer
dengan elemen dasar pandangan tasawuf, terasa akan selalu relevan dengan
kebutuhan-kebutuhan kekinian serta pertimbangan-pertimbangan kehidupan etis
manusia di masa depan. Dalam hal ini, Suryalaya adalah top modelnya yang sangat
menonjol di tanah air, bahkan di Asia Tenggara. Gerakan tasawuf ini akan
membawa pada kesadaran azali, untuk mengembalikan manusia pada
asal-usulnya yang hakiki dengan penyucian serta pemurnian jiwa dari
perangkap-perangkap penjara material-bendawi, dengan penerbangan jiwa menuju
kesatuan bersama Sang Hakikat.
Simbolisasi serta metafor Fariduddin Attar lewat
penerbangan Simorgh dalam Manthiq ath-Thayr, adalah gambaran
perjalanan ruhiyah dengan upaya memerdekakan diri dari penjara-penjara
duniawi maupun rintangan-rintangan yang
bersifat batini.[4] Pun, lewat
artikulasi lain seperti digambarkan sastrawan Keraton Surakarta, Yasadipura
yang menggubah Serat Sekh Malaya atau Sunan Kalijaga menjadi kisah alegoris
sufi Dewa Ruci. Lakon Dewa Ruci ini yang
menjadi guru pencerahan ruhani bagi Bima untuk menemukan kesejatian dirinya,
tiada lain adalah sebagai gambaran
metaforis lewat ajaran-ajarannya, agar manusia kembali pada Dia Yang
Sejati.[5] Setelah manusia
menyebrangi berbagai dimensi alam dari alam mulki, malakut, jabarut serta lahut,[6] maka kemudian
mesti direfleksikan dalam sebuah kesadaran manusiawi untuk membangun konstruksi
hubungan mutual-simbiosis, pertama-tama, menjaga konsistensi hubungan dengan
Allah dalam wujud ketaatan beribadah, kemudian dengan sesama manusia. Serta
yang lain adalah dengan alam lingkungan yang ada di sekelilingnya, dalam sebuah
penghormatan sebagai realitas tunggal ciptaan Allah. Mi‘raj ruhani sampai ke
alam lahut, setelah melalui perjuangan yang berat melewati rintangan serta godaan alam mulki,
malakut serta jabarut[7] adalah upaya seorang salik untuk berpindah dari
sifat-sifat setan kepada barakah serta limpahan kasih sayang Allah yang tiada
terhingga. Maka bagi penulis, hubungan manusia dengan manusia serta hubungan
manusia dengan alam harus mencerminkan telah terjadinya metamorfosis diri untuk
meresonansikan sifat-sifat Ilahiyah dalam dimensi-dimensi sejarah yang lebih
kongkret. Itulah dimensi kenabian yang mesti ditransmisikan oleh para
pewarisnya serta di lingkungan TQN Suryalaya, baik pada tingkat panduan akhlak
seperti dalam TANBIH maupun di dalam praksis kehidupan sehari-hari, telah
diterjemahkan oleh para Mursyid sampai pada ketinggian maqomat Abah Anom
sekarang.
Pada abad ke-21 dewasa ini, dunia yang kita huni
berikut tata kehidupan yang ada di dalamnya, memerlukan perumusan filosofis
untuk menghayati hubungan timbal balik yang lebih harmonis serta bergairah
antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia serta manusia dengan
semesta-raya tempatnya hidup. Pandangan mekanik dari paradigma
Cartesian-Newtonian sebagai cara pandang yang dominan dengan pengaruh kuatnya
sampai abad ke-21, ternyata membawa berbagai permasalahan yang sangat sukar
dicari rumusan jawabannya. Baik karena lahirnya berbagai potensi penindasan dan eksploitasi antar sesama, maupun dalam bentuk
penaklukan manusia terhadap alam dengan
mereduksi kemungkinan hubungan lebih partisipatif antara keduanya. Hal inilah
yang telah menjadi sumber petaka dalam kehidupan manusia dewasa ini yang selalu
dibayang-bayangi ketakutan perang antar sesama serta kehancuran total dari
seluruh sistem peredaran jagat raya ini. Bahkan, di dalam 2012, Roland Emmerich
telah membuat sebuah karya sinematik yang meramalkan tentang terjadinya kiamat
pada tahun tersebut. Sesuatu yang terasa menyentak kesadaran manusiawi kita
terhadap beragam ancaman serta menjadi semacam kecemasan global pada beberapa
tahun belakangan ini.
Pandangan Dunia Dominan; Materialisme
Sebelum
pembahasan lebih lanjut, saya perlu mengungkapkan istilah paradigma di sini.
Paradigma yang saya maksudkan dalam tulisan ini adalah seperti apa yang
dimaksudkan oleh Thomas Kuhn The Structure of Scientific Revolution (1962)
sebagai “model“ atau“pola berpikir“, dan pandangan dunia kaum ilmuwan dalam
kegiatan riset mereka.[8] Pengertian
paradigma ini bisa meliputi hukum, teori, aplikasi serta instrumentasinya
sekaligus. Paradigma inilah yang menjadi bagian paling esensial saat para
ilmuwan berkutat dengan kerja-kerja ilmiah mereka.
Pasca
kejayaan ilmuwan-ilmuwan muslim meredup pada abad ke-14, orang-orang Eropa yang
pernah mengalami pahit-getirnya
peperangan dengan dengan pasukan muslim pada peritiwa Perang Salib,
mengalami lompatan besar dari sisi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kesadaran manusia renaisans Eropa dimulai dari lompatan kognitif seorang
filsuf Perancis, Rene Descartes (1566-1650) dengan titik pangkal filsafat
rasionalisme serta ungkapan Cogito Ergo Sum (Aku Berpikir Maka Aku Ada)
yang terkenal.[9] Ungkapan
tersebut menandai sebuah kebangkitan masyarakat dari tidur dogmatisnya yang
panjang pada masa The Dark Age (Abad Kegelapan) mereka. Dengan
ungkapannya, Descartes mengukuhkan rasionalisme sebagai fundamen filosofis, dan
‘aku yang berpikir‘ menandai adanya pengambilan jarak dengan realitas yang
dipikirkan.
Ungkapan
Descartes ini, menandai adanya dualitas antara ’aku yang berpikir‘ sebagai
subjek dengan ‘objek‘ yang dipikirkan. Dan itulah awal lahirnya tradisi ilmiah
di Eropa, yang membuat mereka menjadi kekuatan dominan dalam penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi, berikut kemakmuran ekonomi yang mereka dapatkan.
Proyek rasionalisme Cartesian ini kemudian berlanjut dengan empirisme Bacon,
positivisme Comte serta positivisme logis Carnap dibarengi dengan munculnya
ilmuwan-ilmuwan lain seperti Newton, Copernicus, Galileo, Kepler, dan lain-lain
yang telah membawa Eropa pada masa keemasannya yang gemilang.
Namun
satu hal yang mesti diberikan catatan. Descartes bukanlah seorang penganut
materialisme dengan rasionalisme yang dia lahirkan. Dia tetap seorang penganut
Kristiani yang taat. Namun dasar-dasar dari pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, semakin bergerak ke arah materialisme secara ontologis, positivisme
dari sisi epistemologis serta klaim ’bebas nilai‘ secara aksiologis. Dunia,
dari sudut pandang positivisme ala Auguste Comte (wafat, 1857) adalah dunia yang melulu dipahami dari
aspek-aspek yang material semata. Perbincangan di luar aspek-aspek dunia fisis
adalah sesuatu yang tertolak. Dengan tiga babak sejarah manusia yang bergerak
linear dari fase teologis, metafisis serta positivis,[10] Comte telah
menutup secara ketat segala kemungkinan
bagi pandangan metafisis karena
’metafisika‘ telah dipandang tamat riwayatnya. Terlebih hal itu diperkuat
dengan pandangan para penganjur garis postivisme yang datang pada periode
berikutnya seperti Rudolf Carnap dan lain-lain.
Pada
abad ke-21 sekarang, walaupun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah jauh melampui apa yang dipikirkan oleh
Descartes, Newton, Comte dan kawan-kawan, cara pandang material yang
menempatkan aspek ‘materi‘ sebagai aspek ontologis paling nyata, tetap menjadi
pandangan dunia yang dominan. Walaupun Albert Einstein pada abad ke-20
telah mengukuhkan teori relativitas serta pandangan alam raya menurut fisikawan
besar itu, lebih jauh lebih besar dari apa yang ada dalam sketsa-sketsa Newton,
tetap saja materialisme menjadi pandangan dunia yang dominan.
Ketika para fisikawan seperti Capra serta David
Bohm, lewat penemuan-penemuan mereka yang cemerlang sampai pada kesimpulan
bahwa dibalik realitas dunia material, terdapat aspek-aspek spiritual, cara
pandang kaum materialis tetap menjadi kekuatan dominan. Carl Sagan, adalah
contoh seorang ilmuwan yang tetap bersikukuh dengan pandangan materialis ini.
Sagan sendiri menganggap bahwa metarialisme adalah asumsi yang paling masuk
akal bagi para ilmuwan.[11] Dengan kata lain bahwa materialisme ini adalah
fakta-fakta kongkret sebagai satu-satunya ukuran kebenaran.
Implikasi dari cara pandang yang tunggal serta serba saintisme dalam memahami
realitas, ternyata tidaklah sederhana serta menimbulkan adanya eksploitasi atas
manusia dan alam oleh kutub yang dominan. Roger Geraudy, seorang filsuf muslim
kenamaan dari Perancis, telah memberikan kritik yang tajam demi
tanggung-jawabnya untuk menyelamatkan manusia serta alam semesta dari
kehancuran yang mengancam serta menimbulkan ketakutan. Menurut Geraudy yang
hidup pada abad ke-20, sejarah sains serta teknik seperti yang dikonsepsikan
orang di negara-negara Barat, didasarkan atas satu postulat yang implisit:
orang harus mengukur kemajuan sains dan teknik hanya dengan satu ukuran yaitu
apakah sains dan teknik dapat menjamin kekuasaan yang maksimum atas alam dan
manusia. Sains dan teknik bahkan telah dipandang sebagai ’agama‘ tersendiri:
agama ”kemajuan“ (progress) dan“perkembangan“ (growth).[12] Jadi kemajuan
dan perkembangan telah dipandang sebagai
agama, yang menggantikan pengertian agama seperti apa yang dipahami oleh umat
beragama. Ketika kemajuan tercapai, maka dimensi Ilahi, dipandang sesuatu yang
tidak diperlukan lagi dalam masyarakat yang berbasis sains modern.
Rekonstruksi Hubungan Sesama Manusia
Hubungan manusia
yang satu dengan yang lain, kini ditandai oleh aspek-aspek destruktif; saling
menghancurkan dalam berbagai konflik serta peperangan yang tak kunjung akhir.
Isu terorisme, misalnya, sebagai isu yang telah membuat posisi umat Islam
dengan Barat dalam situasi berhadap-hadapan, telah memicu adrenalin kedua belah
pihak untuk terus-menerus bertegang urat syaraf hampir tanpa jeda. Belum lagi
permasalahan yang lain seperti terjadinya eksploitasi manusia yang satu oleh
manusia lain, isu kemungkinan terjadinya perang nuklir yang mengancam seluruh
eksistensi kehidupan menuju kehancuran yang total, merebaknya gerakan
neo-liberalisme yang menghalalkan penghisapan darah sesama, kemiskinan yang
menggurita, penjualan obat-obat terlarang yang bisa membunuh sebuah generasi
serta menghasilkan manusia-manusia bermental lemah. Manusia-manusia-manusia
lemah dengan sendirinya, akan mudah dikuasai, ditaklukkan serta dieksploitasi.
Semua
hal di atas atas adalah aspek-aspek yang merisaukan, menggelisahkan serta
membuat manusia mengalami ’keterasingan’ dari sesamanya, dari lingkungannya,
dan menjauhkan dari Allah sebagai poros spiritual kehidupannya. Sekaligus juga
merendahkan martabatnya sebagai makhluk Allah yang mulia. Padahal dalam TANBIH,
Syaikh Abdullah Mubarak telah menyitir kandungan
al-Qur’an di dalam ayat 70 surat Isra :
”Sangat kami mulyakan keturunan Adam dan kami sebarkan segala apa yang ada
di daratan serta lautan, juga kami mengutamakan mereka dari makhluk lainnya.“
Muatan ayat ini bersifat sangat universal karena menyangkut eksistensi
kehidupan umat manusia, tanpa batasan aspek-aspek yang bersifat suku, agama,
ras, serta antar golongan (SARA), yang menyatakan bahwa manusia berada dalam
stratifikasi yang lebih unggul dari makhluk-makhluk Allah yang lain. Muatan
ayat di atas lebih dipertegas dengan kutipan berikutnya, mengingat surat
al-Maidah ayat 2: “Hendaklah tolong-menolong dengan sesama dalam
melaksanakan kebajikan dan ketaqwaan dengan sungguh-sungguh terhadap AGAMA dan
NEGARA, sebaliknya jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan
terhadap perintah AGAMA maupun NEGARA.“[13]
Dengan
kedudukan manusia yang mulia, manivesto
sekaligus pesan Syaikh Abdullah Mubarak seperti yang terdapat di dalam TANBIH,
telah memberikan tekanan bagi pengembangan dimensi-dimensi etis dalam kehidupan
sosial serta bagaimana manusia mesti bersikap terhadap sesamanya dalam lingkup
hubungan global sekaligus multikultural. Dan
Syaikh, dengan TANBIH yang telah beliau wasiatkan, telah memberikan dasar-dasar bagi etika
terapan yang sangat berguna bagi tujuan praktis kehidupan. Atau bahkan, pesan
yang tertulis di dalam TANBIH, memberikan fundamen etis bagi ikhwan TQN serta
sarat dengan makna-makna filosofis. Tentu saja, lewat paradigma TANBIH,
konstruksi hubungan yang dibangun adalah simbiosis-mutualis, tidak dengan cara
saling menolak serta menegasikan. Bukan pula jenis hubungan persaingan,
pertempuran atau dominasi sebagaimana dikutip Geraudy dari filsuf Inggris,
Thomas Hobbes (1558-1679): ”Homo homini lupus“ (Manusia yang satu adalah
serigala bagi manusia lainnya).[14]
Dalam
pengembangan hubungan dengan sesama manusia, sebagaimana pandangan para sufi
pada umumnya, TANBIH telah memberikan dasar-dasar pijakan etis seperti dapat
kita simak dari beberapa bagian di dalamnya:
Bahwa
seorang pengamal TQN harus membuktikan kebajikan yang timbul dari kesucian:
1. Terhadap orang-orang yang lebih tinggi daripada kita (Ikhwan TQN, Penulis)
baik lahir maupun batin, harus kita hormati, begitulah seharusnya hidup rukun
saling harga-menghargai;
2.
Terhadap sesama yang
sederajat dengan kita dalam segala-galanya, jangan sampai terjadi
persengketaan, bergotong royong dalam melaksanakan perintah AGAMA dengan
NEGARA, jangan sampai terjadi perselisihan serta persengketaan, kalau-kalau
kita terkena firman-Nya“Adzabun alim“ yang berarti duka nestapa untuk
selama-lamanya dari DUNIA sampai AKHIRAT (badan payah, hati susah);
3.
Terhadap orang-orang
yang berada di bawah kita, jangan hendak menghinanya atau berbuat tidak senonoh
dengan berbuat angkuh, sebaliknya harus belas kasihan dengan kesadaran, agar
mereka merasa senang dan gembira hatinya, sebaliknya harus dituntun dibimbing
dengan nasihat yang lemah lembut yang bisa memberi keinsyafan dalam menginjak
jalan kebajikan.
4.
Terhadap fakir-miskin,
harus kasih sayang, ramah tamah serta bermanis budi, bersikap murah tangan,
mencerminkan bahwa hati kita sadar. Coba rasakan oleh diri kita pribadi, betapa
sedihnya jika berada dalam kekurangan, oleh karena itu janganlah acuh tak acuh,
hanya diri sendirilah yang senang, karena mereka jadi fakir miskin itu,
bukannya kehendak dirinya sendiri, namun itulah kudrat dari Tuhan.[15]
Penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, upaya menghindari
berbagai permasalahan hidup dengan tetap rendah hati, kepeduliaan terhadap
nasib kaum du’afa, penegasan pentingnya sikap filantrofis terhadap nasib
fakir-miskin seperti termaktub dari butir ke-1 sampai ke-4 TANBIH, adalah
dimensi-dimensi moral tasawuf yang dapat menjernihkan pandangan kemanusiaan
kita. Maknanya menjadi berarti di tengah
berkuasanya arus hidup hedonis serta sikap-sikap sangat mementingkan kepentingan pribadi dalam
gemerlap hidup penuh aroma individualime
masyarakat industri sekarang ini. TANBIH
yang diwasiatkan oleh seorang sufi besar ini, merefleksikan kewajiban-kewajiban
moral sekaligus tanggung-jawab sosial sebagai bagian integral untuk mendekatkan
diri kepada-Nya.
Sufi-sufi besar yang merintis jalan tasawuf, bukanlah orang-orang yang
asyik dengan pencarian kepuasan spiritual bagi diri mereka sendiri. Tapi mereka
mengembangkan perikemanusiaan dengan makna yang seluas-luasnya. Salah satu
contoh dari Abu Yazid al-Bustami. Beliau tidak mau makan sebelum yakin
orang-orang di sekitar tempat tinggalnya tidak ada yang kelaparan. Bishr
al-Hafi membuka bajunya di Rumah Sakit Baghdad dan menyerahkannya kepada teman
sekamarnya karena terlalu miskin untuk memiliki baju.[16] Contoh lain adalah apa yang dilakukan Abah Sepuh
di Suryalaya. Untuk menghidupkan ekonomi masyarakat di sekitar pondok yang
masih dalam cengkraman kolonial, pada tahun 1930-an Abah Sepuh memprakarsai
pembuatan pabrik pengolahan ketela pohon. Masyarakat Godebag kemudian
ramai-ramai menanam ketela pohon untuk meningkatkan derajat ekonomi mereka.
Saat musim panen ketela pohon tiba serta berhasil diolah, masalah yang muncul
kemudian adalah pemasaran. Terobosan jenius Abah Sepuh adalah berkerjasama
dengan orang-orang China dan India yang punya talenta bisnis untuk memasarkan
hasil kerja keras masyarakat seputar Suryalaya. Bahkan kemudian berkembang
dengan membuat pasar yang berlokasi di sebelah timur pesantren serta tetap
ramai sampai sekarang.[17] Sebuah langkah cerdik baik dilihat dari sisi
pengembangan ekonomi masyarakat lokal maupun dari sisi kemampuan negosiasi
dengan para pengusaha asing. Hal ini
juga sekaligus untuk menghindarkan kecurigaan penjajah dengan membungkus formula
gerakan kebangsaan lewat upaya-upaya membangkitkan ekonomi masyarakat dengan
meminjam kemampuan bisnis orang-orang China dan India. Dari kacamata kaum
kolonial, mereka adalah warga masyarakat kelas dua yang dipendang lebih
terhormat dibandingkan kaum pribumi sebagai warga kelas tiga. Itulah contoh-contoh
dari sikap humanis kalangan sufi, untuk membangun hubungan yang ikhlas dengan
sesamanya.
Lebih jauh lagi, penjelasan keempat butir di atas bahkan menjadi landasan
untuk membangun hubungan manusia secara lintas budaya dalam lingkup yang lebih
luas sekaligus kompleks. Dalam realitas kehidupan manusia yang sangat plural, multikultural
serta kosmopolitan, karena ada keharusan untuk menghargai sesama umat manusia,
bahkan termasuk orang asing yang berlainan bangsa karena sama-sama keturunan Nabi Adam a.s.,
yang telah dimulyakan oleh Allah SWT. Dokter pribadi Abah Anom adalah seorang
China dan bukan Muslim. Tetapi tidak menjadi masalah selagi bekerjasama dalam
bingkai kemanusiaan yang universal.
Semangat keterbukaan serta moderasi,
menjadi spirit dari paradigma TANBIH dalam membangun visi kemanusiaan
yang penuh dengan semangat humanis sekaligus egaliter. Selain bervisi egaliter,
TANBIH juga mengandung semangat toleransi, dengan menyerahkan soal keagamaan
terhadap para penganutnya masing-masing. TANBIH menegaskan: Adapun soal
keagamaan, itu terserah agamanya masing-masing, mengingat surat al-Kafirun ayat
6: “Agamamu untuk kamu, agamaku untuk aku“, maksudnya jangan terjadi
perselisihan, wajiblah kita hidup rukun dan damai, saling menghargai, tetapi janganlah
bercampur-baur (dalam hal ajaran, Penulis).[18]
Walaupun TANBIH menekankan hidup rukun dengan penganut-penganut agama yang
lain dengan sikap penuh toleransi, tetapi ada batas-batas yang tidak boleh
dilanggar. Keterbukaan serta moderasi adalah pada wilayah-wilayah ruang publik
demi menjaga kemaslahatan hidup bersama pada aspek kemanusiaan. Sedangkan
semangat toleransi menyangkut kehidupan beragama, sejauh berkaitan dengan
ajaran, dikembalikan terhadap keyakinan para pemeluk sendiri. Tidak untuk
mencampur-baurkan keyakinan agama yang satu dengan yang lain.
INABAH; Sebuah Amal Bagi Rekonstruksi Peradaban
Kita tahu bahwa
dalam buku Pemberontakan Petani Banten seperti yang ditulis oleh Sartono
Kartodirdjo, Syaikh Abdul Karim Banten memberi inspirasi dalam melakukan
perlawanan terhadap kekuatan kolonial Belanda.[19] Beliau adalah
inspirator terhadap lahirnya pemberontakan terbesar dalam sejarah kemerdekaan
Indonesia. Dari titik ini kita bisa memahami, bahwa perjuangan kalangan tarekat
seperti yang dilakukan oleh murid-murid Syekh Abdul Karim Banten bukanlah perjuangan yang tertutup di ruang
yang sunyi senyap. Tetapi selalu berusaha memberikan respon terhadap situasi
serta semangat zamannya. Demikian juga dengan Syaikh Tholhah yang menjadi
inspirator bagi perlawanan keras terhadap pemerintah kolonialisme Belanda,[20] dengan pemberontakan Kedongdong yang terkenal
di Cirebon. Abah Sepuh, Syaikh Abdullah Mubarak ibn Nur Muhammad adalah pejuang
bagi tegaknya bangunan NKRI, dengan
melakukan negosiasi agar negara boneka Pasundan kembali ke pangkuan pertiwi.
Akan
halnya dengan Abah Anom, berpijak dari garis perjuangan para pendahulunya,
juga memberikan sebuah jawaban bagi
krisis mendasar pada zamannya. Peralihan kepemimpinan dari Abah Sepuh terhadap
beliau, dibarengi dengan suasana pergulatan politik saat gerombolan DI/TII Kartosuwiryo
mengguncang bangunan kebangsaan NKRI dengan keinginan membentuk negara Islam.
Tapi pada tahun 1950-an itu Abah Anom berdiri ajeg membela keutuhan NKRI.[21] Pada perjalanan
hidup selanjutnya, perjuangan itu lebih nyata, terutama terkait krisis mental
yang dialami oleh kalangan generasi muda. Perjuangan Abah Anom untuk
menyelamatkan generasi muda dari kehancuran ini, walaupun tetap beliau lakukan
tidak dengan cara-cara yang reaktif, merupakan bentuk perang yang lain
mengingat bahwa ada jejaring dengan skala global menyangkut jual-beli serta
peredaran narkoba di seluruh dunia, mungkin dengan tujuan untuk menghancurkan
sebuah bangsa. Kita teringat pada peristiwa Perang Candu di China (1839-1842)
yang mengakibatkan China, yang masyarakatnya mendapat pasokan candu secara
besar-besaran dari Inggris, mesti
bertekuk lutut di bawah kedaulatan kaum penjajah itu.
Upaya menyelamatkan generasi muda dari tebing
curam kehancuran, adalah perjuangan mempertahankan eksistensi bangsa, bahkan
perjuangan menyelamatkan eksistensi umat Islam dalam skala yang lebih luas
lagi. Ada upaya-upaya terselubung yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu
untuk menghancurkan kekuatan ruhaniah umat Islam sehingga kian menambah
kompleksnya masalah yang dihadapi umat dewasa ini. Terkait dengan kompleknya
permasalahan umat ini, dalam Islam Sufistik, Alwi Shihab telah menulis:
Masyarakat
Muslim kini tengah dilanda berbagai masalah di luar batas kemampuan dan
kekuatannya. Di antara masalah yang paling menonjol adalah ledakan penduduk,
penyalahgunaan narkotik dan ekstrimis agama di samping kegalauan dan cara hidup
tak menentu yang menjadi trend dalam kehidupan kawula muda, termasuk banyaknya
pemahaman jihad tentang Islam, terutama dari mereka yang tidak memiliki
kualifikasi keilmuan. [22]
Tampak dari apa yang ditulis Syihab,
bahwa masalah penyalahgunaan narkotik serta kegalauan dan cara hidup tak
menentu dari kawula muda, menjadi bagian dari realitas kehidupan masyarakat
muslim kontemporer. Pangarusutamaan cara pandang materialisme yang didasarkan
pada kerangka berpikir saintis serta logis semata, telah mengakibatkan banyak
di antara kalangan generasi muda yang tidak menyadari kerusakan tubuh ruhani
yang dialaminya. Mengalami kekosongan, keterasingan serta masuk lorong-lorong
kesunyian hidup yang pengap dan gelap. Akhirnya melakukan pelarian dengan
mengkonsumsi zat-zat adiktif. Apa yang Sulthon Aulia wa Imam al-Ulama,
Syaikh Ahmad Sohibul Wafa Tajul Arifin lakukan dengan INABAH, tiada lain
mengembalikan kesatuan tubuh jasmani dengan tubuh ruhani, untuk membangkitkan
kembali kesadaran diri dari kawula muda itu.
Dan, apabila kita pusatkan
pembahasan tentang masyarakat Indonesia,
kita tahu bahwa cara-cara sufi merupakan yang paling efektif yang telah
meluas popularitasnya di antara para pemuda. Keberhasilan tarekat sufi ini
telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memberikan bantuan kepada
pusat-pusat tarekat yang memberikan perhatian dan kepedualian terhadap problem
kecanduan. INABAH, yang gerakannya dimulai pada tahun 1977. Pada tahun 1977
untuk proses perwujudan pembinaan remaja yang terlibat penyalahgunaan narkotika
dan kenakalan remaja tersebut diuji coba sebuah kurikulum dan silabus oleh oleh
Syaikh Ahmad Sohibul Wafa Tajul Arifin. Setelah terbukti memberi manfaat yang
besar bagi kemanusiaan, maka pada tahun 1985 kurikulum dan silabus tersebut
dibakukan dan disusun dalam sebuah buku yang berjudul “Ibadah Sebagai Metode
Pembinaan Korban Penyalahgunaan Narkotika dan Kenakalan Remaja“.[23]
Kurikulum penyembuhan kecanduan yang
berintikan dzikrullah ini yang menjadi pegangan bagi para pembina INABAH
khususnya dan bagi ikhwan TQN pada umumnya serta dapat dimanfaatkan bagi
kemaslahatan seluruh umat manusia. Puluhan INABAH, selama 33 tahun dari awal
perjalanan sejarahnya sampai tahun 2010, telah terlibat secara aktif bagi
sebuah proyeksi amal kemanusiaan serta penyelamatan jangkar kehidupan generasi
muda. Tempat bagi keberadaannya, tersebar mulai dari Tasikmalaya di Jawa Barat,
kawasan Gaylang Road Singapura sampai Trengganu serta Kedah di Malaysia.
Di Malaysia, terungkap di dalam
makalah dari Puan Hajah Aisyah Muhammad yang berjudul Pengembangan Peran TQN
di Luar Negeri; Pengalaman Malaysia, bahwa kurikulum yang dibuat oleh Abah
Anom, merupakan sebuah upaya rekonstruksi peradaban, ketika peradaban
dikembalikan kepada pengertian etisnya yang berpangkal pokok pada masalah
akhlak.[24] Di Malaysia, usaha rintisan terhadap INABAH ini
dimulai pada tahun 1980 oleh Abah Anom. Pada tahun itu, rupanya di Malaysiapun,
sebagaimana di berbagai penjuru dunia yang lain termasuk Indonesia tengah
mengalami krisis moral yang teramat berat, terutama yang melanda kalangan
generasi muda.
Tuntutan terhadap pemenuhan
kebutuhan dunia material dengan perangkat pendukung kerangka berpikir logis
serta ilmiah, ternyata telah membuat kalangan generasi muda Malaysia tercerabut
dari tradisi serta akar spiritualitas keislaman. Modernisasi yang gencar
dilakukan, hanya berdasarkan pada kuatnya pemenuhan aspek material-bendawi
serta tuntutan logika saja. Di luar aspek tersebut, bahkan seolah-olah tidak
memberi makna apapun bagi gaya hidup serta bahasa orang-orang modern. Apa yang terjadi adalah, dominasi pandangan
materialisme yang melanda kawasan Dunia Islam sehingga persis sama kondisinya
dengan saat positivisme bersimaharaja-lela di dunia Barat, serta Withgeinstein
menulis: What can’t talk about, we
must pass over in silence.[25] Apa yang tidak bisa kita bicarakan, tinggalkan
saja, karena yang bisa dibicarakan itu, hanya yang logis dan ilmiah saja.
Cara pandang yang memungkinkan orang
meninggalkan apa-apa yang tidak bisa dibicarakan berdasarkan pada kerangka
berpikir saintifik-logik, tampaknya telah menggejala dalam proyek modernisasi
di Malaysia. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya kekeroposan batin kawula
muda Malaysia sehingga banyak yang menjadi pecandu dedah. Dan Abah Anom dengan
rintisan INABAH di Malaysia, mengisi kekosongan spiritual generasi muda
tersebut. Orang-orang tua mengantar anak-anak mereka yang telah kehilangan
keadaban dirinya serta karakter-karakter manusiawinya ke INABAH. Di INABAH,
semangat hidup generasi muda yang telah hancur itu, ternyata bisa dibangkitkan
kembali.
Wawasan kepada peradaban versi
negara, terbentuk dari sudut pandang Malaysia sebagai sebuah negara Islam.
Tetapi dengan perangkat bantu ilmu psikologi, Hajah Puan Aisyah Muhammad
menilai peradaban dalam pengertian individu-individu yang hendak dibuat
beradab, hendak di-civilized-kan. Role of Civilization atau peran
peradaban dalam suatu negara atau komunitas, terbentuk dari individu-individu
yang civilized. Dengan mengikuti pandangan filsuf Malaysia, Syed Neguib al-Attas, Hajah Puan
Aisyah Muhammad kemudian membedakan antara modernisasi dengan civilization. Modernisasi
lebih menekankan pada aspek logika dan material. Sedangkan civilization atau
peradaban, lebih terkait dengan ketinggian moral atau akhlak.[26] Jadi, di Malaysia, kurikulum IBADAH yang dibuat Abah Anom, menjadi kurikulum integral untuk
menanggulangi korban-korban narkoba. Tapi bagi Kerajaan Malaysia, pengertiannya
kini tidak sebatas itu, karena selepas 30 tahun, kurikulum itu tiada lain adalah
untuk men-civilized-kan diri mereka sendiri.
Dengan lain perkataan, apa yang
dilakukan oleh Abah Anom lewat pengembangan kurikulum IBADAH di INABAH, adalah
sebuah amal usaha bagi rekonstruksi peradaban, membangun kekuatan akhlak
generasi muda supaya dapat hidup tidak hanya berdasar pertimbangan-pertimbangan
material-logik semata. Tetapi dengan dasar-dasar pijakan spiritual etis sebagai
makhluk Allah. Apa yang terjadi di Malaysia, demikian pula yang terjadi di
negeri tercinta, Indonesia. Apa yang Abah Anom lakukan ini, adalah gambaran kongkret
dari apa yang ditulis oleh Syihab bahwa para syaikh dengan khalifahnya, atau wakil
talqin dalam konteks Suryalaya, sangat peduli dalam menangani korban
narkotik dan problem yang dihadapinya dengan penuh lapang dada.[27] Kemudian syaikh juga memberikan nasihat-nasihat agama dan
memerintahkan perbuatan baik serta bertobat sebagai upaya untuk mengangkat
semangat dan kepercayaan mereka kepada diri sendiri serta membangkitkan
kekuatan tekad dalam menjalankan syariat dan sunnah dengan membaca Al-Quran dan
wirid.
Bagi penulis, pembinaan INABAH yang
berporos pada metode dzikrullah, merupakan model penerjemahan kongkret
dari butir ketiga keharusan pengamal TQN untuk selalu mengedepankan kebajikan
moral. Terutama membangkitkan semangat hidup bagi mereka yang lemah secara
mental. Ini tidak lain adalah bagian dari amal kemanusiaan, metode praktis
untuk menempatkan kembali manusia-manusia yang mengalami keterpurukan hidup ke jalan yang benar Mereka tidak mesti
dijauhi, tetapi mesti dituntun dengan nasihat yang lemah lembut agar mengikuti
jalan kebajikan serta keutamaan sebagaimana tertulis dalam TANBIH,
Terhadap orang-orang yang keadaannya di
bawah kita, janganlah hendak menghinakannya atau berbuat tidak senonoh,
bersikap angkuh, sebaliknya harus belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka
merasa senang serta gembira hatinya, jangan sampai merasa takut dan menjadi
liar, bagaikan tersayat hatinya, sebaliknya harus dituntun dibimbing dengan
nasihat yang lemah lembut, yang akan memberikan keinsyafan dalam menginjak jalan
kebajikan. [28]
Rekonstruksi Hubungan Dengan Alam
Para sufi tidak hanya mampu mengembangkan amal
praktis terkait dengan masalah
berdimensi kemanusiaan. Tetapi juga kemampuan untuk melintas-batas pada
wilayah-wilayah prikemakhlukan sebagai sebuah penghayatan sekaligus jalan untuk
bisa lebih dekat dengan Allah. Contoh dari perikemakhlukan ini adalah seperti
apa yang dilakukan oleh Syaikh Abu Yazid al-Bustami kembali ke kampung temannya, karena ketika
pulang ke kampungnya sendiri, seekor semut terbawa di bajunya.[29]
Contoh yang lain
adalah dalam film Sunan Kalijaga arahan sutradara Shofyan Sharna serta
dibintangi oleh aktor legendaris Deddi Mizwar pada tahun 1984. Pada saat Raden
Sahid yang kelak terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga mengalami pergolakan
batin yang luar biasa dalam proses menuju derajat kewaliannya yang tinggi,
beliau bertemu Sunan Bonang. Raden Sahid merebut tongkat Sunan Bonang serta
mengakibatkan waliyullah itu jatuh tersengkur serta menangis, dengan air
mata yang mengucur deras. Karena direbut tongkat serta dijatuhkan oleh oleh
Raden Sahid, yang membuat Sunan Bonang berurai air mata? Bukan. Tapi karena ada
sebatang rumput liar yang secara tidak sengaja tercabut tangannya, serta
membuatnya tidak kuat menahan tangis. Karena dengan demikian, Sunan Bonang
merasa telah memutus nyawa sesama makhluk hidup.
Dua ilustrasi sederhana yang penulis kemukakan, bisa
menjadi contoh yang jelas tentang bagaimana para sufi, mampu mengembangkan
hubungan partisipatif serta dialogis dengan sesama makhluk Allah. Dengan alam
dan segenap penghuninya seperti hewan serta tumbuh-tumbuhan. Alam bukanlah
realitas fisik semata tanpa subtansi ruhani.
Implikasi dari pandangan reduksionistik tentang alam, adalah adanya kedaulatan manusia yang penuh,
untuk menjadikan alam sebagai objek eksploitasi serta selalu berada dalam
kekuatan cengkraman sang penakluk yang rakus serta penuh tipu muslihat.
Akibat
eksploitasi terhadap alam, alam membayang-bayangi kehidupan manusia dengan
berbagai tragedi yang mengerikan. Karena sifat manusia yang eksploitatif,
akhirnya alam membalas tindakan semena-mena dari manusia dengan bahasanya
sendiri. Menipisnya lapisan ozon, suhu bumi yang kian panas dalam wujud global-warming,
naiknya permukaan air laut, banjir sebagai fenomena global karena semakin
menipisnya areal hutan di seluruh dunia serta semakin berkurangnya daerah
resapan air, bencana tsunami dan
lain-lain, adalah rangkaian berbagai tragedi
yang membayang-bayangi kehidupan umat manusia di perjalanan awal abad
ke-21 ini. Di tanah air, belum lagi ingatan pupus dari tragedi Tsunami Aceh
tahun 2004, seluruh elemen bangsa disibukkan oleh tragedi lumpur Lapindo.
Sesuatu yang tidak lebih lebih kecil dari peristiwa meledaknya reaktor nuklir
Chernobyl di Rusia (1986) atau tragedi Bhopal di India (2004). Belum rampung
dengan tragedi kemanusiaan Lapindo, yang
terakhir, kita disibukkan oleh bencana Wasior di Papua, Tsunami Mentawai serta
ledakan Merapi yang menjadi letusan gunung berapi paling besar dalam jangka
waktu 100 tahun ini.
Terkait dengan
adanya berbagai bencana, kini diperlukan sebuah cara pandang dalam membangun
hubungan antara manusia dengan Tuhan, serta refleksinya terkait hubungan
manusia dengan manusia serta manusia dengan alam lingkungannya. Diperlukan
sebuah kesadaran ekologis yang baru menyangkut hubungan manusia dengan alam,
seperti yang selama ini dipelopori oleh para enviromentalis (pencinta
lingkungan). Mereka adalah orang-orang yang berani berontak terhadap kerusakan
lingkungan hidup oleh daya-daya teknologi yang menempatkan manusia sebagai
penguasa tunggal yang merasa berhak untuk menghitam-putihkan jagat raya tempat
mereka hidup.
Para pencinta
lingkungan hidup mempertanyakan nilai-nilai aksiologi humanisme dengan bekal
pemahaman mengenai keseimbangan lingkungan serta kesaling-terkaitan mata rantai
biologis beragam jenis makhluk hidup di luar manusia. Fundamen-fundamen etis
yang menjadikan manusia sebagai tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, mesti diperluas cakupannya untuk semua jenis makhluk hidup secara
lebih total serta menyeluruh. James Lovenstock, seorang pakar kimia atmosfera,
mengajukan Hipotesa Gaia yang berpandangan bahwa bumi dengan selubung gas yang
manaunginya, tertata dalam sebuah kesatuan yang membentuk organisme raksasa.[30] Jadi, bumi dan
beragam penghuninya bersama selubung
gas yang memayunginya, bukan
merupakan bagian yang terpisah satu sama lain. Tapi merupakan kesatuan yang
utuh, yang satu berkaitan erat dengan yang lain.
Jika pandangan
seperti di atas dipahami serta dihayati,
tentu pandangan tentang alam sebagai objek eksploitasi seperti dalam pandangan
para saintis modern, akan bisa ditolak. Berikut ini akan dikemukakan dua
pandangan yang sangat kontradiktif dalam memandang hubungan manusia dengan
alam. Pertama, berdasarkan pandangan kaum naturalis. Kedua, berdasarkan sudut
pandang TQN Suryalaya.
1.
Sudut Pandang Kaum
Naturalis
Di antara para
pemikir Abad Pencerahan Eropa, yang paling menonjol pandangannya terkait
hubungan eksploitatif dengan alam, adalah seorang bangsawan Inggris, Francis
Bacon (1561-1626). Dia telah berjasa merombak cara berpikir abad pertengahan
Eropa yang masih dikuasai pandangan Aristotelianisme. Bacon ini adalah pelopor
metode eksperimental berbasis pada scientific-method (metode ilmiah)
yang dapat dikatakan sebagai pembunuh berdarah dingin, ketika mesti berhadapan
dengan alam. Sejak Bacon ini, tujuan ilmu yang sedari masa masa kuno, adalah
mencari sumber-sumber mata air kearifan terkait hubungan manusia dengan tatanan
alam di sekitarnya, telah berubah menjadi pengetahuan yang dapat digunakan
untuk menguasai, mengeksploitasi dan mengendalikan alam.
Hal paling
menonjol dari Bacon memang pandangannya yang sangat hegemonik terhadap alam.
Ilmu pengetahuan bukanlah untuk ilmu dan pemenuhan kepuasan intelektual, tetapi
ilmu haruslah menghasilkan sesuatu untuk mempertinggi kemampuan dan kekuasaan
manusia. Ungkapannya yang terkenal adalah: “Knowledge is a power!“ (Pengetahuan
adalah kekuasaan!). Dengan pengetahuan yang luas, berarti kekuasaan yang
didapat akan semakin kuat dan besar. Istilah-istilah yang dipergunakan oleh
Bacon dalam mengambangkan metode empiris barunya, bukan hanya penuh semangat,
tapi bahkan sangat kejam. Menurut pandangan Bacon seperti dalam kutipan Capra,
alam harus “diburu dalam pengembaraanya“, “diikat dalam pelayanan“, dan
dijadikan “budak“. Alam harus “dimasukkan ke dalam kerangkeng“ serta tujuan
dari kaum ilmuwan adalah “mengambil rahasia alam secara paksa“.[31] Menurut
pandangan Bacon ini, alam hanya dipandang sebagai gejala-gejala fisis tanpa
subtansi ruhani, dan makanya bisa diperlakukan untuk melayani nafsu manusia
secara semena-mena.
Pada perkembangan
pandangan selanjutnya, ilmuwan-ilmuwan sekelas Laplace, D’Alembert, Thomas
Hobbes serta para pengikut fanatiknya yang datang kemudian, memberikan
penjelasan atas gejala alam, sepenuhnya naturalis serta determinis. Pandangan
inilah yang kemudian dikukuhkan oleh Positivisme Comte serta para pendukung
gerakan Positivisme seperti Ayer,
Carnap, dan lain-lain. Mereka menangkap
gejala-gejala yang ada itu hanya pada aspek dunia fisik yang kongkret. Maka
alampun bagi mereka serta para pengikutnya yang masih tetap berdiri ajeg sampai
sekarang, tidak lebih dari benda mati tanpa subtansi kehidupan di luar aspek yang bisa diobservasi secara
ilmiah.
2.
Sudut Pandang TQN
Suryalaya
Islam sebagai
sebuah sistem keyakinan, memiliki sudut pandang tersendiri tentang alam yang
tentu sangat berbeda dengan pandangan kaum naturalis. Kalau kaum naturalis
memandang alam semata-mata sebagai gejala fisik, maka Islam memandang alam menjadi bagian dari
keseluruhan ciptaan Allah. Memiliki subtansi fisik serta subtansi ruhani
sekaligus, yang membuatnya memiliki kesadaran yang sama dengan manusia untuk
selalu beribadah dengan cara bertasbih kepada-Nya seperti tercantum dalam al-Qur’an
surat al-Hasyr ayat 24: Bertasbih
kepada-Nya, apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah yang Maha Perkasa,
lagi Maha Bijaksana.[32]
Berdasarkan
sudut pandang TQN Suryalaya, timbulnya berbagai macam kecemasan, ketakutan
serta kekhawatiran karena banyaknya bencana dalam kehidupan manusia, justru
diakibatkan ulah manusia sendiri. Manusia yang tidak mampu mengembangkan
hubungan partisipatif serta dialogis dengan sesama serta alam lingkungannya
yang merupakan nikmat yang besar dari Allah SWT. Di dalam surat An-Nahli
ayat 112: Tuhan yang Maha Esa telah memberikan beberapa contoh, yakni
tempat maupun kampung, desa maupun negara yang dahulunya aman dan tentram,
gemah ripah loh jinawi. Namun penduduknya/penghuninya mengingkari nikmat-nikmat
Allah, maka lalu berkecamuklah bencana kelaparan, penderitaan dan ketakutan
yang diakibatkan sikap dan perbuatan mereka sendiri.[33] Ayat al-Qur’an yang dikutip di dalam TANBIH
ini mengokohkan basis pandangan bahwa segala bencana yang timbul, diakibatkan
manusia mengingkari nikmat-nikmat Allah serta berlaku semena-mena terhadap
alam.
Alam memiliki
subtansi zat hidup yang membuatnya sama dengan manusia untuk berbakti serta
beribadah kepada-Nya, mensucikan-Nya. Maka alam tidak bisa semata-mata, reservoar bahan baku serta tempat pembuangan
yang tidak diperlukan seperti ditulis Geraudy terkait sikap manusia modern
terhadap lingkungan sekitarnya.[34] Alam dengan
segala cakupan keluasannya tidak sebagaimana yang dipandang oleh orang-orang
seperti Bacon yang mesti ditindas secara kejam, dieksploitasi serta dikuasai
tanpa memikirkan kelangsungan dari nasib serta eksistensinya sendiri. Tetapi alam mesti diperlakukan dalam hubungan
partisipatif timbal-balik sekaligus sebagai bagian yang memberikan kebahagiaan
terhadap manusia dan cara beradanya di dunia. Dari titik ini, kita bisa
memahami bahwa rentetan bencana yang muncul, sangat mungkin merupakan
pembalasan alam, atas izin-Nya, terhadap keangkuhan manusia yang tidak mau
memahami posisinya sebagai sesama makhluk Tuhan, yang selalu melaksanakan bakti
kepada-Nya.
Penulis merujuk
pada ayat Sesungguhnya keadaan-Nya, apabila Dia menghendaki sesuatu,
hanyalah berkata kepadanya:“Jadilah!“ Maka terjadilah ia.[35] Relevansi
dengan ayat tersebut, bila dikaitkan
dengan posisi al-Qur’an sebagai kalamullah.“ Berdasarkan visi
Syaikh Al-Junaid al-Baghdadi Al-Qur’an menggambarkan hakikat kalamullah
juga sebagai penjabaran kun fayakun.[36] Dengan
demikian, firman itu ada dua. Apa yang ada di dalam mushaf al-Qur’an
serta derivasi dari kata itu kun
fayakun bagi segenap makhluk yang ada karena semuanya firman Allah
juga. Betapa jernih serta mendasarnya pandangan Syaikh Al-Junaid al-Baghdadi,
Mursyid ke-13 dalam rangkaian silsilah TQN Suryalaya, sekaligus peletak tonggak
pandangan ahli makrifat Madzhab Sunni. Dengan berdasarkan pandangan Syaikh Al-Junaid
al-Baghdadi, menjadi sangat cemerlang titik pijak kaum sufi menyangkut hubungan
responsifnya dengan alam. Segala yang ada di jagat raya ini, terjadi
karena kata kun fayakun.
Ketajaman mata
batin seorang sufi, akan mampu menangkap bahwa di balik segala fenomena alam
yang ada, ada aspek noumena atau semacam visi batin terkait aspek-aspek empiris:
pada pohon, pada gunung, pada bumi yang terhampar luas, pada lautan serta
bentangan langit yang berwarna biru, pada bintang gemintang yang bertaburan di
angkasa raya, pada apapun yang berada di antara langit dengan bumi, ada
kekuasaan Allah. Allahlah pemberi zat
hidup pada apa yang ada di dalam diri kita serta pada alam yang terbentang luas
di hadapan kita. Menghayati alam, dengan berdasarkan sudut pandang Syaikh
Junaid, sebenarnya jalan untuk menjadi saksi akan adanya Sang Hakikat, dibalik
segala fenomena yang ada.
Capaian ilmu
pengetahuan modern yang berhasil menyingkap berbagai rahasia alam semesta lewat
ilmu fisika, kalau didekati dari sudut pandang para ahli makrifat akan memberi
perspektif yang lebih dalam, luas serta mendasar lagi tentang daya-daya hidup pada
segala apapun yang kita lihat. Kekuasaan Allah dalam wujud jagat raya yang
masih dipandang mekanis serta sederhana dalam pandangan Newton seperti
dengan gaya gravitasinya yang masih
berbicara pada ukuran ruang dan waktu di bumi (terestrial). Kemudian
mendapatkan perluasan dengan konsepsi ruang-waktu relatif serta adanya adanya
gaya gravitasi benda-benda angkasa luar dalam keadaan tarik-menarik sehingga
membentuk gerakan dinamis semesta seperti dalam pandangan fisika Einstein (cellestial).[37] Bahkan
dilengkapi dengan pandangan dari Stephen
Hawking tentang jagat raya yang maha luas.
Semua terjadi karena kun fayakun Allah, sebagaimana yang Syaikh
Junaid maksudkan. Daya-daya alam yang dahsyat itu tidak terukur, bisa tercermin
di dalam hati terkait besarnya kekuasaan Allah yang bisa kita saksikan. Jika
visi batin disingkap, hilang segala realitas empiris yang tampak, karena yang
ada hanya Zat Tunggal semata. Bahkan, terkait dengan visi batin, pandangan Sultan
Aulia, Syaikh Abd al-Qodir al-Jailany, lebih terang menyatakan bahwa
melihat kepada Allah ada dua macam: melihat Jamaliah Allah di akhirat
tanpa melalui cermin hati. Kedua, melihat sifat Allah di muka bumi dengan
perantaraan cermin hati dengan penglihatan mata hati, dan melaluinya, akan
terlihat pantulan cahaya keindahan Allah.[38] Firman Allah: ”Hatinya
tidak mendustakan apa yang dilihatnya.“ [39]
Lewat sudut
pandang TQN Suryalaya yang mendasarkan TANBIH pada kedalaman makna ayat al-Qur’an,
kalau kemudian banyak terjadi bencana, bukankah Allah semata yang menggerakkan
daya-daya alam itu, agar manusia kembali ingat serta mensyukuri segala
nikmat-Nya, termasuk bagaimana menghayati hubungan mesranya dengan alam raya,
sebagai pengejewantahan rasa cinta serta makrifat kepada-Nya. Terkait dengan
upaya-upaya membangun hubungan yang responsif dengan alam, baik pada masa Abah
Sepuh maupun pada masa Abah Anom, TQN Suryalaya telah melakukan berbagai upaya
penataan lingkungan melalui upaya membangun bendungan serta gerakan penghijauan
bumi. Tentu ini berdasarkan pada sebuah pandangan falsafi yang mencerminkan
bahwa makrifat terhadap Pencipta, mesti dibarengi dengan upaya-upaya
meningkatkan kualitas kehidupan sesama
makhluk-Nya, atau meresonansikan cahaya Haram al-Qudsiyah dalam
kehidupan nyata di dunia. Dan ini bisa menjadi sebuah model, bagaimana sikap
para sufi yang dipelopori oleh Mursyid, bersikap responsif terhadap terhadap
alam dan membangun hubungan dialogis antara keduanya.
Terkait mengembangkan model rasa kasih sayang terhadap
alam serta sekaligus juga sebagai ikhtiar meningkatkan tarap hidup masyarakat,
Syaikh Abdullah Mubarak ibn Nur Muhammad atau Abah Sepuh menjadi pelopor
pembangunan sebuah bendungan. Bendungan itu diberinya nama Nur Muhammad serta
bisa mengairi areal pesawahan seluas 100 hektar. Pada masa kepemimpinan Abah
Anom, upaya-upaya pelestarian lingkungan berlanjut karena pada tahun 1980-an,
beliau memelopori penanaman pohon cengkeh serta lingkungan di sekitar
Suryalaya, menjadi areal perkebunan cengkeh. Namun memang sayang, terkait
perdagangan komoditas cengkeh ini, kemudian terjadi monopoli oleh Badan
Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC) pada awal tahun 1990-an. Harga cengkeh di
pasaran kemudian anjlok. KUD yang tadinya menjadi saluran penjualan cengkeh petani,
malah menjadi agen BPPC. Yang jelas dirugikan dalam hal ini adalah kelompok
petani karena BPPC menekan harga dengan
pembelian sangat murah. Bahkan, banyak petani yang diminta menebang pohon
cengkeh yang tentu sangat merugikan mereka, termasuk para petani cengkeh di
Suryalaya. Sigap dengan kondisi tersebut, Abah Anom kemudian mengambil garis
komando agar pohon-pohon cengkeh itu diganti saja dengan pohon jati sehingga
pada awal tahun 1990-an, berhasil di tanam 2000 pohon jati serta berhasil
terawat sampai sekarang.[40]
Kepeloporan Abah
Anom dalam bidang lingkungan hidup ini, memberi inspirasi bagi Yayasan Serta
Bhakti Pondok Pesantren Suryalaya Korwil Jawa Barat, untuk membuat Program
Sedekah Pohon. Pada tahun 2008 yang baru berlalu, YSB Korwil Jawa Barat
berhasil menanam 121.000 pohon di daerah Tasikmalaya Selatan, Ciamis Utara,
Garut Banyuresmi, Ciamis, Banjar, Bandung Barat, Bandung Timur, Tasikmalaya,
Leles Garut, Malangbong Garut.[41] Bahkan rencana
tahun-tahun ke depan adalah menanam jutaan pohon untuk melakukan garakan
penghijauan di sekitar wilayah Priangan. Terkait dengan isu kiamat 2012, bagi
penulis, gerakan penanaman pohon yang dilakukan ikhwan-ikhwan Suryalaya Korwil
Jabar ini, seakan mengokohkan Hadits Nabi: Andaikan dunia besok akan kiamat,
dan kalian masih sempat menanam sebiji kurma, maka tanamlah (siapa tahu) besok
akan berbuah.[42] Masalah jenis
pohonnya disesuaikan dengan kebutuhan lokal. Pohon kurma di Arab serta bisa
pohon jati atau jabon (Anthosephalus Cadamba) di Tatar Pasundan.
Penutup
Prasyarat untuk
melakukan sebuah rekonstruksi bagi masa depan kemanusiaan, dikembalikan pada
hubungan tiga jangkar: manusia, Tuhan dan alam. Jika manusia menempati posisi
strategis sebagai khalifafatullah fi al-ardh, maka masa depannya beserta alam semesta tempatnya hidup, adalah
menjadi tanggung-jawabnya untuk membuat dimensi-dimensi hidup lebih berdasar
pada pilihan-pilihan etis. Pilihan-pilihan etis yang diambil oleh manusia, akan
sangat berpengaruh terhadap cara beradanya di dunia serta terhadap terjaganya
mata rantai kehidupan, dari kepunahan yang bersifat cepat dan segera.
Kehancuran alam semesta dalam bentuk Kiamat Kubra, adalah sesuatu yang tidak
akan terhindarkan karena kejadian itu sebagai tanda tidak abadinya segala
sesuatu yang berada dalam kehidupan ini. Sedang kapan kejadiannya, hanya ada
dalam rahasia-Nya semata. Tetapi, sesuatu yang berporos pada dimensi imani itu,
tidak mesti membuat optimisme untuk membangun tatanan hidup yang lebih beradab
serta bermartabat, menjadi kendur serta kehilangan energi sejarah.
Kehidupan
manusia serta bagaimana cara beradanya di dunia, kini selalu berada dalam
ancaman setiap saat baik menyangkut relasi antara sesama manusia, pun dalam
hubungan pan-cosmic (lintas alam) dengan semesta tempat kehidupannya
bernaung. Kehidupan manusia kini, seperti gambaran dalam novel Frankenstein
karya Mary Shelley‘s[43], serta menjadi
bahasa film yang menggetarkan serta menggugah pada tahun 1994 oleh sutradara
Kenneth Branagh: manusia memberi nyawa bagi jasad yang telah berada dalam
kubur. Lalau dia bangkitkan dan memberinya napas kehidupan. Tapi ketika monster
itu hidup, malah mengancam eksistensi kehidupannya. Itulah gambaran dari
manusia modern yang telah menciptakan monster kemajuan yang akhirnya mengancam
eksistensi kehidupan antar sesama. Juga mengancam eksistensi seluruh alam
semesta.
Keteladanan-keteladanan yang telah Abah Anom
lakukan selaku Mursyid, telah menjadi sebuah prototipe untuk memberi diagnosa
sekaligus terapi terhadap problem manusia modern. Apa yang beliau lakukan
adalah sebuah konsistensi untuk mengamalkan TANBIH, penerjemahan TANBIH lewat
INABAH demi rekonstruksi peradaban umat manusia, termasuk bagaimana membangun hubungan
harmonis dengan alam lewat pandangan
para pemuka dari Mursyid TQN seperti Syaikh Al-Junaid al-Baghdadi. Diagnosa
serta terapi yang khas sufistik dengan dzikir sebagai poros inti dimensi
kesadaran insani, telah menempatkan gerakan Abah Anom ini, memiliki makna yang
sangat signifikan, di tengah kompleknya permasalahan manusia modern dewasa ini.
Di tengah pandangan manusia modern yang telah
menempatkan kedaulatan manusia, menjadi begitu superior di atas
nilai-nilai yang lain, termasuk dengan mengesampingkan dimensi-dimensi ruhaniah.
Di tangan Abah Anom, sufisme menjadi begitu kontekstual untuk memberi jawaban
terhadap problem keterasingan serta kegelisahan-kegelisahan manusia modern yang
selalu dibayang-bayangi oleh monster Franskenstein yang mengerikan.
Real, apa yang
dilakukan oleh Abah Anom selaku penerus tradisi kaum sufi serta pewaris
geneologi spiritual dua tarekat besar: Qodiriyyah serta Naqsyabandiyyah
untuk memberi jawaban atas tantangan-tantangan zamannya. Apa yang Abah Anom
lakukan, adalah membangkitkan kembali optimisme dari dimensi-dimensi hidup
manusiawi yang berada di ambang kehancuran menuju pada tatanan masa depan
kemanusiaan yang lebih bergairah, baik dalam membangun hubungan dengan sesama
manusia maupun dalam menghayati hubungan yang lebih dengan lingkungan alam sekitar. Terkait
langkah-langkah besar serta mendasar dari beliau, penulis memiliki beberapa
catatan.
Pertama, lebih memiliki
signifikansi serta makna yang lebih luas, jika perjuangan beliau ditempatkan
dalam skala perjuangan kemanusiaan. Apa
yang menjadi rintisan gerakan tasawuf TQN Suryalaya serta mengalami
perkembangan yang pesat di tangan Abah Anom melalui gerakan terapi ruhani, bagi
penulis, laksana sapuan warna-warna yang sangat cerah dalam sebuah lukisan
kehidupan manusia kontemporer yang tengah berada dalam pusaran krisis dalam
segala segi kehidupannya. Pandangan tasawuf khususnya TQN Suryalaya memberikan
sebuah cara pandang yang segar terhadap kemanusiaan, baik terkait kemesraan
hubungannya dengan Allah, dengan sesama
manusia maupun dengan alam sekitar. World-view materialisme memiliki keterbatasan untuk dapat menangkap
dimensi hidup secara lebih utuh, terkait kesatuan jismani dengan ruhani. Titik
pangkal krisis semesta sekarang ini, berporos dari cara pandang materialis yang
tunggal, yang membuat ukuran segala hal pada aspek kebendaan semata, serta di
luar segala yang bisa dicandra dengan panca indra adalah sesuatu yang tertolak.
Dengan tanpa
mengabaikan keberadaan tarekat-tarekat yang lain, TQN Suryalaya tetap konsisten
untuk membuat sebuah gerakan zuhud ruhani demi berlangsungnya kehidupan
manusiwi yang lebih beradab. Pangkalnya adalah akrab serta mesranya hubungan
dengan Allah serta cerminnya adalah tingginya kualitas hubungan antara sesama
manusia serta manusia dengan alam lingkungan di sekelilingnya. Dari titik
inilah, TQN Suryalaya sebagai pengamal tasawuf, telah memberikan sumbangannya
yang sangat berharga bagi masa depan kemanusiaan. Bagi dimensi kehidupan
manusia serta alam yang dilihatnya tidak secara parsial, tetapi lebih lengkap baik secara subtansi jismani
maupun ruhani; sesuatu yang tertolak berdasarkan pandangan dunia materialis.
Kedua, TQN Suryalaya dengan pandangan dunia
spiritual sebagai basis ontologisnya, ialah suatu jalan untuk membukakan diri
pada tujuan hidup tertinggi. Tujuan agung itu seperti terkandung dalam munajat
yang dibaca selesai melaksanakan sholat: ilahii anta maqsudii, waridloka
mathluubii, a’thinii mahabbataka wama’rifataka (Yan Tunaku! Hanya Engkaulah
yang kumaksud dan keridloan-Mulah yang hamba cari. Berilah hamba kemampuan
untuk mencintai-Mu dan makrifat kepada-Mu).[44] Tujuan
tertinggi berdasarkan sudut pandang sufisme ini, adalah taqorrub terhadap
Allah S.W.T., upaya sungguh-sunggguh untuk mencapai mardlotillah, selalu
berupaya meningkatkan kemahabahan serta kemakrifatan terhadap-Nya.
Eksistensi TQN
yang ditopang keberadaan Pondok Pesantren yang didirikan 10 September 1905,
ketika dibagian dunia yang lain, materialisme sedang mengalami pembongkaran
dari berbagai asumsinya. Dunia pada abad ke-20, mengalami sebuah titik balik.
Pandangan dunia materialisme yang berjaya pada abad ke-17, 18 serta 19,
dimentahkan oleh pandangan-pandangan serta penemuan-penemuan dalam bidang
sains. Berbagai penemuan yang menjadi bintang keajaiban pada abad ke-20 itu,
justru mementahkan asumsi-asumsi materialisme. Fisika yang menjadi fundamen
terpenting pandangan dunia material, malah membawa para fisikawan ke arah
kesadaran baru tentang adanya realitas spiritual dibalik dari dunia material
ini. The Tao of Physics dari Fritjop Capra atau Wholeness
and Implicate Order David Bohm sampai pada sebuah kesimpulan yang sama:
dibalik kenyataan dunia material ini, ada realitas spiritual seperti yang bisa
dirasakan langsung oleh para mistikus
dalam tradisi-tradisi agama di belahan dunia Timur.[45]
Paralel dengan
pembahasan tasawuf, kalau para pendukung garis materialisme telah membatasi
cara pandang serta tujuan tertinggi
hidupnya pada aspek kebendaaan, maka para sufi malah berupaya menjangkaukan
pandangan serta tujuan tertinggi dari kehidupannya, pada Sang Mutlak melalui taqorrub,
usaha menggapai mardlotillah serta mempertinggi rasa cinta serta
makrifat kepada-Nya. Yang mau saya tulis adalah, materialisme sebagai sebuah
pandangan dunia, ternyata tidak selamanya berdiri dengan ajeg. Basis ontologis
spiritualisme seperti yang ada dalam keyakinan agama-agama serta secara
spesifik, aspek-aspek sufistik seperti yang ada dalam penghayatan kaum sufi,
malah berhasil bertahan melintasi ruang dan waktu.
Untuk kawasan
Nusantara serta Asia Tenggara pada umumnya, TQN telah memberi warna sangat
signifikan bagi ajegnya pandangan dunia spiritual pada abad ke-20 sampai awal
abad ke-21 sekarang, justru pada saat materialisme di negara-negara Barat,
mengalami masa senjakala yang redup. Sangat mungkin untuk mendialogkan
cita-cita Islam yang salah satu warisan pentingnya ada dalam ajaran kaum sufi
seperti yang dipraktekkan TQN dengan petualangan kultural masyarakat Barat yang
sedang berlangsung sekarang. Sebuah semangat
dialog untuk sama-sama belajar agar masa teknik serta era industri global, lebih jinak serta manusiawi.
Ketiga, segenap ikhwan
TQN selayaknya menjadikan apa yang Abah Anom lakukan, sebagai sebuah model
perjuangan. Konsistensi untuk mengamalkan TANBIH dengan contoh amal praktis
yang nyata seperti lewat INABAH serta gerakan penataan lingkungan, adalah
sebuah teladan bagaimana menjadikan sufisme sebagai terapi kongkret bagi wabah
penyakit modern. Penyakit manusia modern yang sangat tampak menonjol itu adalah
anak-anak muda yang menjadi korban keganasan narkotika. Sementara penyakit
manusia modern lain, sangat kompleks seperti problem keterasingan, global
warming, masalah carut-marutnya dunia kerja, masalah perdagangan manusia (trafficking)
dan berbagai anomali sosial lainnya. Berarti, sangat luas lahan garapan bagi
segenap ikhwan untuk sama-sama berjuang dengan artikulasi serta strategi
garapan yang lebih beragam. KH. Zezen Zaenal Abidin Bazul Asyhab merembeskan
nilai-nilai TQN melalui gerakan IQOMAH untuk melaksanakan rukun Islam dengan
sungguh-sungguh. Kini telah menjadi Program Unggulan MUI Pusat. YSB Ponpes
Suryalaya Korwil Jawa Barat membuat gerakan menanam ratusan ribu pohon yang
telah terealisasi. Apa yang dilakukan TQN Korwil DKI Jakarta yang dikomandani KH.
Wahfiuddin, M.B.A. Pak Wahfi beserta team, adalah kelompok yang sangat sigap
terlibat memberi bantuan terhadap korban-korban bencana alam seperti saat
Tsunami di Aceh serta meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta. Semua berporos pada keteladanan Mursyid
dengan strategi-strategi serta gerakan yang jitu serta handal.
Keempat, terkait dengan
proyeksi besar tasawuf dan masa depan kemanusiaan, selayaknya menjadikan dunia
pendidikan sebagai pilarnya yang utama. Gagasan untuk segera mendirikan Universitas
Latifah Mubarokiyyah (ULAMA), diharapkan
menjadi sebuah rintisan dalam pengertian yang seluas-luasnya untuk menjadikan
ruh sufisme yang berporos pada metode dzikrullah untuk menjawab
kebutuhan-kebutuhan masyarakat kontemporer. Yang diperlukan oleh dunia kita
hari ini, adalah sebuah lembaga pendidikan yang mampu memberikan sumbangan
paradigma yang lebih holistik terkait kesadaran tentang keserba-menyeluruhan
serta kesatu-paduan realitas antara manusia, Tuhan dan alam. Sufisme sebagai
sebuah gerakan kesadaran spiritual akan melahirkan energi serta inspirasi yang
tidak akan pernah kering jika terus berdialektika dengan kebutuhan-kebutuhan
kongkret umat manusia. Maka pengembangan kurikulum ULAMA, mesti berdasar pada
sebuah desain untuk mengintegrasikan tasawuf
ala TQN Suryalaya dengan diktum: ILMU AMALIAH AMAL ILMIAH dalam cakupan
ranah keilmuan yang seluas-luasnya seperti pertanian, kesehatan masyarakat,
lingkungan hidup, biologi molekuler, fisika baik teoritis maupun eksperimen,
etika terapan, rekayasa genetika dan lain sebagainya.
Jika TQN Suryalaya lewat ULAMA mampu
mengintegrasikan nilai-nilai kearifan para sufi dengan perkembangan ilmu
pengetahuan mutakhir yang sangat kaya, insya
Allah, apa yang dicita-citakan oleh Abah Anom untuk menjadikan Suryalaya
sebagai Center of Excellent bagi kajian tasawuf di Asia, bahkan dunia,
akan tercapai. Dan sumbangannya, tentu sangatlah besar dan nyata bagi
rekonstruksi masa depan kemanusiaan, menuju tatanan kehidupan yang lebih
manusiawi, beradab serta bermartabat.[]
[1] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan
Hidup Kiyai, LP3ES Jakarta, hal. 141.
[2] H.M. Zurkani Yahya, Asal-Usul Thoriqot Qodiriyyah
Naqsyabandiyyah dan Perkembangannya di dalam Harun Nasution (Editor), Thoriqot
Qodiriyyah Naqsyabandiyyah, Sejarah, Asal-Usul dan Perkembangannya
Kenang-Kenangan Ulang Tahun Pondok Pesantren Suryalaya ke-85 (1905-1990), hal.
58.
[4]Kisah
pengembaraan ribuan burung kosmis di dalam Manthiq ath-Thayr, tiada lain
dari gambaran perjalanan ruhani para penempuh jalan suluk, untuk sampai pada
dimensi kesatuan mistik dengan Tuhan. Lewat penerbangan Simorgh (Si=30, dan
Morgh=burung di dalam bahasa Persia) serta melewati berbagai macam rintangan,
hanya 30 burunglah akhirnya sampai pada puncak pencarian diri lewat pantulan
bayangan di dalam cermin alegoris, karena matahari kebesaran-Nya adalah sebuah
cermin. Dia yang melihat dirinya sendiri akan melihat
jiwa dan tubuhnya, dan akan melihatnya dengan sempurna. Karena kalian datang
sebanyak 30 ekor, si-morgh, maka kalian akan melihat 30 ekor di dalam cermin.
Begitupun kalau kalau kalian datang dengan 40 ekor atau lima puluh ekor, akan
kau lihat sama… leburkanlah diri kalian di dalam Aku, dan di dalam Aku kalian
akan menemukan diri kalian. Perjalanan Simorgh tiada lain untuk sampai pada
tahap kefanaan eksistensial hingga lebur dalam gemerlap cahaya Matahari Hakikat,
Sang Simorgh Sejati. Segala bayangan menjadi musnah, menyatu dengan Sang
Hakikat. Keragaman hilang, karena yang ada adalah Dia Yang Sejati. Maka kisah
Simorgh ini tiada lain dari kisah
amsal-amsal perjalanan ruhani para sufi, untuk mencapai tahap kefanaan
di dalam eksistensi kemutlakan-Nya. Untuk lebih lengkap tentang perjalanan
Simorgh, silahkan lihat Fariduddin Attar, Manthiq ath-Thayr, terjemahan
Hartojo Andangdjaja, Jakarta, Pustaka Jaya, 1983.
[5] Kisah Alexander The Great atau Iskandar Zulkarnaen saat mencari air
kehidupan sebagai amsal dari pencarian ilmu hakikat serta makrifat, di Jawa
telah mengilhami lahirnya Serat Syekh Malaya yang bercerita tentang perjalanan
batin Sunan Kalijaga dalam bimbingan Guru Agung, Nabiyullah Khidir alaihi
salaam. Iskandar Zulkarnaen menjadi Sunan Kalijaga dalam perjalanan mencari
air kehidupan, serta bertemu dengan Nabi Khidir di pantai. Di tangan
Yasadipura, sastrawan Jawa abad ke-18, Serat Syaikh Malaya dari abad ke-16 itu,
menjadi kisah alegoris sufi yang baru. Sunan Kalijaga menjadi Bima serta Nabi
Khidir menjadi Dewaruci. Kisahnya dimulai saat Bima mencari air suci Prawita
Sari atas perintah gurunya, Bagawan Dorna serta mesti dicari di tengah
samudera. Bima masuk ke dalam tubuh Dewaruci yang kecil serta mengalami kefanaan
hingga muncullah beragam cahaya: hitam, merah, kuning dan putih. Hitam, merah,
kuning adalah gambaran dari nafsu lawamah, amarah serta sufiyah yang menjadi
penghalang untuk sampai pada Allah, Sang Hakikat. Hanya yang putih saja yang
nyata, simbol dari nafsu muthmainnah. Kalau orang berhasil mengedalikan
tiga nafsu hingga berkecenderungan pada nafsu muthmainnah, maka dengan
sendirinya akan manunggal dengan Yang Maha Kuasa. Setelah keempat warna itu
hilang dari penglihatan Bima, maka yang muncul kemudian adalah delapan warna,
itulah yang sejatinya warna, Yang Tunggal. Seluruh warna tercermin dalam diri
Bima seperti juga makrokosmos (alam) serta mikrokosmos (manusia) yang ternyata
tak ada bedanya. Semua berada dalam keserbatunggalan dalam diri Bima. Jika
semua warna di dunia hilang musnah maka segala akan mengalir pada kekosongan,
kembali pada Dia, Zat Yang Tunggal, menyatu kembali dengan warna sejati. Itulah
gambaran alegoris dari perjalanan ruhani Sunan Kalijaga untuk mencapai tahapan
makrifat, yang di Jawa, disamarkan dalam lakon wayang carangan Dewaruci. Lihat,
pujangga Surakarta, Serat Dewaruci Kidung dari Bentuk Kakawin, Dahara
Prize, 1991. Lebih jauh tentang Serat Dewaruci, juga bisa dilihat di Purwadi, Tasawuf
Jawa, Narasi, Yogyakarta, 2003 hal. 33-40.
[6] Mengenai tingkatan-tingkatan alam dari Mulki, Malakut, Jabarut,
Lahut, lihat Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jailany, Sirr al- Asror, terjemahan
KH. Zezen Zainal Abidin Jayadi Bazul Asyhab, Pondok Pesantren Suryalaya, 1996,
hal. 45
[7] Ibid. hal. 47. Untuk menggambarkan beratnya perjuangan sampai Haramil Qudsiyyah atau Alam
Lahut Syaikh mengutip Hadits Qudsy: Ya abdi, idza aradta antadkhula
harami falaa taltafit ilal mulki, walmalakuti, waljabaruti lianna mulka
syaithonul alim walmalakuta syaithanul arif waljabaruta syaithanul waqifi. (“Hai
hamba-Ku, jika engkau berhasrat masuk ke dalam haram-Ku (Haram al-Qudsiyah)
maka engkau jangan terpedaya oleh Mulki, Malakut, Jabarut karena Alam
Mulki adalah setan bagi orang Alim; alam malakut adalah setan bagi
orang Arif, Alam Jabarut, setan bagi orang yang akan masuk ke Alam
Qudsiyah.”)
[8] Lihat Frederick Suppe, The Structure of Scientific Theories, University
of Illinois Press, hal. 136.
[10] Untuk lebih jelas dari 3 babak sejarah dari Comte, lihat K.
Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, hal. 72-73.
[12] Roger Geraudy, Promesses de ‘L Islam, terjemahan oleh H.M.
Rasyidi, Janji-Janji Islam, PT. Bulan Bintang, Jakarta, hal. 100.
[13] Di dalam TANBIH, kata AGAMA dengan NEGARA ini disebut sampai tujuh
kali. Hal ini terkait dengan paham Sunni yang memberi kewajiban untuk
mendirikan negara berdasarkan pada perintah Syara’. Masalah bentuk
negaranya sendiri, terserah pada pemecahan rasional yang didasarkan pada nalar
manusia untuk menentukannya, lihat Juhaya S. Praja, TQN Pondok Pesantren
Suryalaya dan Perkembangannya Pada Masa Abah Anom di dalam Harun Nasution, Op.
Cit., hal. 139. Oleh karenanya, ketaatan terhadap negara yang didirikan oleh
umat Islam adalah wajib. Bacaan lebih jauh: Zafir al-Qasimi, Nizam al-Hukm
fi al-Syari’ah wa al-Tarikh, Mesir, Dar al-Nafa’is, 1974.
[15] Lihat: Syaikh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin, Uqud al-Juman (Edisi
Bahasa Indonesia), Yayasan Serba Bhakti Pondok Pesantren Suryalaya, hal. 33-35.
[17] Wawancara dengan KH. Zaenal Abidin Anwar, 28
Nopember 2010 Jam 09.00-10.00 di rumahnya di lingkunganPondok Pesantren
Suryalaya.
[18] Syaikh Ahmad
Sohibul Wafa Tajul Arifin, Loc. Cit.
[19] Memang tidak ada catatan sejarah bahwa Syaikh Abdul Karim Banten
terlibat langsung di dalam pemberontakan para petani di Banten itu. Namun murid
beliau seperti H. Wasyid serta H. Marzuki yang terlihat sangat konfrontatif
untuk melakukan perlawanan terhadap kuasa kekuatan kolonial Belanda dalam
sebuah peperangan yang terjadi pada tahun 1888. Selanjutnya, lihat Sartono
Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten: Kondisi, Jalan, Peristiwa dan
Kelanjutannya, Sebuah Studi Kasus Tentang Gerakan Sosial di Indonesia, Pustaka
Jaya, Jakarta, 1984.
[20] Pada tahun 1889, Syaikh
Tholhah pernah ditangkap oleh Belanda
dengan tuduhan menghina Ratu Belanda. Apa yang dilakukan oleh Syaikh Tholhah
ibn Thalabuddin menjadi inspirasi peristiwa Perang Kedongdong pada tahun 1893
di Cirebon serta menjadi sebuah model kepeloporan ulama tarekat dalam memimpin
perlawanan terhadap Belanda. Lihat, www.khadijahmosque.org/tasauf/NotaTariqoh dan
Pengamalannya.
[22] Alwi Shihab, Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya
Hingga Kini di Indonesia, Mizan, Bandung, 2001.
[23] Syaikh Ahmad Sohbul Wafa Tajul Arifin, Ibadah Sebagai Metode
Pembinaan Korban Penyalahgunaan Narkotika dan Kenakalan Remaja, Yayasan
Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya, 1985.
[24] Aisyah Muhammad, Pengembangan Peran TQN di Luar Negeri;
Pengalaman Malaysia, Makalah pada Seminar Tasawuf Internasional dalam
rangka Milad Pondok Pesantren Suryalaya ke-105, di Pondok Pesantren Suryalaya,
4 Oktober 2010.
[26] Terkait dengan pemikiran Syed Neguib Al-Attas tentang peradaban,
sangat terlihat di dalam pandangan-pendangannya mengenai filsafat pendidikan.
Pendidikan adalah “penyemaian adab dalam dalam diri seseorang” yang disebutnya
dengan istilah ta’dib. Lewat ta’dib, pendidikan tidak
diproyeksikan hanya untuk menghasilkan pakar, melainkan proses yang akan
melahirkan individu yang baik yang akan mengusai pelbagai bidang kajian secara
terpadu serta merefleksikan pandangan hidup Islami. Di dalam ta’dib sudah
terkandung unsur-unsur ilmu (‘ilm), pengajaran (ta’lim) serta
penyemaian sifat-sifat yang baik (tarbiyah). Sangat jelas bahwa dalam
konsep pendidikan al-Attas, sangat menekankan pengembangan karakter individu
seperti dalam pernyataannya: “Ketika menyatakan bahwa tujuan ilmu pengetahuan
adalah melahirkan manusia yang baik, kami tidak bermaksud untuk tidak
melahirkan masyarakat yang baik, sebab masyarakat terdiri dari individu,
melahirkan seseorang yang baik akan melahirkan masyarakat yang baik. Pendidikan
adalah bagian penting masyarakat”. Lihat Syed Muhammad Neguib al-Attas, Islam
dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala
Lumpur, 1972, hal. 128.
[30]Armahedi
Mahzar, Integralisme, Sebuah Rekonstruksi Filsafat Islam, Pustaka,
Bandung, 1983, hal. 125.
[31]Lihat, Fritjop
Capra, Op.
Cit., hal. 55.
[36] Nursommad Kamba, Ilmu Makrifat: Prinsip-prinsip Epistemologi dan
Sufisme, Makalah Seminar Tasawuf Internasional dalam rangka Milad Pondok
Pesantren Suryalaya ke-105 di Pondok Pesantren Suryalaya, 4 Oktober 2010.
[37] Lebih jauh tentang temuan-temuan Einstein yang melampui capaian
pandangan Newton, bisa dibaca dalam Ronald C. Pine, Op. Cit., hal. 208.
Sebagai sebuah penemuan atas berbagai fenomena alam, bagi penulis, ilmu fisika
bisa menguatkan sendi-sendi makrifat. Walaupun tentu saja bahwa karakteristik
dari temuan sains itu, bersifat sangat sementara dan bisa tergantikan oleh
teori-teori baru yang lebih kuat dan hanya merupakan salah satu cara pandang
terhadap realitas. Saat memberi apreasiasi terhadap berbagai fenomena alam,
para penempuh jalan spiritual tidak akan berbicara hanya pada aspek fisika,
tanpa menghubungkannya dengan dimensi metafisis
yang lebih dalam. Bahkan akan melihat dengan mata batinnya bahwa keragaman fenomena dunia fisis hanyalah itu
‘bayangan’ dari Sang Mutlak. Di dalam kefanaan, realitas dunia fisik itu bahkan
sudah hilang, karena yang ada hanya Dia, Zat yang Mutlak. Wallahu a’lamu.
[40] Wawancara
dengan KH. Zaenal Abidin Anwar, 28 November 2010 Jam 09.00-10.00 di
kediamannya, lingkungan Pondok Pesantren Suryalaya.
[41] Surat yang ditandatangani Ketua YSB Pondok Pesantren Suryalaya
Korwil Jawa Barat, H. Yusup Suradi, perihal Program Sedekah Pohon kepada
Ketua/Pengurus YSB Ponpes Suryalaya Pusat, 26 Nopember 2010.
[43] Baca, novel Mary Shelley’s, Victor
Frankenstein, Heinemann, Oxford, 1992.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar