Minggu, 24 November 2013

Tasawuf Bagi Rekonstruksi Masa Depan Kemanusiaan: Sudut Pandang TQN Suryalaya



Dodo Widarda S.Ag. M.Hum.
Makalah disampaikan dalam Seminar "Tasawuf Nafas Peradaban Dunia" di IAILM
           
Menilik dari awal kelahiran sampai mencapai tarap kematangannya seperti sekarang,  Tarekat Qodiriyyah Naqsabandiyyah (TQN), telah menempuh rentang waktu yang sangat panjang. Adalah Syaikh Ahmad Khatib Sambas, seorang ulama Nusantara yang sangat berpengaruh di Makkah, yang telah mengintegrasikan dua tradisi tarekat besar; Qodiriyyah dengan Naqsabandiyyah dalam bentuk TQN seperti yang kita kenal pada abad ke-21 sekarang ini. Menurut Dhofier, TQN yang menjadi tarekat terbesar di Jawa, memang didirikan oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas, yang melalui rujukannya pada orientalis Snouck Hourgrounje, dipandang sebagai tokoh tarekat Qodiriyyah yang berpusat di Makkah pada abad ke-19 Masehi.[1] Murid-muridnyalah yang berasal dari Jawa serta Madura, telah menyebarkan ajaran dari syaikh besar hingga memiliki berjuta-juta pengikut sekarang ini dengan penyebaran yang kian meluas baik di dalam maupun di luar negeri.
            Akan halnya integrasi antara Qodiriyyah dengan Naqsabandiyyah, dinisbatkan pada dua nama pendiri tarekat yang sudah sangat dikenal luas di Dunia Islam, yaitu Syaikh  Abd al-Qodir al-Jailaniy dengan Syaikh Baha’uddin al-Naqsyabandi al-Bukhary. Tarekat Qodiriyyah didirikan oleh Syaikh Abd al-Qodir al-Jailaniy (wafat 561 H./1166 M.) dan tarekat Naqsyabandiyyah didirikan oleh Syaikh Baha’uddin al-Naqsyabandy al-Bukhary (wafat 791 H./1389 M.).[2] Kedua tarekat, kemudian menyebar secara luas ke seluruh penjuru dunia Islam, dengan poros penyebarannya di Kota Makkah Jazirah Arabia, kota suci umat Islam. Rupanya dari sinilah pangkal integrasi oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas yang juga sudah memberikan sumbangan sangat berharga dari seorang ulama Nusantara yang berasal dari Kota Sambas Kalimantan Barat, terhadap perkembangan tarekat di Dunia Islam.
            Adapun keberadaan Pondok Pesantren Suryalaya sampai menginjak usia 105 tahun pada tahun 2010, didirikan oleh Syaikh Abdullah Mubarak ibn Nur Muhammad pada tanggal 7 Rajab 1323 H. (5 September 1905 M.). Beliau, pigur kharismatik itu, menerima TQN dari Gurunya, Syaikh Ahmad Tholhah di Cirebon, seorang murid terpilih dari Syaikh Ahmad Khatib Sambas di Makkah. Setelah uzur, pada tahun 50-an, Syaikh Abdullah Mubarak ibn Nur Muhammad menyerahkan tongkat kepemimpinan Pondok Pesantren Suryalaya, kepada Putra Beliau, Syaikh Ahmad Sahibulwafa Tajul Arifin (sangat terkenal dengan sebutan: Abah Anom), Mursyid TQN sekaligus pemimpin pesantren Suryalaya dewasa ini.
            Di dalam kehidupan manusia kontemporer  yang terus diharu-biru berbagai masalah dengan tantangan-tantangan kemanusiaan yang bersifat universal serta global, TQN dengan salah satu titik sentrumnya di Suryalaya, tetap eksis melintasi masa demi masa. Menembus dimensi ruang dan waktu. Hal ini tidak lepas dari basis kepemimpinan serta kekuatan manajerial dari Mursyid Agung, Abah Anom, dengan berbagai khidmah yang diembannya terhadap agama, terhadap bangsa, terhadap kemanusiaan hingga TQN bisa tetap berdiri eksis di tengah situasi chaos tatanan dunia global sekarang. Bersama empat pondok pesantren yang lain sebagai basis penyebaran TQN di tengah eksotisme tanah Jawa, Suryalaya kian mengukuhkan keberadaannya seperti tercermin pada gegap-gempitanya Milad Suryalaya yang ke-105.
Dalam telisik Dhofier, Suryalaya ini merupakan bagian dari lima pondok pesantren di Jawa, yang menjadi basis penyebaran TQN. Kelima pesantren itu adalah Pesantren Pagentongan di Bogor, Pesantren Suryalaya di Tasikmalaya (keduanya di Jawa Barat), Pesantren Mranggen di Demak (Jawa Tengah),  Pesantren Rejoso serta Tebuireng di Jombang (Jawa Timur).[3] Dari tanah air, TQN ini menyebarkan auranya melalui pesantren-pesantren tersebut, untuk memberikan jawaban terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, baik menyangkut hubungan vertikalnya dengan Allah, maupun dalam konteks hubungan sesama manusia yang bersifat horizontal. Bahkan juga dengan lingkungan alam berdasarkan pada world-view (pandangan dunia) yang berbasis  pandangan teosofis-sufistis.
Gerakan membangun kesadaran manusia kontemporer dengan elemen dasar pandangan tasawuf, terasa akan selalu relevan dengan kebutuhan-kebutuhan kekinian serta pertimbangan-pertimbangan kehidupan etis manusia di masa depan. Dalam hal ini, Suryalaya adalah top modelnya yang sangat menonjol di tanah air, bahkan di Asia Tenggara. Gerakan tasawuf ini akan membawa pada kesadaran azali, untuk mengembalikan manusia pada asal-usulnya yang hakiki dengan penyucian serta pemurnian jiwa dari perangkap-perangkap penjara material-bendawi, dengan penerbangan jiwa menuju kesatuan bersama Sang Hakikat.
Simbolisasi serta metafor Fariduddin Attar lewat penerbangan Simorgh dalam Manthiq ath-Thayr, adalah gambaran perjalanan ruhiyah dengan upaya memerdekakan diri dari penjara-penjara duniawi  maupun rintangan-rintangan yang bersifat batini.[4] Pun, lewat artikulasi lain seperti digambarkan sastrawan Keraton Surakarta, Yasadipura yang menggubah Serat Sekh Malaya atau Sunan Kalijaga menjadi kisah alegoris sufi  Dewa Ruci. Lakon Dewa Ruci ini yang menjadi guru pencerahan ruhani bagi Bima untuk menemukan kesejatian dirinya, tiada lain adalah sebagai gambaran  metaforis lewat ajaran-ajarannya, agar manusia kembali pada Dia Yang Sejati.[5] Setelah manusia menyebrangi berbagai dimensi alam dari alam mulki,  malakut, jabarut serta lahut,[6] maka kemudian mesti direfleksikan dalam sebuah kesadaran manusiawi untuk membangun konstruksi hubungan mutual-simbiosis, pertama-tama, menjaga konsistensi hubungan dengan Allah dalam wujud ketaatan beribadah, kemudian dengan sesama manusia. Serta yang lain adalah dengan alam lingkungan yang ada di sekelilingnya, dalam sebuah penghormatan sebagai realitas tunggal ciptaan Allah. Mi‘raj ruhani sampai ke alam lahut, setelah melalui perjuangan yang berat  melewati rintangan serta godaan alam mulki, malakut serta jabarut[7]  adalah upaya seorang salik untuk berpindah dari sifat-sifat setan kepada barakah serta limpahan kasih sayang Allah yang tiada terhingga. Maka bagi penulis, hubungan manusia dengan manusia serta hubungan manusia dengan alam harus mencerminkan telah terjadinya metamorfosis diri untuk meresonansikan sifat-sifat Ilahiyah dalam dimensi-dimensi sejarah yang lebih kongkret. Itulah dimensi kenabian yang mesti ditransmisikan oleh para pewarisnya serta di lingkungan TQN Suryalaya, baik pada tingkat panduan akhlak seperti dalam TANBIH maupun di dalam praksis kehidupan sehari-hari, telah diterjemahkan oleh para Mursyid sampai pada ketinggian maqomat Abah Anom sekarang.   
Pada abad ke-21 dewasa ini, dunia yang kita huni berikut tata kehidupan yang ada di dalamnya, memerlukan perumusan filosofis untuk menghayati hubungan timbal balik yang lebih harmonis serta bergairah antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia serta manusia dengan semesta-raya tempatnya hidup. Pandangan mekanik dari paradigma Cartesian-Newtonian sebagai cara pandang yang dominan dengan pengaruh kuatnya sampai abad ke-21, ternyata membawa berbagai permasalahan yang sangat sukar dicari rumusan jawabannya. Baik karena lahirnya berbagai potensi penindasan dan  eksploitasi antar sesama, maupun dalam bentuk penaklukan manusia  terhadap alam dengan mereduksi kemungkinan hubungan lebih partisipatif antara keduanya. Hal inilah yang telah menjadi sumber petaka dalam kehidupan manusia dewasa ini yang selalu dibayang-bayangi ketakutan perang antar sesama serta kehancuran total dari seluruh sistem peredaran jagat raya ini. Bahkan, di dalam 2012, Roland Emmerich telah membuat sebuah karya sinematik yang meramalkan tentang terjadinya kiamat pada tahun tersebut. Sesuatu yang terasa menyentak kesadaran manusiawi kita terhadap beragam ancaman serta menjadi semacam kecemasan global pada beberapa tahun belakangan ini.

Pandangan Dunia Dominan; Materialisme
            Sebelum pembahasan lebih lanjut, saya perlu mengungkapkan istilah paradigma di sini. Paradigma yang saya maksudkan dalam tulisan ini adalah seperti apa yang dimaksudkan oleh Thomas Kuhn The Structure of Scientific Revolution (1962) sebagai “model“ atau“pola berpikir“, dan pandangan dunia kaum ilmuwan dalam kegiatan riset mereka.[8] Pengertian paradigma ini bisa meliputi hukum, teori, aplikasi serta instrumentasinya sekaligus. Paradigma inilah yang menjadi bagian paling esensial saat para ilmuwan berkutat dengan kerja-kerja ilmiah mereka.
            Pasca kejayaan ilmuwan-ilmuwan muslim meredup pada abad ke-14, orang-orang Eropa yang pernah mengalami pahit-getirnya  peperangan dengan dengan pasukan muslim pada peritiwa Perang Salib, mengalami lompatan besar dari sisi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kesadaran manusia renaisans Eropa dimulai dari lompatan kognitif seorang filsuf Perancis, Rene Descartes (1566-1650) dengan titik pangkal filsafat rasionalisme serta ungkapan Cogito Ergo Sum (Aku Berpikir Maka Aku Ada) yang terkenal.[9] Ungkapan tersebut menandai sebuah kebangkitan masyarakat dari tidur dogmatisnya yang panjang pada masa The Dark Age (Abad Kegelapan) mereka. Dengan ungkapannya, Descartes mengukuhkan rasionalisme sebagai fundamen filosofis, dan ‘aku yang berpikir‘ menandai adanya pengambilan jarak dengan realitas yang dipikirkan.
            Ungkapan Descartes ini, menandai adanya dualitas antara ’aku yang berpikir‘ sebagai subjek dengan ‘objek‘ yang dipikirkan. Dan itulah awal lahirnya tradisi ilmiah di Eropa, yang membuat mereka menjadi kekuatan dominan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, berikut kemakmuran ekonomi yang mereka dapatkan. Proyek rasionalisme Cartesian ini kemudian berlanjut dengan empirisme Bacon, positivisme Comte serta positivisme logis Carnap dibarengi dengan munculnya ilmuwan-ilmuwan lain seperti Newton, Copernicus, Galileo, Kepler, dan lain-lain yang telah membawa Eropa pada masa keemasannya yang gemilang.
            Namun satu hal yang mesti diberikan catatan. Descartes bukanlah seorang penganut materialisme dengan rasionalisme yang dia lahirkan. Dia tetap seorang penganut Kristiani yang taat. Namun dasar-dasar dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, semakin bergerak ke arah materialisme secara ontologis, positivisme dari sisi epistemologis serta klaim ’bebas nilai‘ secara aksiologis. Dunia, dari sudut pandang positivisme ala Auguste Comte (wafat, 1857)  adalah dunia yang melulu dipahami dari aspek-aspek yang material semata. Perbincangan di luar aspek-aspek dunia fisis adalah sesuatu yang tertolak. Dengan tiga babak sejarah manusia yang bergerak linear dari fase teologis, metafisis serta positivis,[10] Comte telah menutup secara ketat segala  kemungkinan bagi  pandangan metafisis karena ’metafisika‘ telah dipandang tamat riwayatnya. Terlebih hal itu diperkuat dengan pandangan para penganjur garis postivisme yang datang pada periode berikutnya seperti Rudolf Carnap dan lain-lain.
            Pada abad ke-21 sekarang, walaupun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi  telah jauh melampui apa yang dipikirkan oleh Descartes, Newton, Comte dan kawan-kawan, cara pandang material yang menempatkan aspek ‘materi‘ sebagai aspek ontologis paling nyata, tetap menjadi pandangan dunia yang dominan. Walaupun Albert Einstein pada abad ke-20 telah mengukuhkan teori relativitas serta pandangan alam raya menurut fisikawan besar itu, lebih jauh lebih besar dari apa yang ada dalam sketsa-sketsa Newton, tetap saja materialisme menjadi pandangan dunia yang dominan. 
Ketika para fisikawan seperti Capra serta David Bohm, lewat penemuan-penemuan mereka yang cemerlang sampai pada kesimpulan bahwa dibalik realitas dunia material, terdapat aspek-aspek spiritual, cara pandang kaum materialis tetap menjadi kekuatan dominan. Carl Sagan, adalah contoh seorang ilmuwan yang tetap bersikukuh dengan pandangan materialis ini. Sagan sendiri menganggap bahwa metarialisme adalah asumsi yang paling masuk akal bagi para ilmuwan.[11] Dengan  kata lain bahwa materialisme ini adalah fakta-fakta kongkret sebagai satu-satunya ukuran kebenaran.
Implikasi dari cara pandang yang  tunggal serta serba saintisme dalam memahami realitas, ternyata tidaklah sederhana serta menimbulkan adanya eksploitasi atas manusia dan alam oleh kutub yang dominan. Roger Geraudy, seorang filsuf muslim kenamaan dari Perancis, telah memberikan kritik yang tajam demi tanggung-jawabnya untuk menyelamatkan manusia serta alam semesta dari kehancuran yang mengancam serta menimbulkan ketakutan. Menurut Geraudy yang hidup pada abad ke-20, sejarah sains serta teknik seperti yang dikonsepsikan orang di negara-negara Barat, didasarkan atas satu postulat yang implisit: orang harus mengukur kemajuan sains dan teknik hanya dengan satu ukuran yaitu apakah sains dan teknik dapat menjamin kekuasaan yang maksimum atas alam dan manusia. Sains dan teknik bahkan telah dipandang sebagai ’agama‘ tersendiri: agama ”kemajuan“ (progress) dan“perkembangan“ (growth).[12] Jadi kemajuan dan perkembangan  telah dipandang sebagai agama, yang menggantikan pengertian agama seperti apa yang dipahami oleh umat beragama. Ketika kemajuan tercapai, maka dimensi Ilahi, dipandang sesuatu yang tidak diperlukan lagi dalam masyarakat yang berbasis sains modern. 

Rekonstruksi Hubungan Sesama Manusia
            Hubungan manusia yang satu dengan yang lain, kini ditandai oleh aspek-aspek destruktif; saling menghancurkan dalam berbagai konflik serta peperangan yang tak kunjung akhir. Isu terorisme, misalnya, sebagai isu yang telah membuat posisi umat Islam dengan Barat dalam situasi berhadap-hadapan, telah memicu adrenalin kedua belah pihak untuk terus-menerus bertegang urat syaraf hampir tanpa jeda. Belum lagi permasalahan yang lain seperti terjadinya eksploitasi manusia yang satu oleh manusia lain, isu kemungkinan terjadinya perang nuklir yang mengancam seluruh eksistensi kehidupan menuju kehancuran yang total, merebaknya gerakan neo-liberalisme yang menghalalkan penghisapan darah sesama, kemiskinan yang menggurita, penjualan obat-obat terlarang yang bisa membunuh sebuah generasi serta menghasilkan manusia-manusia bermental lemah. Manusia-manusia-manusia lemah dengan sendirinya, akan mudah dikuasai, ditaklukkan serta dieksploitasi.
            Semua hal di atas atas adalah aspek-aspek yang merisaukan, menggelisahkan serta membuat manusia mengalami ’keterasingan’ dari sesamanya, dari lingkungannya, dan menjauhkan dari Allah sebagai poros spiritual kehidupannya. Sekaligus juga merendahkan martabatnya sebagai makhluk Allah yang mulia. Padahal dalam TANBIH, Syaikh  Abdullah Mubarak telah menyitir kandungan al-Qur’an  di dalam ayat 70 surat Isra : ”Sangat kami mulyakan keturunan Adam dan kami sebarkan segala apa yang ada di daratan serta lautan, juga kami mengutamakan mereka dari makhluk lainnya.“ Muatan ayat ini bersifat sangat universal karena menyangkut eksistensi kehidupan umat manusia, tanpa batasan aspek-aspek yang bersifat suku, agama, ras, serta antar golongan (SARA), yang menyatakan bahwa manusia berada dalam stratifikasi yang lebih unggul dari makhluk-makhluk Allah yang lain. Muatan ayat di atas lebih dipertegas dengan kutipan berikutnya, mengingat surat al-Maidah ayat 2: “Hendaklah tolong-menolong dengan sesama dalam melaksanakan kebajikan dan ketaqwaan dengan sungguh-sungguh terhadap AGAMA dan NEGARA, sebaliknya jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan terhadap perintah AGAMA maupun NEGARA.“[13]
            Dengan kedudukan manusia yang mulia,  manivesto sekaligus pesan Syaikh Abdullah Mubarak seperti yang terdapat di dalam TANBIH, telah memberikan tekanan bagi pengembangan dimensi-dimensi etis dalam kehidupan sosial serta bagaimana manusia mesti bersikap terhadap sesamanya dalam lingkup hubungan global sekaligus multikultural. Dan  Syaikh, dengan TANBIH yang telah beliau wasiatkan,  telah memberikan dasar-dasar bagi etika terapan yang sangat berguna bagi tujuan praktis kehidupan. Atau bahkan, pesan yang tertulis di dalam TANBIH, memberikan fundamen etis bagi ikhwan TQN serta sarat dengan makna-makna filosofis. Tentu saja, lewat paradigma TANBIH, konstruksi hubungan yang dibangun adalah simbiosis-mutualis, tidak dengan cara saling menolak serta menegasikan. Bukan pula jenis hubungan persaingan, pertempuran atau dominasi sebagaimana dikutip Geraudy dari filsuf Inggris, Thomas Hobbes (1558-1679): ”Homo homini lupus“ (Manusia yang satu adalah serigala bagi manusia lainnya).[14]
            Dalam pengembangan hubungan dengan sesama manusia, sebagaimana pandangan para sufi pada umumnya, TANBIH telah memberikan dasar-dasar pijakan etis seperti dapat kita simak dari beberapa bagian di dalamnya:
            Bahwa seorang pengamal TQN harus membuktikan kebajikan yang timbul dari kesucian:
1.      Terhadap orang-orang yang lebih tinggi daripada kita (Ikhwan TQN, Penulis) baik lahir maupun batin, harus kita hormati, begitulah seharusnya hidup rukun saling harga-menghargai;
2.      Terhadap sesama yang sederajat dengan kita dalam segala-galanya, jangan sampai terjadi persengketaan, bergotong royong dalam melaksanakan perintah AGAMA dengan NEGARA, jangan sampai terjadi perselisihan serta persengketaan, kalau-kalau kita terkena firman-Nya“Adzabun alim“ yang berarti duka nestapa untuk selama-lamanya dari DUNIA sampai AKHIRAT (badan payah, hati susah);
3.      Terhadap orang-orang yang berada di bawah kita, jangan hendak menghinanya atau berbuat tidak senonoh dengan berbuat angkuh, sebaliknya harus belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka merasa senang dan gembira hatinya, sebaliknya harus dituntun dibimbing dengan nasihat yang lemah lembut yang bisa memberi keinsyafan dalam menginjak jalan kebajikan.
4.      Terhadap fakir-miskin, harus kasih sayang, ramah tamah serta bermanis budi, bersikap murah tangan, mencerminkan bahwa hati kita sadar. Coba rasakan oleh diri kita pribadi, betapa sedihnya jika berada dalam kekurangan, oleh karena itu janganlah acuh tak acuh, hanya diri sendirilah yang senang, karena mereka jadi fakir miskin itu, bukannya kehendak dirinya sendiri, namun itulah kudrat dari Tuhan.[15]

Penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, upaya menghindari berbagai permasalahan hidup dengan tetap rendah hati, kepeduliaan terhadap nasib kaum du’afa, penegasan pentingnya sikap filantrofis terhadap nasib fakir-miskin seperti termaktub dari butir ke-1 sampai ke-4 TANBIH, adalah dimensi-dimensi moral tasawuf yang dapat menjernihkan pandangan kemanusiaan kita. Maknanya menjadi berarti  di tengah berkuasanya arus hidup hedonis serta sikap-sikap  sangat mementingkan kepentingan pribadi dalam gemerlap hidup penuh aroma individualime  masyarakat industri sekarang ini. TANBIH  yang diwasiatkan oleh seorang sufi besar ini, merefleksikan kewajiban-kewajiban moral sekaligus tanggung-jawab sosial sebagai bagian integral untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Sufi-sufi besar yang merintis jalan tasawuf, bukanlah orang-orang yang asyik dengan pencarian kepuasan spiritual bagi diri mereka sendiri. Tapi mereka mengembangkan perikemanusiaan dengan makna yang seluas-luasnya. Salah satu contoh dari Abu Yazid al-Bustami. Beliau tidak mau makan sebelum yakin orang-orang di sekitar tempat tinggalnya tidak ada yang kelaparan. Bishr al-Hafi membuka bajunya di Rumah Sakit Baghdad dan menyerahkannya kepada teman sekamarnya karena terlalu miskin untuk memiliki baju.[16] Contoh lain adalah apa yang dilakukan Abah Sepuh di Suryalaya. Untuk menghidupkan ekonomi masyarakat di sekitar pondok yang masih dalam cengkraman kolonial, pada tahun 1930-an Abah Sepuh memprakarsai pembuatan pabrik pengolahan ketela pohon. Masyarakat Godebag kemudian ramai-ramai menanam ketela pohon untuk meningkatkan derajat ekonomi mereka. Saat musim panen ketela pohon tiba serta berhasil diolah, masalah yang muncul kemudian adalah pemasaran. Terobosan jenius Abah Sepuh adalah berkerjasama dengan orang-orang China dan India yang punya talenta bisnis untuk memasarkan hasil kerja keras masyarakat seputar Suryalaya. Bahkan kemudian berkembang dengan membuat pasar yang berlokasi di sebelah timur pesantren serta tetap ramai sampai sekarang.[17] Sebuah langkah cerdik baik dilihat dari sisi pengembangan ekonomi masyarakat lokal maupun dari sisi kemampuan negosiasi dengan para pengusaha asing.  Hal ini juga sekaligus untuk menghindarkan kecurigaan penjajah dengan membungkus formula gerakan kebangsaan lewat upaya-upaya membangkitkan ekonomi masyarakat dengan meminjam kemampuan bisnis orang-orang China dan India. Dari kacamata kaum kolonial, mereka adalah warga masyarakat kelas dua yang dipendang lebih terhormat dibandingkan kaum pribumi sebagai warga kelas tiga.  Itulah  contoh-contoh dari sikap humanis kalangan sufi, untuk membangun hubungan yang ikhlas dengan sesamanya. 
Lebih jauh lagi, penjelasan keempat butir di atas bahkan menjadi landasan untuk membangun hubungan manusia secara lintas budaya dalam lingkup yang lebih luas sekaligus kompleks. Dalam realitas kehidupan manusia yang sangat plural, multikultural serta kosmopolitan, karena ada keharusan untuk menghargai sesama umat manusia, bahkan termasuk orang asing yang berlainan bangsa  karena sama-sama keturunan Nabi Adam a.s., yang telah dimulyakan oleh Allah SWT. Dokter pribadi Abah Anom adalah seorang China dan bukan Muslim. Tetapi tidak menjadi masalah selagi bekerjasama dalam bingkai kemanusiaan yang universal.
Semangat keterbukaan serta moderasi,  menjadi spirit dari paradigma TANBIH dalam membangun visi kemanusiaan yang penuh dengan semangat humanis sekaligus egaliter. Selain bervisi egaliter, TANBIH juga mengandung semangat toleransi, dengan menyerahkan soal keagamaan terhadap para penganutnya masing-masing. TANBIH menegaskan: Adapun soal keagamaan, itu terserah agamanya masing-masing, mengingat surat al-Kafirun ayat 6: “Agamamu untuk kamu, agamaku untuk aku“, maksudnya jangan terjadi perselisihan, wajiblah kita hidup rukun dan damai, saling menghargai, tetapi janganlah bercampur-baur (dalam hal ajaran, Penulis).[18]
Walaupun TANBIH menekankan hidup rukun dengan penganut-penganut agama yang lain dengan sikap penuh toleransi, tetapi ada batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Keterbukaan serta moderasi adalah pada wilayah-wilayah ruang publik demi menjaga kemaslahatan hidup bersama pada aspek kemanusiaan. Sedangkan semangat toleransi menyangkut kehidupan beragama, sejauh berkaitan dengan ajaran, dikembalikan terhadap keyakinan para pemeluk sendiri. Tidak untuk mencampur-baurkan keyakinan agama yang satu dengan yang lain. 

INABAH; Sebuah Amal Bagi Rekonstruksi Peradaban
            Kita tahu bahwa dalam buku Pemberontakan Petani Banten seperti yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo, Syaikh Abdul Karim Banten memberi inspirasi dalam melakukan perlawanan terhadap kekuatan kolonial Belanda.[19] Beliau adalah inspirator terhadap lahirnya pemberontakan terbesar dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Dari titik ini kita bisa memahami, bahwa perjuangan kalangan tarekat seperti yang dilakukan oleh murid-murid Syekh Abdul Karim Banten  bukanlah perjuangan yang tertutup di ruang yang sunyi senyap. Tetapi selalu berusaha memberikan respon terhadap situasi serta semangat zamannya. Demikian juga dengan Syaikh Tholhah yang menjadi inspirator bagi perlawanan keras terhadap pemerintah kolonialisme Belanda,[20]  dengan pemberontakan Kedongdong yang terkenal di Cirebon. Abah Sepuh, Syaikh Abdullah Mubarak ibn Nur Muhammad adalah pejuang bagi tegaknya bangunan NKRI,  dengan melakukan negosiasi agar negara boneka Pasundan kembali ke pangkuan pertiwi.
            Akan halnya dengan Abah Anom, berpijak dari garis perjuangan para pendahulunya, juga  memberikan sebuah jawaban bagi krisis mendasar pada zamannya. Peralihan kepemimpinan dari Abah Sepuh terhadap beliau, dibarengi dengan suasana pergulatan politik saat gerombolan DI/TII Kartosuwiryo mengguncang bangunan kebangsaan NKRI dengan keinginan membentuk negara Islam. Tapi pada tahun 1950-an itu Abah Anom berdiri ajeg membela keutuhan NKRI.[21] Pada perjalanan hidup selanjutnya, perjuangan itu lebih nyata, terutama terkait krisis mental yang dialami oleh kalangan generasi muda. Perjuangan Abah Anom untuk menyelamatkan generasi muda dari kehancuran ini, walaupun tetap beliau lakukan tidak dengan cara-cara yang reaktif, merupakan bentuk perang yang lain mengingat bahwa ada jejaring dengan skala global menyangkut jual-beli serta peredaran narkoba di seluruh dunia, mungkin dengan tujuan untuk menghancurkan sebuah bangsa. Kita teringat pada peristiwa Perang Candu di China (1839-1842) yang mengakibatkan China, yang masyarakatnya mendapat pasokan candu secara besar-besaran dari Inggris,  mesti bertekuk lutut di bawah kedaulatan kaum penjajah itu.
Upaya menyelamatkan generasi muda dari tebing curam kehancuran, adalah perjuangan mempertahankan eksistensi bangsa, bahkan perjuangan menyelamatkan eksistensi umat Islam dalam skala yang lebih luas lagi. Ada upaya-upaya terselubung yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk menghancurkan kekuatan ruhaniah umat Islam sehingga kian menambah kompleksnya masalah yang dihadapi umat dewasa ini. Terkait dengan kompleknya permasalahan umat ini, dalam Islam Sufistik, Alwi Shihab telah menulis:
Masyarakat Muslim kini tengah dilanda berbagai masalah di luar batas kemampuan dan kekuatannya. Di antara masalah yang paling menonjol adalah ledakan penduduk, penyalahgunaan narkotik dan ekstrimis agama di samping kegalauan dan cara hidup tak menentu yang menjadi trend dalam kehidupan kawula muda, termasuk banyaknya pemahaman jihad tentang Islam, terutama dari mereka yang tidak memiliki kualifikasi keilmuan. [22]
            Tampak dari apa yang ditulis Syihab, bahwa masalah penyalahgunaan narkotik serta kegalauan dan cara hidup tak menentu dari kawula muda, menjadi bagian dari realitas kehidupan masyarakat muslim kontemporer. Pangarusutamaan cara pandang materialisme yang didasarkan pada kerangka berpikir saintis serta logis semata, telah mengakibatkan banyak di antara kalangan generasi muda yang tidak menyadari kerusakan tubuh ruhani yang dialaminya. Mengalami kekosongan, keterasingan serta masuk lorong-lorong kesunyian hidup yang pengap dan gelap. Akhirnya melakukan pelarian dengan mengkonsumsi zat-zat adiktif. Apa yang Sulthon Aulia wa Imam al-Ulama, Syaikh Ahmad Sohibul Wafa Tajul Arifin lakukan dengan INABAH, tiada lain mengembalikan kesatuan tubuh jasmani dengan tubuh ruhani, untuk membangkitkan kembali kesadaran diri dari kawula muda itu.
            Dan, apabila kita pusatkan pembahasan tentang masyarakat Indonesia,   kita tahu bahwa cara-cara sufi merupakan yang paling efektif yang telah meluas popularitasnya di antara para pemuda. Keberhasilan tarekat sufi ini telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memberikan bantuan kepada pusat-pusat tarekat yang memberikan perhatian dan kepedualian terhadap problem kecanduan. INABAH, yang gerakannya dimulai pada tahun 1977. Pada tahun 1977 untuk proses perwujudan pembinaan remaja yang terlibat penyalahgunaan narkotika dan kenakalan remaja tersebut diuji coba sebuah kurikulum dan silabus oleh oleh Syaikh Ahmad Sohibul Wafa Tajul Arifin. Setelah terbukti memberi manfaat yang besar bagi kemanusiaan, maka pada tahun 1985 kurikulum dan silabus tersebut dibakukan dan disusun dalam sebuah buku yang berjudul “Ibadah Sebagai Metode Pembinaan Korban Penyalahgunaan Narkotika dan Kenakalan Remaja“.[23]
            Kurikulum penyembuhan kecanduan yang berintikan dzikrullah ini yang menjadi pegangan bagi para pembina INABAH khususnya dan bagi ikhwan TQN pada umumnya serta dapat dimanfaatkan bagi kemaslahatan seluruh umat manusia. Puluhan INABAH, selama 33 tahun dari awal perjalanan sejarahnya sampai tahun 2010, telah terlibat secara aktif bagi sebuah proyeksi amal kemanusiaan serta penyelamatan jangkar kehidupan generasi muda. Tempat bagi keberadaannya, tersebar mulai dari Tasikmalaya di Jawa Barat, kawasan Gaylang Road Singapura sampai Trengganu serta Kedah di Malaysia.
            Di Malaysia, terungkap di dalam makalah dari Puan Hajah Aisyah Muhammad yang berjudul Pengembangan Peran TQN di Luar Negeri; Pengalaman Malaysia, bahwa kurikulum yang dibuat oleh Abah Anom, merupakan sebuah upaya rekonstruksi peradaban, ketika peradaban dikembalikan kepada pengertian etisnya yang berpangkal pokok pada masalah akhlak.[24] Di Malaysia, usaha rintisan terhadap INABAH ini dimulai pada tahun 1980 oleh Abah Anom. Pada tahun itu, rupanya di Malaysiapun, sebagaimana di berbagai penjuru dunia yang lain termasuk Indonesia tengah mengalami krisis moral yang teramat berat, terutama yang melanda kalangan generasi muda.
            Tuntutan terhadap pemenuhan kebutuhan dunia material dengan perangkat pendukung kerangka berpikir logis serta ilmiah, ternyata telah membuat kalangan generasi muda Malaysia tercerabut dari tradisi serta akar spiritualitas keislaman. Modernisasi yang gencar dilakukan, hanya berdasarkan pada kuatnya pemenuhan aspek material-bendawi serta tuntutan logika saja. Di luar aspek tersebut, bahkan seolah-olah tidak memberi makna apapun bagi gaya hidup serta bahasa orang-orang modern.  Apa yang terjadi adalah, dominasi pandangan materialisme yang melanda kawasan Dunia Islam sehingga persis sama kondisinya dengan saat positivisme bersimaharaja-lela di dunia Barat, serta Withgeinstein menulis: What  can’t talk about, we must pass over in silence.[25] Apa yang tidak bisa kita bicarakan, tinggalkan saja, karena yang bisa dibicarakan itu, hanya yang logis dan ilmiah saja.
            Cara pandang yang memungkinkan orang meninggalkan apa-apa yang tidak bisa dibicarakan berdasarkan pada kerangka berpikir saintifik-logik, tampaknya telah menggejala dalam proyek modernisasi di Malaysia. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya kekeroposan batin kawula muda Malaysia sehingga banyak yang menjadi pecandu dedah. Dan Abah Anom dengan rintisan INABAH di Malaysia, mengisi kekosongan spiritual generasi muda tersebut. Orang-orang tua mengantar anak-anak mereka yang telah kehilangan keadaban dirinya serta karakter-karakter manusiawinya ke INABAH. Di INABAH, semangat hidup generasi muda yang telah hancur itu, ternyata bisa dibangkitkan kembali.
            Wawasan kepada peradaban versi negara, terbentuk dari sudut pandang Malaysia sebagai sebuah negara Islam. Tetapi dengan perangkat bantu ilmu psikologi, Hajah Puan Aisyah Muhammad menilai peradaban dalam pengertian individu-individu yang hendak dibuat beradab, hendak di-civilized-kan. Role of Civilization atau peran peradaban dalam suatu negara atau komunitas, terbentuk dari individu-individu yang civilized. Dengan mengikuti pandangan filsuf  Malaysia, Syed Neguib al-Attas, Hajah Puan Aisyah Muhammad kemudian membedakan antara modernisasi dengan civilization. Modernisasi lebih menekankan pada aspek logika dan material. Sedangkan civilization atau peradaban, lebih terkait dengan ketinggian moral atau akhlak.[26] Jadi, di Malaysia, kurikulum  IBADAH yang dibuat  Abah Anom, menjadi kurikulum integral untuk menanggulangi korban-korban narkoba. Tapi bagi Kerajaan Malaysia, pengertiannya kini tidak sebatas itu, karena selepas 30 tahun, kurikulum itu tiada lain adalah untuk men-civilized-kan diri mereka sendiri.
            Dengan lain perkataan, apa yang dilakukan oleh Abah Anom lewat pengembangan kurikulum IBADAH di INABAH, adalah sebuah amal usaha bagi rekonstruksi peradaban, membangun kekuatan akhlak generasi muda supaya dapat hidup tidak hanya berdasar pertimbangan-pertimbangan material-logik semata. Tetapi dengan dasar-dasar pijakan spiritual etis sebagai makhluk Allah. Apa yang terjadi di Malaysia, demikian pula yang terjadi di negeri tercinta, Indonesia. Apa yang Abah Anom lakukan ini, adalah gambaran kongkret dari apa yang ditulis oleh Syihab bahwa para syaikh dengan khalifahnya, atau wakil talqin dalam konteks Suryalaya, sangat peduli dalam menangani korban narkotik dan problem yang dihadapinya dengan penuh lapang dada.[27] Kemudian syaikh juga  memberikan nasihat-nasihat agama dan memerintahkan perbuatan baik serta bertobat sebagai upaya untuk mengangkat semangat dan kepercayaan mereka kepada diri sendiri serta membangkitkan kekuatan tekad dalam menjalankan syariat dan sunnah dengan membaca Al-Quran dan wirid.
            Bagi penulis, pembinaan INABAH yang berporos pada metode dzikrullah, merupakan model penerjemahan kongkret dari butir ketiga keharusan pengamal TQN untuk selalu mengedepankan kebajikan moral. Terutama membangkitkan semangat hidup bagi mereka yang lemah secara mental. Ini tidak lain adalah bagian dari amal kemanusiaan, metode praktis untuk menempatkan kembali manusia-manusia yang mengalami keterpurukan  hidup ke jalan yang benar Mereka tidak mesti dijauhi, tetapi mesti dituntun dengan nasihat yang lemah lembut agar mengikuti jalan kebajikan serta keutamaan sebagaimana tertulis dalam TANBIH,
Terhadap orang-orang yang keadaannya di bawah kita, janganlah hendak menghinakannya atau berbuat tidak senonoh, bersikap angkuh, sebaliknya harus belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka merasa senang serta gembira hatinya, jangan sampai merasa takut dan menjadi liar, bagaikan tersayat hatinya, sebaliknya harus dituntun dibimbing dengan nasihat yang lemah lembut, yang akan memberikan keinsyafan dalam menginjak jalan kebajikan. [28]

Rekonstruksi Hubungan Dengan Alam
            Para sufi tidak hanya mampu mengembangkan amal praktis  terkait dengan masalah berdimensi kemanusiaan. Tetapi juga kemampuan untuk melintas-batas pada wilayah-wilayah prikemakhlukan sebagai sebuah penghayatan sekaligus jalan untuk bisa lebih dekat dengan Allah. Contoh dari perikemakhlukan ini adalah seperti apa yang dilakukan oleh Syaikh Abu Yazid al-Bustami   kembali ke kampung temannya, karena ketika pulang ke kampungnya sendiri, seekor semut terbawa di bajunya.[29]
Contoh yang lain adalah dalam film Sunan Kalijaga arahan sutradara Shofyan Sharna serta dibintangi oleh aktor legendaris Deddi Mizwar pada tahun 1984. Pada saat Raden Sahid yang kelak terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga mengalami pergolakan batin yang luar biasa dalam proses menuju derajat kewaliannya yang tinggi, beliau bertemu Sunan Bonang. Raden Sahid merebut tongkat Sunan Bonang serta mengakibatkan waliyullah itu jatuh tersengkur serta menangis, dengan air mata yang mengucur deras. Karena direbut tongkat serta dijatuhkan oleh oleh Raden Sahid, yang membuat Sunan Bonang berurai air mata? Bukan. Tapi karena ada sebatang rumput liar yang secara tidak sengaja tercabut tangannya, serta membuatnya tidak kuat menahan tangis. Karena dengan demikian, Sunan Bonang merasa telah memutus nyawa sesama makhluk hidup.
            Dua ilustrasi sederhana yang penulis kemukakan, bisa menjadi contoh yang jelas tentang bagaimana para sufi, mampu mengembangkan hubungan partisipatif serta dialogis dengan sesama makhluk Allah. Dengan alam dan segenap penghuninya seperti hewan serta tumbuh-tumbuhan. Alam bukanlah realitas fisik semata tanpa subtansi ruhani.  Implikasi dari pandangan reduksionistik tentang alam,  adalah adanya kedaulatan manusia yang penuh, untuk menjadikan alam sebagai objek eksploitasi serta selalu berada dalam kekuatan cengkraman sang penakluk yang rakus serta penuh tipu muslihat.
             Akibat eksploitasi terhadap alam, alam membayang-bayangi kehidupan manusia dengan berbagai tragedi yang mengerikan. Karena sifat manusia yang eksploitatif, akhirnya alam membalas tindakan semena-mena dari manusia dengan bahasanya sendiri. Menipisnya lapisan ozon, suhu bumi yang kian panas dalam wujud global-warming, naiknya permukaan air laut, banjir sebagai fenomena global karena semakin menipisnya areal hutan di seluruh dunia serta semakin berkurangnya daerah resapan air,  bencana tsunami dan lain-lain, adalah rangkaian berbagai tragedi  yang membayang-bayangi kehidupan umat manusia di perjalanan awal abad ke-21 ini. Di tanah air, belum lagi ingatan pupus dari tragedi Tsunami Aceh tahun 2004, seluruh elemen bangsa disibukkan oleh tragedi lumpur Lapindo. Sesuatu yang tidak lebih lebih kecil dari peristiwa meledaknya reaktor nuklir Chernobyl di Rusia (1986) atau tragedi Bhopal di India (2004). Belum rampung dengan tragedi kemanusiaan  Lapindo, yang terakhir, kita disibukkan oleh bencana Wasior di Papua, Tsunami Mentawai serta ledakan Merapi yang menjadi letusan gunung berapi paling besar dalam jangka waktu 100 tahun ini.
Terkait dengan adanya berbagai bencana, kini diperlukan sebuah cara pandang dalam membangun hubungan antara manusia dengan Tuhan, serta refleksinya terkait hubungan manusia dengan manusia serta manusia dengan alam lingkungannya. Diperlukan sebuah kesadaran ekologis yang baru menyangkut hubungan manusia dengan alam, seperti yang selama ini dipelopori oleh para enviromentalis (pencinta lingkungan). Mereka adalah orang-orang yang berani berontak terhadap kerusakan lingkungan hidup oleh daya-daya teknologi yang menempatkan manusia sebagai penguasa tunggal yang merasa berhak untuk menghitam-putihkan jagat raya tempat mereka hidup.
Para pencinta lingkungan hidup mempertanyakan nilai-nilai aksiologi humanisme dengan bekal pemahaman mengenai keseimbangan lingkungan serta kesaling-terkaitan mata rantai biologis beragam jenis makhluk hidup di luar manusia. Fundamen-fundamen etis yang menjadikan manusia sebagai tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mesti diperluas cakupannya untuk semua jenis makhluk hidup secara lebih total serta menyeluruh. James Lovenstock, seorang pakar kimia atmosfera, mengajukan Hipotesa Gaia yang berpandangan bahwa bumi dengan selubung gas yang manaunginya, tertata dalam sebuah kesatuan yang membentuk organisme raksasa.[30] Jadi, bumi dan beragam penghuninya bersama selubung  gas  yang memayunginya, bukan merupakan bagian yang terpisah satu sama lain. Tapi merupakan kesatuan yang utuh, yang satu berkaitan erat dengan yang lain.
Jika pandangan seperti di atas dipahami  serta dihayati, tentu pandangan tentang alam sebagai objek eksploitasi seperti dalam pandangan para saintis modern, akan bisa ditolak. Berikut ini akan dikemukakan dua pandangan yang sangat kontradiktif dalam memandang hubungan manusia dengan alam. Pertama, berdasarkan pandangan kaum naturalis. Kedua, berdasarkan sudut pandang TQN Suryalaya.

1.      Sudut Pandang Kaum Naturalis
Di antara para pemikir Abad Pencerahan Eropa, yang paling menonjol pandangannya terkait hubungan eksploitatif dengan alam, adalah seorang bangsawan Inggris, Francis Bacon (1561-1626). Dia telah berjasa merombak cara berpikir abad pertengahan Eropa yang masih dikuasai pandangan Aristotelianisme. Bacon ini adalah pelopor metode eksperimental berbasis pada scientific-method (metode ilmiah) yang dapat dikatakan sebagai pembunuh berdarah dingin, ketika mesti berhadapan dengan alam. Sejak Bacon ini, tujuan ilmu yang sedari masa masa kuno, adalah mencari sumber-sumber mata air kearifan terkait hubungan manusia dengan tatanan alam di sekitarnya, telah berubah menjadi pengetahuan yang dapat digunakan untuk menguasai, mengeksploitasi dan mengendalikan alam.
Hal paling menonjol dari Bacon memang pandangannya yang sangat hegemonik terhadap alam. Ilmu pengetahuan bukanlah untuk ilmu dan pemenuhan kepuasan intelektual, tetapi ilmu haruslah menghasilkan sesuatu untuk mempertinggi kemampuan dan kekuasaan manusia. Ungkapannya yang terkenal adalah: “Knowledge is a power!“ (Pengetahuan adalah kekuasaan!). Dengan pengetahuan yang luas, berarti kekuasaan yang didapat akan semakin kuat dan besar. Istilah-istilah yang dipergunakan oleh Bacon dalam mengambangkan metode empiris barunya, bukan hanya penuh semangat, tapi bahkan sangat kejam. Menurut pandangan Bacon seperti dalam kutipan Capra, alam harus “diburu dalam pengembaraanya“, “diikat dalam pelayanan“, dan dijadikan “budak“. Alam harus “dimasukkan ke dalam kerangkeng“ serta tujuan dari kaum ilmuwan adalah “mengambil rahasia alam secara paksa“.[31] Menurut pandangan Bacon ini, alam hanya dipandang sebagai gejala-gejala fisis tanpa subtansi ruhani, dan makanya bisa diperlakukan untuk melayani nafsu manusia secara semena-mena.
Pada perkembangan pandangan selanjutnya, ilmuwan-ilmuwan sekelas Laplace, D’Alembert, Thomas Hobbes serta para pengikut fanatiknya yang datang kemudian, memberikan penjelasan atas gejala alam, sepenuhnya naturalis serta determinis. Pandangan inilah yang kemudian dikukuhkan oleh Positivisme Comte serta para pendukung gerakan Positivisme  seperti Ayer, Carnap, dan lain-lain.  Mereka menangkap gejala-gejala yang ada itu hanya pada aspek dunia fisik yang kongkret. Maka alampun bagi mereka serta para pengikutnya yang masih tetap berdiri ajeg sampai sekarang, tidak lebih dari benda mati tanpa subtansi kehidupan  di luar aspek yang bisa diobservasi secara ilmiah.
     
2.      Sudut Pandang TQN Suryalaya
Islam sebagai sebuah sistem keyakinan, memiliki sudut pandang tersendiri tentang alam yang tentu sangat berbeda dengan pandangan kaum naturalis. Kalau kaum naturalis memandang alam semata-mata sebagai gejala fisik,  maka Islam memandang alam menjadi bagian dari keseluruhan ciptaan Allah. Memiliki subtansi fisik serta subtansi ruhani sekaligus, yang membuatnya memiliki kesadaran yang sama dengan manusia untuk selalu beribadah dengan cara bertasbih kepada-Nya seperti tercantum dalam al-Qur’an surat al-Hasyr  ayat 24: Bertasbih kepada-Nya, apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah yang Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana.[32]
Berdasarkan sudut pandang TQN Suryalaya, timbulnya berbagai macam kecemasan, ketakutan serta kekhawatiran karena banyaknya bencana dalam kehidupan manusia, justru diakibatkan ulah manusia sendiri. Manusia yang tidak mampu mengembangkan hubungan partisipatif serta dialogis dengan sesama serta alam lingkungannya yang merupakan nikmat yang besar dari Allah SWT. Di dalam surat An-Nahli ayat 112: Tuhan yang Maha Esa telah memberikan beberapa contoh, yakni tempat maupun kampung, desa maupun negara yang dahulunya aman dan tentram, gemah ripah loh jinawi. Namun penduduknya/penghuninya mengingkari nikmat-nikmat Allah, maka lalu berkecamuklah bencana kelaparan, penderitaan dan ketakutan yang diakibatkan sikap dan perbuatan mereka sendiri.[33]   Ayat al-Qur’an yang dikutip di dalam TANBIH ini mengokohkan basis pandangan bahwa segala bencana yang timbul, diakibatkan manusia mengingkari nikmat-nikmat Allah serta berlaku semena-mena terhadap alam.
Alam memiliki subtansi zat hidup yang membuatnya sama dengan manusia untuk berbakti serta beribadah kepada-Nya, mensucikan-Nya. Maka alam tidak bisa semata-mata,   reservoar bahan baku serta tempat pembuangan yang tidak diperlukan seperti ditulis Geraudy terkait sikap manusia modern terhadap lingkungan sekitarnya.[34] Alam dengan segala cakupan keluasannya tidak sebagaimana yang dipandang oleh orang-orang seperti Bacon yang mesti ditindas secara kejam, dieksploitasi serta dikuasai tanpa memikirkan kelangsungan dari nasib serta eksistensinya sendiri.  Tetapi alam mesti diperlakukan dalam hubungan partisipatif timbal-balik sekaligus sebagai bagian yang memberikan kebahagiaan terhadap manusia dan cara beradanya di dunia. Dari titik ini, kita bisa memahami bahwa rentetan bencana yang muncul, sangat mungkin merupakan pembalasan alam, atas izin-Nya, terhadap keangkuhan manusia yang tidak mau memahami posisinya sebagai sesama makhluk Tuhan, yang selalu melaksanakan bakti kepada-Nya.
Penulis merujuk pada ayat Sesungguhnya keadaan-Nya, apabila Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata kepadanya:“Jadilah!“ Maka terjadilah ia.[35] Relevansi dengan ayat tersebut,  bila dikaitkan dengan posisi al-Qur’an sebagai   kalamullah.Berdasarkan visi Syaikh Al-Junaid al-Baghdadi Al-Qur’an menggambarkan hakikat kalamullah juga sebagai penjabaran kun fayakun.[36] Dengan demikian, firman itu ada dua. Apa yang ada di dalam mushaf al-Qur’an serta  derivasi dari kata itu kun fayakun bagi segenap makhluk yang ada karena semuanya firman Allah juga. Betapa jernih serta mendasarnya pandangan Syaikh Al-Junaid al-Baghdadi, Mursyid ke-13 dalam rangkaian silsilah TQN Suryalaya, sekaligus peletak tonggak pandangan ahli makrifat Madzhab Sunni. Dengan berdasarkan pandangan Syaikh Al-Junaid al-Baghdadi, menjadi sangat cemerlang titik pijak kaum sufi menyangkut hubungan responsifnya dengan alam. Segala yang ada di jagat raya ini, terjadi karena kata kun fayakun.
Ketajaman mata batin seorang sufi, akan mampu menangkap bahwa di balik segala fenomena alam yang ada, ada aspek noumena atau semacam visi batin terkait aspek-aspek empiris: pada pohon, pada gunung, pada bumi yang terhampar luas, pada lautan serta bentangan langit yang berwarna biru, pada bintang gemintang yang bertaburan di angkasa raya, pada apapun yang berada di antara langit dengan bumi, ada kekuasaan Allah. Allahlah  pemberi zat hidup pada apa yang ada di dalam diri kita serta pada alam yang terbentang luas di hadapan kita. Menghayati alam, dengan berdasarkan sudut pandang Syaikh Junaid, sebenarnya jalan untuk menjadi saksi akan adanya Sang Hakikat, dibalik segala fenomena yang ada.
Capaian ilmu pengetahuan modern yang berhasil menyingkap berbagai rahasia alam semesta lewat ilmu fisika, kalau didekati dari sudut pandang para ahli makrifat akan memberi perspektif yang lebih dalam, luas serta mendasar lagi tentang daya-daya hidup   pada segala apapun yang kita lihat. Kekuasaan Allah dalam wujud jagat raya yang masih dipandang mekanis serta sederhana dalam pandangan Newton seperti dengan  gaya gravitasinya yang masih berbicara pada ukuran ruang dan waktu di bumi (terestrial). Kemudian mendapatkan perluasan dengan konsepsi ruang-waktu relatif serta adanya adanya gaya gravitasi benda-benda angkasa luar dalam keadaan tarik-menarik sehingga membentuk gerakan dinamis semesta seperti dalam pandangan fisika Einstein (cellestial).[37] Bahkan dilengkapi dengan pandangan  dari Stephen Hawking tentang jagat raya yang maha luas.   Semua terjadi karena kun fayakun Allah, sebagaimana yang Syaikh Junaid maksudkan. Daya-daya alam yang dahsyat itu tidak terukur, bisa tercermin di dalam hati terkait besarnya kekuasaan Allah yang bisa kita saksikan. Jika visi batin disingkap, hilang segala realitas empiris yang tampak, karena yang ada hanya Zat Tunggal semata. Bahkan, terkait dengan visi batin, pandangan Sultan Aulia, Syaikh Abd al-Qodir al-Jailany, lebih terang menyatakan bahwa melihat kepada Allah ada dua macam: melihat Jamaliah Allah di akhirat tanpa melalui cermin hati. Kedua, melihat sifat Allah di muka bumi dengan perantaraan cermin hati dengan penglihatan mata hati, dan melaluinya, akan terlihat pantulan cahaya keindahan Allah.[38] Firman Allah: ”Hatinya tidak mendustakan apa yang dilihatnya.“ [39]
Lewat sudut pandang TQN Suryalaya yang mendasarkan TANBIH pada kedalaman makna ayat al-Qur’an, kalau kemudian banyak terjadi bencana, bukankah Allah semata yang menggerakkan daya-daya alam itu, agar manusia kembali ingat serta mensyukuri segala nikmat-Nya, termasuk bagaimana menghayati hubungan mesranya dengan alam raya, sebagai pengejewantahan rasa cinta serta makrifat kepada-Nya. Terkait dengan upaya-upaya membangun hubungan yang responsif dengan alam, baik pada masa Abah Sepuh maupun pada masa Abah Anom, TQN  Suryalaya telah melakukan berbagai upaya penataan lingkungan melalui upaya membangun bendungan serta gerakan penghijauan bumi. Tentu ini berdasarkan pada sebuah pandangan falsafi yang mencerminkan bahwa makrifat terhadap Pencipta, mesti dibarengi dengan upaya-upaya meningkatkan  kualitas kehidupan sesama makhluk-Nya, atau meresonansikan cahaya Haram al-Qudsiyah dalam kehidupan nyata di dunia. Dan ini bisa menjadi sebuah model, bagaimana sikap para sufi yang dipelopori oleh Mursyid, bersikap responsif terhadap terhadap alam dan membangun hubungan dialogis antara keduanya. 
            Terkait mengembangkan model rasa kasih sayang terhadap alam serta sekaligus juga sebagai ikhtiar meningkatkan tarap hidup masyarakat, Syaikh Abdullah Mubarak ibn Nur Muhammad atau Abah Sepuh menjadi pelopor pembangunan sebuah bendungan. Bendungan itu diberinya nama Nur Muhammad serta bisa mengairi areal pesawahan seluas 100 hektar. Pada masa kepemimpinan Abah Anom, upaya-upaya pelestarian lingkungan berlanjut karena pada tahun 1980-an, beliau memelopori penanaman pohon cengkeh serta lingkungan di sekitar Suryalaya, menjadi areal perkebunan cengkeh. Namun memang sayang, terkait perdagangan komoditas cengkeh ini, kemudian terjadi monopoli oleh Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC) pada awal tahun 1990-an. Harga cengkeh di pasaran kemudian anjlok. KUD yang tadinya menjadi saluran penjualan cengkeh petani, malah menjadi agen BPPC. Yang jelas dirugikan dalam hal ini adalah kelompok petani karena BPPC  menekan harga dengan pembelian sangat murah. Bahkan, banyak petani yang diminta menebang pohon cengkeh yang tentu sangat merugikan mereka, termasuk para petani cengkeh di Suryalaya. Sigap dengan kondisi tersebut, Abah Anom kemudian mengambil garis komando agar pohon-pohon cengkeh itu diganti saja dengan pohon jati sehingga pada awal tahun 1990-an, berhasil di tanam 2000 pohon jati serta berhasil terawat sampai sekarang.[40]  
Kepeloporan Abah Anom dalam bidang lingkungan hidup ini, memberi inspirasi bagi Yayasan Serta Bhakti Pondok Pesantren Suryalaya Korwil Jawa Barat, untuk membuat Program Sedekah Pohon. Pada tahun 2008 yang baru berlalu, YSB Korwil Jawa Barat berhasil menanam 121.000 pohon di daerah Tasikmalaya Selatan, Ciamis Utara, Garut Banyuresmi, Ciamis, Banjar, Bandung Barat, Bandung Timur, Tasikmalaya, Leles Garut, Malangbong Garut.[41] Bahkan rencana tahun-tahun ke depan adalah menanam jutaan pohon untuk melakukan garakan penghijauan di sekitar wilayah Priangan. Terkait dengan isu kiamat 2012, bagi penulis, gerakan penanaman pohon yang dilakukan ikhwan-ikhwan Suryalaya Korwil Jabar ini, seakan mengokohkan Hadits Nabi: Andaikan dunia besok akan kiamat, dan kalian masih sempat menanam sebiji kurma, maka tanamlah (siapa tahu) besok akan berbuah.[42] Masalah jenis pohonnya disesuaikan dengan kebutuhan lokal. Pohon kurma di Arab serta bisa pohon jati atau jabon (Anthosephalus Cadamba) di Tatar Pasundan.

Penutup
Prasyarat untuk melakukan sebuah rekonstruksi bagi masa depan kemanusiaan, dikembalikan pada hubungan tiga jangkar: manusia, Tuhan dan alam. Jika manusia menempati posisi strategis sebagai khalifafatullah fi al-ardh, maka masa depannya  beserta alam semesta tempatnya hidup, adalah menjadi tanggung-jawabnya untuk membuat dimensi-dimensi hidup lebih berdasar pada pilihan-pilihan etis. Pilihan-pilihan etis yang diambil oleh manusia, akan sangat berpengaruh terhadap cara beradanya di dunia serta terhadap terjaganya mata rantai kehidupan, dari kepunahan yang bersifat cepat dan segera. Kehancuran alam semesta dalam bentuk Kiamat Kubra, adalah sesuatu yang tidak akan terhindarkan karena kejadian itu sebagai tanda tidak abadinya segala sesuatu yang berada dalam kehidupan ini. Sedang kapan kejadiannya, hanya ada dalam rahasia-Nya semata. Tetapi, sesuatu yang berporos pada dimensi imani itu, tidak mesti membuat optimisme untuk membangun tatanan hidup yang lebih beradab serta bermartabat, menjadi kendur serta kehilangan energi sejarah.
Kehidupan manusia serta bagaimana cara beradanya di dunia, kini selalu berada dalam ancaman setiap saat baik menyangkut relasi antara sesama manusia, pun dalam hubungan pan-cosmic (lintas alam) dengan semesta tempat kehidupannya bernaung. Kehidupan manusia kini, seperti gambaran dalam novel Frankenstein karya Mary Shelley‘s[43], serta menjadi bahasa film yang menggetarkan serta menggugah pada tahun 1994 oleh sutradara Kenneth Branagh: manusia memberi nyawa bagi jasad yang telah berada dalam kubur. Lalau dia bangkitkan dan memberinya napas kehidupan. Tapi ketika monster itu hidup, malah mengancam eksistensi kehidupannya. Itulah gambaran dari manusia modern yang telah menciptakan monster kemajuan yang akhirnya mengancam eksistensi kehidupan antar sesama. Juga mengancam eksistensi seluruh alam semesta.
  Keteladanan-keteladanan yang telah Abah Anom lakukan selaku Mursyid, telah menjadi sebuah prototipe untuk memberi diagnosa sekaligus terapi terhadap problem manusia modern. Apa yang beliau lakukan adalah sebuah konsistensi untuk mengamalkan TANBIH, penerjemahan TANBIH lewat INABAH demi rekonstruksi peradaban umat manusia,   termasuk bagaimana membangun hubungan harmonis dengan alam  lewat pandangan para pemuka dari Mursyid TQN seperti Syaikh Al-Junaid al-Baghdadi. Diagnosa serta terapi yang khas sufistik dengan dzikir sebagai poros inti dimensi kesadaran insani, telah menempatkan gerakan Abah Anom ini, memiliki makna yang sangat signifikan, di tengah kompleknya permasalahan manusia modern dewasa ini. Di tengah pandangan manusia modern yang telah  menempatkan kedaulatan manusia, menjadi begitu superior di atas nilai-nilai yang lain, termasuk dengan mengesampingkan dimensi-dimensi ruhaniah. Di tangan Abah Anom, sufisme menjadi begitu kontekstual untuk memberi jawaban terhadap problem keterasingan serta kegelisahan-kegelisahan manusia modern yang selalu dibayang-bayangi oleh monster Franskenstein yang mengerikan.
Real, apa yang dilakukan oleh Abah Anom selaku penerus tradisi kaum sufi serta pewaris geneologi spiritual dua tarekat besar: Qodiriyyah serta Naqsyabandiyyah untuk memberi jawaban atas tantangan-tantangan zamannya. Apa yang Abah Anom lakukan, adalah membangkitkan kembali optimisme dari dimensi-dimensi hidup manusiawi yang berada di ambang kehancuran menuju pada tatanan masa depan kemanusiaan yang lebih bergairah, baik dalam membangun hubungan dengan sesama manusia maupun dalam menghayati hubungan yang lebih  dengan lingkungan alam sekitar. Terkait langkah-langkah besar serta mendasar dari beliau, penulis memiliki beberapa catatan.
Pertama, lebih memiliki signifikansi serta makna yang lebih luas, jika perjuangan beliau ditempatkan dalam skala perjuangan kemanusiaan.  Apa yang menjadi rintisan gerakan tasawuf TQN Suryalaya serta mengalami perkembangan yang pesat di tangan Abah Anom melalui gerakan terapi ruhani, bagi penulis, laksana sapuan warna-warna yang sangat cerah dalam sebuah lukisan kehidupan manusia kontemporer yang tengah berada dalam pusaran krisis dalam segala segi kehidupannya. Pandangan tasawuf khususnya TQN Suryalaya memberikan sebuah cara pandang yang segar terhadap kemanusiaan, baik terkait kemesraan hubungannya dengan Allah,  dengan sesama manusia maupun dengan alam sekitar. World-view materialisme   memiliki keterbatasan untuk dapat menangkap dimensi hidup secara lebih utuh, terkait kesatuan jismani dengan ruhani. Titik pangkal krisis semesta sekarang ini, berporos dari cara pandang materialis yang tunggal, yang membuat ukuran segala hal pada aspek kebendaan semata, serta di luar segala yang bisa dicandra dengan panca indra adalah sesuatu yang tertolak.
Dengan tanpa mengabaikan keberadaan tarekat-tarekat yang lain, TQN Suryalaya tetap konsisten untuk membuat sebuah gerakan zuhud ruhani demi berlangsungnya kehidupan manusiwi yang lebih beradab. Pangkalnya adalah akrab serta mesranya hubungan dengan Allah serta cerminnya adalah tingginya kualitas hubungan antara sesama manusia serta manusia dengan alam lingkungan di sekelilingnya. Dari titik inilah, TQN Suryalaya sebagai pengamal tasawuf, telah memberikan sumbangannya yang sangat berharga bagi masa depan kemanusiaan. Bagi dimensi kehidupan manusia serta alam yang dilihatnya tidak secara parsial, tetapi  lebih lengkap baik secara subtansi jismani maupun ruhani; sesuatu yang tertolak berdasarkan pandangan dunia materialis.
Kedua,  TQN Suryalaya dengan pandangan dunia spiritual sebagai basis ontologisnya, ialah suatu jalan untuk membukakan diri pada tujuan hidup tertinggi. Tujuan agung itu seperti terkandung dalam munajat yang dibaca selesai melaksanakan sholat: ilahii anta maqsudii, waridloka mathluubii, a’thinii mahabbataka wama’rifataka (Yan Tunaku! Hanya Engkaulah yang kumaksud dan keridloan-Mulah yang hamba cari. Berilah hamba kemampuan untuk mencintai-Mu dan makrifat kepada-Mu).[44] Tujuan tertinggi berdasarkan sudut pandang sufisme ini, adalah taqorrub terhadap Allah S.W.T., upaya sungguh-sunggguh untuk mencapai mardlotillah, selalu berupaya meningkatkan kemahabahan serta kemakrifatan terhadap-Nya.
Eksistensi TQN yang ditopang keberadaan Pondok Pesantren yang didirikan 10 September 1905, ketika dibagian dunia yang lain, materialisme sedang mengalami pembongkaran dari berbagai asumsinya. Dunia pada abad ke-20, mengalami sebuah titik balik. Pandangan dunia materialisme yang berjaya pada abad ke-17, 18 serta 19, dimentahkan oleh pandangan-pandangan serta penemuan-penemuan dalam bidang sains. Berbagai penemuan yang menjadi bintang keajaiban pada abad ke-20 itu, justru mementahkan asumsi-asumsi materialisme. Fisika yang menjadi fundamen terpenting pandangan dunia material, malah membawa para fisikawan ke arah kesadaran baru tentang adanya realitas spiritual dibalik dari dunia material ini. The Tao of Physics dari Fritjop Capra  atau  Wholeness and Implicate Order David Bohm sampai pada sebuah kesimpulan yang sama: dibalik kenyataan dunia material ini, ada realitas spiritual seperti yang bisa dirasakan langsung oleh para mistikus   dalam tradisi-tradisi agama di belahan dunia Timur.[45]
Paralel dengan pembahasan tasawuf, kalau para pendukung garis materialisme telah membatasi cara pandang  serta tujuan tertinggi hidupnya pada aspek kebendaaan, maka para sufi malah berupaya menjangkaukan pandangan serta tujuan tertinggi dari kehidupannya, pada Sang Mutlak melalui taqorrub, usaha menggapai mardlotillah serta mempertinggi rasa cinta serta makrifat kepada-Nya. Yang mau saya tulis adalah, materialisme sebagai sebuah pandangan dunia, ternyata tidak selamanya berdiri dengan ajeg. Basis ontologis spiritualisme seperti yang ada dalam keyakinan agama-agama serta secara spesifik, aspek-aspek sufistik seperti yang ada dalam penghayatan kaum sufi, malah berhasil bertahan melintasi ruang dan waktu.
Untuk kawasan Nusantara serta Asia Tenggara pada umumnya, TQN telah memberi warna sangat signifikan bagi ajegnya pandangan dunia spiritual pada abad ke-20 sampai awal abad ke-21 sekarang, justru pada saat materialisme di negara-negara Barat, mengalami masa senjakala yang redup. Sangat mungkin untuk mendialogkan cita-cita Islam yang salah satu warisan pentingnya ada dalam ajaran kaum sufi seperti yang dipraktekkan TQN dengan petualangan kultural masyarakat Barat yang sedang berlangsung sekarang.  Sebuah semangat dialog untuk sama-sama belajar agar masa teknik serta era industri global,  lebih jinak serta manusiawi.
Ketiga, segenap ikhwan TQN selayaknya menjadikan apa yang Abah Anom lakukan, sebagai sebuah model perjuangan. Konsistensi untuk mengamalkan TANBIH dengan contoh amal praktis yang nyata seperti lewat INABAH serta gerakan penataan lingkungan, adalah sebuah teladan bagaimana menjadikan sufisme sebagai terapi kongkret bagi wabah penyakit modern. Penyakit manusia modern yang sangat tampak menonjol itu adalah anak-anak muda yang menjadi korban keganasan narkotika. Sementara penyakit manusia modern lain, sangat kompleks seperti problem keterasingan, global warming, masalah carut-marutnya dunia kerja, masalah perdagangan manusia (trafficking) dan berbagai anomali sosial lainnya. Berarti, sangat luas lahan garapan bagi segenap ikhwan untuk sama-sama berjuang dengan artikulasi serta strategi garapan yang lebih beragam. KH. Zezen Zaenal Abidin Bazul Asyhab merembeskan nilai-nilai TQN melalui gerakan IQOMAH untuk melaksanakan rukun Islam dengan sungguh-sungguh. Kini telah menjadi Program Unggulan MUI Pusat. YSB Ponpes Suryalaya Korwil Jawa Barat membuat gerakan menanam ratusan ribu pohon yang telah terealisasi. Apa yang dilakukan TQN Korwil DKI Jakarta yang dikomandani   KH. Wahfiuddin, M.B.A. Pak Wahfi beserta team, adalah kelompok yang sangat sigap terlibat memberi bantuan terhadap korban-korban bencana alam seperti saat Tsunami di Aceh serta meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta.  Semua berporos pada keteladanan Mursyid dengan strategi-strategi serta gerakan yang jitu serta handal.
Keempat, terkait dengan proyeksi besar tasawuf dan masa depan kemanusiaan, selayaknya menjadikan dunia pendidikan sebagai pilarnya yang utama.   Gagasan untuk segera mendirikan Universitas Latifah Mubarokiyyah (ULAMA),  diharapkan menjadi sebuah rintisan dalam pengertian yang seluas-luasnya untuk menjadikan ruh sufisme yang berporos pada metode dzikrullah untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat kontemporer. Yang diperlukan oleh dunia kita hari ini, adalah sebuah lembaga pendidikan yang mampu memberikan sumbangan paradigma yang lebih holistik terkait kesadaran tentang keserba-menyeluruhan serta kesatu-paduan realitas antara manusia, Tuhan dan alam. Sufisme sebagai sebuah gerakan kesadaran spiritual akan melahirkan energi serta inspirasi yang tidak akan pernah kering jika terus berdialektika dengan kebutuhan-kebutuhan kongkret umat manusia. Maka pengembangan kurikulum ULAMA, mesti berdasar pada sebuah desain untuk mengintegrasikan tasawuf  ala TQN Suryalaya dengan diktum: ILMU AMALIAH AMAL ILMIAH dalam cakupan ranah keilmuan yang seluas-luasnya seperti pertanian, kesehatan masyarakat, lingkungan hidup, biologi molekuler, fisika baik teoritis maupun eksperimen, etika terapan, rekayasa genetika dan lain sebagainya.
Jika TQN Suryalaya lewat ULAMA mampu mengintegrasikan nilai-nilai kearifan para sufi dengan perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir yang sangat kaya,   insya Allah, apa yang dicita-citakan oleh Abah Anom untuk menjadikan Suryalaya sebagai Center of Excellent bagi kajian tasawuf di Asia, bahkan dunia, akan tercapai. Dan sumbangannya, tentu sangatlah besar dan nyata bagi rekonstruksi masa depan kemanusiaan, menuju tatanan kehidupan yang lebih manusiawi, beradab serta bermartabat.[]


[1] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai, LP3ES Jakarta, hal. 141.
[2] H.M. Zurkani Yahya, Asal-Usul Thoriqot Qodiriyyah Naqsyabandiyyah dan Perkembangannya di dalam Harun Nasution (Editor), Thoriqot Qodiriyyah Naqsyabandiyyah, Sejarah, Asal-Usul dan Perkembangannya Kenang-Kenangan Ulang Tahun Pondok Pesantren Suryalaya ke-85 (1905-1990), hal. 58.
[3] Zamaksyari Dhofier, Loc. Cit.
[4]Kisah pengembaraan ribuan burung kosmis di dalam Manthiq ath-Thayr, tiada lain dari gambaran perjalanan ruhani para penempuh jalan suluk, untuk sampai pada dimensi kesatuan mistik dengan Tuhan. Lewat penerbangan Simorgh (Si=30, dan Morgh=burung di dalam bahasa Persia) serta melewati berbagai macam rintangan, hanya 30 burunglah akhirnya sampai pada puncak pencarian diri lewat pantulan bayangan di dalam cermin alegoris, karena matahari kebesaran-Nya adalah sebuah cermin.   Dia yang melihat dirinya sendiri akan melihat jiwa dan tubuhnya, dan akan melihatnya dengan sempurna. Karena kalian datang sebanyak 30 ekor, si-morgh, maka kalian akan melihat 30 ekor di dalam cermin. Begitupun kalau kalau kalian datang dengan 40 ekor atau lima puluh ekor, akan kau lihat sama… leburkanlah diri kalian di dalam Aku, dan di dalam Aku kalian akan menemukan diri kalian. Perjalanan Simorgh tiada lain untuk sampai pada tahap kefanaan eksistensial hingga lebur dalam gemerlap cahaya Matahari Hakikat, Sang Simorgh Sejati. Segala bayangan menjadi musnah, menyatu dengan Sang Hakikat. Keragaman hilang, karena yang ada adalah Dia Yang Sejati. Maka kisah Simorgh ini tiada lain dari kisah  amsal-amsal perjalanan ruhani para sufi, untuk mencapai tahap kefanaan di dalam eksistensi kemutlakan-Nya. Untuk lebih lengkap tentang perjalanan Simorgh, silahkan lihat Fariduddin Attar, Manthiq ath-Thayr, terjemahan Hartojo Andangdjaja, Jakarta, Pustaka Jaya, 1983.
[5] Kisah Alexander The Great atau Iskandar Zulkarnaen saat mencari air kehidupan sebagai amsal dari pencarian ilmu hakikat serta makrifat, di Jawa telah mengilhami lahirnya Serat Syekh Malaya yang bercerita tentang perjalanan batin Sunan Kalijaga dalam bimbingan Guru Agung, Nabiyullah Khidir alaihi salaam. Iskandar Zulkarnaen menjadi Sunan Kalijaga dalam perjalanan mencari air kehidupan, serta bertemu dengan Nabi Khidir di pantai. Di tangan Yasadipura, sastrawan Jawa abad ke-18, Serat Syaikh Malaya dari abad ke-16 itu, menjadi kisah alegoris sufi yang baru. Sunan Kalijaga menjadi Bima serta Nabi Khidir menjadi Dewaruci. Kisahnya dimulai saat Bima mencari air suci Prawita Sari atas perintah gurunya, Bagawan Dorna serta mesti dicari di tengah samudera. Bima masuk ke dalam tubuh Dewaruci yang kecil serta mengalami kefanaan hingga muncullah beragam cahaya: hitam, merah, kuning dan putih. Hitam, merah, kuning adalah gambaran dari nafsu lawamah, amarah serta sufiyah yang menjadi penghalang untuk sampai pada Allah, Sang Hakikat. Hanya yang putih saja yang nyata, simbol dari nafsu muthmainnah. Kalau orang berhasil mengedalikan tiga nafsu hingga berkecenderungan pada nafsu muthmainnah, maka dengan sendirinya akan manunggal dengan Yang Maha Kuasa. Setelah keempat warna itu hilang dari penglihatan Bima, maka yang muncul kemudian adalah delapan warna, itulah yang sejatinya warna, Yang Tunggal. Seluruh warna tercermin dalam diri Bima seperti juga makrokosmos (alam) serta mikrokosmos (manusia) yang ternyata tak ada bedanya. Semua berada dalam keserbatunggalan dalam diri Bima. Jika semua warna di dunia hilang musnah maka segala akan mengalir pada kekosongan, kembali pada Dia, Zat Yang Tunggal, menyatu kembali dengan warna sejati. Itulah gambaran alegoris dari perjalanan ruhani Sunan Kalijaga untuk mencapai tahapan makrifat, yang di Jawa, disamarkan dalam lakon wayang carangan Dewaruci. Lihat, pujangga Surakarta, Serat Dewaruci Kidung dari Bentuk Kakawin, Dahara Prize, 1991. Lebih jauh tentang Serat Dewaruci, juga bisa dilihat di Purwadi, Tasawuf Jawa, Narasi, Yogyakarta, 2003 hal. 33-40.
[6] Mengenai tingkatan-tingkatan alam dari Mulki, Malakut, Jabarut, Lahut, lihat Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jailany, Sirr al- Asror, terjemahan KH. Zezen Zainal Abidin Jayadi Bazul Asyhab, Pondok Pesantren Suryalaya, 1996, hal. 45
[7] Ibid. hal. 47. Untuk menggambarkan beratnya perjuangan  sampai Haramil Qudsiyyah atau Alam Lahut Syaikh mengutip Hadits Qudsy: Ya abdi, idza aradta antadkhula harami falaa taltafit ilal mulki, walmalakuti, waljabaruti lianna mulka syaithonul alim walmalakuta syaithanul arif waljabaruta syaithanul waqifi.   (“Hai hamba-Ku, jika engkau berhasrat masuk ke dalam haram-Ku (Haram al-Qudsiyah) maka engkau jangan terpedaya oleh Mulki, Malakut, Jabarut karena Alam Mulki adalah setan bagi orang Alim; alam malakut adalah setan bagi orang Arif, Alam Jabarut, setan bagi orang yang akan masuk ke Alam Qudsiyah.”)     
[8] Lihat Frederick Suppe, The Structure of Scientific Theories, University of Illinois Press, hal. 136.
[9] Lihat Fritjop Capra, Titik Balik Peradaban, Bentang Yogyakarta, 2000, hal. 60.
[10] Untuk lebih jelas dari 3 babak sejarah dari Comte, lihat K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, hal. 72-73.
[11] Ronald C. Pine, Science and Human Prospect, Wadswoth Publishing Company, California, hal. 53.
[12] Roger Geraudy, Promesses de ‘L Islam, terjemahan oleh H.M. Rasyidi, Janji-Janji Islam, PT. Bulan Bintang, Jakarta, hal. 100.
[13] Di dalam TANBIH, kata AGAMA dengan NEGARA ini disebut sampai tujuh kali. Hal ini terkait dengan paham Sunni yang memberi kewajiban untuk mendirikan negara berdasarkan pada perintah Syara’. Masalah bentuk negaranya sendiri, terserah pada pemecahan rasional yang didasarkan pada nalar manusia untuk menentukannya, lihat Juhaya S. Praja, TQN Pondok Pesantren Suryalaya dan Perkembangannya Pada Masa Abah Anom di dalam Harun Nasution, Op. Cit., hal. 139. Oleh karenanya, ketaatan terhadap negara yang didirikan oleh umat Islam adalah wajib. Bacaan lebih jauh: Zafir al-Qasimi, Nizam al-Hukm fi al-Syari’ah wa al-Tarikh, Mesir, Dar al-Nafa’is, 1974.
[14] Roger Geraudy, Loc. Cit.
[15] Lihat: Syaikh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin, Uqud al-Juman (Edisi Bahasa Indonesia), Yayasan Serba Bhakti Pondok Pesantren Suryalaya, hal. 33-35.
[16] Harun Nasution, Op. Cit., hal. 20.
[17]  Wawancara dengan KH. Zaenal Abidin Anwar, 28 Nopember 2010 Jam 09.00-10.00 di rumahnya di lingkunganPondok Pesantren Suryalaya.
[18] Syaikh Ahmad Sohibul Wafa Tajul Arifin, Loc. Cit.
[19] Memang tidak ada catatan sejarah bahwa Syaikh Abdul Karim Banten terlibat langsung di dalam pemberontakan para petani di Banten itu. Namun murid beliau seperti H. Wasyid serta H. Marzuki yang terlihat sangat konfrontatif untuk melakukan perlawanan terhadap kuasa kekuatan kolonial Belanda dalam sebuah peperangan yang terjadi pada tahun 1888. Selanjutnya, lihat Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten: Kondisi, Jalan, Peristiwa dan Kelanjutannya, Sebuah Studi Kasus Tentang Gerakan Sosial di Indonesia, Pustaka Jaya, Jakarta, 1984.
[20] Pada tahun 1889,    Syaikh Tholhah pernah  ditangkap oleh Belanda dengan tuduhan menghina Ratu Belanda. Apa yang dilakukan oleh Syaikh Tholhah ibn Thalabuddin menjadi inspirasi peristiwa Perang Kedongdong pada tahun 1893 di Cirebon serta menjadi sebuah model kepeloporan ulama tarekat dalam memimpin perlawanan terhadap Belanda. Lihat, www.khadijahmosque.org/tasauf/NotaTariqoh dan Pengamalannya.
[21] Harun Nasution
[22] Alwi Shihab, Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, Mizan, Bandung, 2001.
[23] Syaikh Ahmad Sohbul Wafa Tajul Arifin, Ibadah Sebagai Metode Pembinaan Korban Penyalahgunaan Narkotika dan Kenakalan Remaja, Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya, 1985.
[24] Aisyah Muhammad, Pengembangan Peran TQN di Luar Negeri; Pengalaman Malaysia, Makalah pada Seminar Tasawuf Internasional dalam rangka Milad Pondok Pesantren Suryalaya ke-105, di Pondok Pesantren Suryalaya, 4 Oktober 2010.
[25] Wittgenstein, Tractatus Logico Philosophicus, Routledge & Kegan Paul, London, 1981.
[26] Terkait dengan pemikiran Syed Neguib Al-Attas tentang peradaban, sangat terlihat di dalam pandangan-pendangannya mengenai filsafat pendidikan. Pendidikan adalah “penyemaian adab dalam dalam diri seseorang” yang disebutnya dengan istilah ta’dib. Lewat ta’dib, pendidikan tidak diproyeksikan hanya untuk menghasilkan pakar, melainkan proses yang akan melahirkan individu yang baik yang akan mengusai pelbagai bidang kajian secara terpadu serta merefleksikan pandangan hidup Islami. Di dalam ta’dib sudah terkandung unsur-unsur ilmu (‘ilm), pengajaran (ta’lim) serta penyemaian sifat-sifat yang baik (tarbiyah). Sangat jelas bahwa dalam konsep pendidikan al-Attas, sangat menekankan pengembangan karakter individu seperti dalam pernyataannya: “Ketika menyatakan bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah melahirkan manusia yang baik, kami tidak bermaksud untuk tidak melahirkan masyarakat yang baik, sebab masyarakat terdiri dari individu, melahirkan seseorang yang baik akan melahirkan masyarakat yang baik. Pendidikan adalah bagian penting masyarakat”. Lihat Syed Muhammad Neguib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1972, hal. 128.
[27] Alwi Shihab, Op. Cit., hal. 227
[28] Syaikh Ahmad Sohibul Wafa Tajul Arifin, Uqud al-Juman, Loc. Cit.
[29] Harun Nasution, Loc. Cit.
[30]Armahedi Mahzar, Integralisme, Sebuah Rekonstruksi Filsafat Islam, Pustaka, Bandung, 1983, hal. 125.
[31]Lihat, Fritjop Capra, Op. Cit., hal. 55.
[32]  QS. al-Hasyr ayat 24.
[33]  Syaikh Ahmad Sohibul Wafa Tajul Arifin, Loc. Cit.
[34] Roger Geraudy, Loc. Cit.
[35] QS. Yaasiin ayat 82.
[36] Nursommad Kamba, Ilmu Makrifat: Prinsip-prinsip Epistemologi dan Sufisme, Makalah Seminar Tasawuf Internasional dalam rangka Milad Pondok Pesantren Suryalaya ke-105 di Pondok Pesantren Suryalaya, 4 Oktober 2010.
[37] Lebih jauh tentang temuan-temuan Einstein yang melampui capaian pandangan Newton, bisa dibaca dalam Ronald C. Pine, Op. Cit., hal. 208. Sebagai sebuah penemuan atas berbagai fenomena alam, bagi penulis, ilmu fisika bisa menguatkan sendi-sendi makrifat. Walaupun tentu saja bahwa karakteristik dari temuan sains itu, bersifat sangat sementara dan bisa tergantikan oleh teori-teori baru yang lebih kuat dan hanya merupakan salah satu cara pandang terhadap realitas. Saat memberi apreasiasi terhadap berbagai fenomena alam, para penempuh jalan spiritual tidak akan berbicara hanya pada aspek fisika, tanpa menghubungkannya dengan dimensi metafisis  yang lebih dalam. Bahkan akan melihat dengan mata batinnya bahwa  keragaman fenomena dunia fisis hanyalah itu ‘bayangan’ dari Sang Mutlak. Di dalam kefanaan, realitas dunia fisik itu bahkan sudah hilang, karena yang ada hanya Dia, Zat yang Mutlak. Wallahu a’lamu.
[38]  Syaikh ‘Abd al-Qodir al-Jailany, Op. Cit., hal.  83.
[39]  QS. An-Najmu ayat 11.
[40] Wawancara dengan KH. Zaenal Abidin Anwar, 28 November 2010 Jam 09.00-10.00 di kediamannya, lingkungan Pondok Pesantren Suryalaya.
[41] Surat yang ditandatangani Ketua YSB Pondok Pesantren Suryalaya Korwil Jawa Barat, H. Yusup Suradi, perihal Program Sedekah Pohon kepada Ketua/Pengurus YSB Ponpes Suryalaya Pusat, 26 Nopember 2010.
[42] HR. Bukhari-Muslim.
[43] Baca, novel Mary Shelley’s, Victor Frankenstein, Heinemann, Oxford, 1992.
[44] Syaikh Ahmad Sohibul Wafa Tajul Arifin, Uqud al-Juman, Loc. Cit.
[45] Armahedi Mahzar, Op. Cit., hal. 126.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar