Minggu, 24 November 2013

ILMU MAKRIFAT: Prinsip-prinsip Epistemologi dan Sufisme Al-Junaid al-Baghdadi




Dr. Nursommad Kamba
                          Disampaikan dalam Seminar "Tasawuf Nafas Peradaban Dunia" di IAILM

Pertanyaan dasar yang menjadi fokus utama kajian ini berkisar pada permasalahan apakah sebuah bangunan epistimologi dapat berdiri di luar paradigma dan visi Filsafat terhadap realitas? Atau dengan ungkapan lain, apakah kritik-kritik yang dilancarkan oleh sufisme terhadap prinsip-prinsip epistimologi Filsafat pada umumnya mengindikasikan suatu bangunan epistimologi yang sama sekali berbeda?[1] Sejarah Filsafat merupakan refleksi ‘perjuangan’ manusia mencari kebenaran sejati. Oleh karena itu problematika Filsafat bersifat universal dan terbuka. Tapi di sisi lain, adalah kenyataan bahwa Filsafat lahir dan berkembang di Barat serta cenderung mendominasi -setidaknya dalam pandangan historian- seluruh aktifitas pemikiran manusia sepanjang sejarah. Didasarkan pada kenyataan tersebut, sejumlah kaum intelektual mengklaim Filsafat milik Barat, bahkan sering dihubungkan dengan latar belakang kultural dan geografis. Akibatnya, setiap penanganan bahkan pemecahan suatu problema Filsafat di luar konteks kebudayaan Barat dianggap tidak bernilai. Atau paling-paling hanya kesinambungan supermasi kebudayaan dan superioritas pemikiran Barat. Implikasinya, tidak jarang ditemukan kesimpulan-kesimpulan ilmiah yang terkesan ‘direkayasa’ atau ‘dipaksakan’ untuk disesuaikan dengan kecenderungan tersebut.[2]
Tasawuf Islam adalah ‘korban’ yang paling banyak dirugikan dari kecenderungan intelektual etnosentris semacam itu. Berbagai konsep Tasawuf yang berkaitan dengan masalah-masalah ontologi, epistimologi, psikologi dan sebagainya; tidak mendapat proporsi penanganan semsestinya hanya karena semua ditafsirkan dalam konteks intelektualisme Barat. Pemikiran-pemikiran Ibnu Arabi misalnya, diuraikan hanya dalam batas-batas Panteisme, theosophy, misticism dan kebatinan[3]. Bahkan ada kecenderungan ‘menolak’ pernyataan Ibnu Arabi -umpamanya mengenai inspirasi yang berkembang dalam pemikirannya diilhami oleh wahyu al-Qur'an dan Sunnah. Kondisi ini semakin memburuk ketika sejumlah ulama dan fuqaha ‘picik’ dengan segala sikap puritanisme dan wawasan normatifnya ‘mengklaim’ tasawuf sebagai produk non-Islam, setidaknya jalan yang sesat.[4]
Dalam kontek itulah studi yang mengambil topik Ilmu Makrifat menurut  ini memiliki signifikansinya, terutama dengan melihat posisi Al-Junaid  sebagai tokoh terkemuka, bahkan diakui sebagai pemimpin para sufi (sayyid al-thaifah) serta dapat ‘diterima’ oleh semua kalangan[5]. Lebih dari itu Makrifat merupakan tema sentral dalam tasawuf, yang selain menjelaskan kedudukan syari’at dalam proses pengamalannya juga meletakkan dasar dan kriteria bagi sebuah pengalaman spiritual qur’ani yang akurat, kreatif dan orisinil. Metodologi yang dianut dalam studi ini bersifat ‘terbuka’. Maksudnya, tidak terikat oleh pola pemikiran tertentu, misalnya menggunakan paradigma ‘tasawuf falsafi’ versus ‘sunni’, tasawuf dalam konteks mistisisme atau kebatinan[6]. Gagasan ini ditempuh berdasarkan dua alasan. Pertama, sepanjang pembicaraan menyangkut dunia tasawuf sebagai pengalaman spiritual yang utuh dan integral, praktis tak dapat memisahkan aspek falsafi dengan orientasi sunni (teori-praktek). Dalam pada itu ‘isu’ tasawuf falsafi versus sunni adalah gejala kegagalan intelektual memahami hakekat pengalaman spiritual yang amat mendalam itu. Diskursus yang dikembangkan dalam konteks tersebut hanya mengacu kepada analisis ungkapan-ungkapan, terutama yang berwarna syathahat yang dilontarkan sufi tertentu. Padahal dalam tradisi tasawuf sebuah ungkapan adalah ekspresi pengalaman batin yang tidak mesti berupa perumusan teoritis belaka, tapi bisa saja merupakan ungkapan yang menggambarkan situasi dan kondisi spiritual dan psikologis yang sedang dialami seseorang. Ibarat seniman yang secara spontan menyusun untaian puisi tanpa dimaksudkan sebagai perumusan sikap filosofis atau kerangka teori tertentu. Ia hanya sekedar ekspresi perasaan.[7]
Oleh karena itu - dan hal ini yang menjadi alasan kedua mengapa diperlukan metodologi ‘terbuka’- tasawuf sebagai pengalaman spiritual yang utuh dan integral memerlukan pendekatan dari pelbagai perspektif: filosofis, psikologis, sosiologis dan sebagainya. Dengan mengacu kepada fenomenologi, misalnya kita dapat menafsirkan tasawuf sebagaimana dialami sang sufi sendiri. Praktisnya, kita membiarkan yang bersangkutan menafsirkan pengalamannya tanpa campur tangan dari kita memasukkan dalam suatu pola tertentu.[8] Hal ini sesuai dengan salah satu pernyataan sufi: al-thariq ila Allah bi’adadi anfasi bani Adam (jalan menuju Allalh sebanyak nafasnya keturunan Adam) . Pengalaman spiritual adalah membangun komunikasi yang intim dengan Tuhan. Sudah barang tentu komunikasi itu tunduk kepada ‘kecenderungan’ kedua pihak, hamba-Tuhan. Secara intelektual pendekatan normatif dalam hal ini tidak akan pernah berhasil guna. Bahkan akan menghasilkan konsekwensi-konsekwensi intelektual yang kontradiktif. Klaim sementara ulama misalnya terhadap sufisme sebagai jalan sesat, bid’ah dan tuduhan semacamnya, secara intelektual memerlukan ‘kriteria’ dan ukuran. Tolok ukur tersebut tiada lain penafsiran al-Qur'an/sunnah juga, justeru bukan al-Qur'an dan sunnah itu sendiri. Padahal sufisme, sebagaimana pendekatan lainnya, sebuah upaya implemetasi nilai-nilai Islam dalam bentuk pengalaman spiritual.[9]
Oleh karena tasawuf berorientasi introvertif maka pengamatan luar seringkali terjebak kedalam arus generalisasi deduktif yang pada gilirannya menyalahi ‘ketentuan’ yang mereka tekankan sehubungan dengan kemutlakan menjamin keseimbangan antara aspek syari’ah dan haqiqah, lahir dan batin. Akibatnya, keberatan-keberatan yang diajukan untuk ‘menolak’ tasawuf kemudian menjadi inkonsisten dan tidak proporsional. Tapi gerakan penolakan tasawuf tetap saja menggunakan isu-isu mistisisme, kebatinan dan gnostik untuk menyatakan penetrasi budaya luar kedalam Islam melalui ajaran tasawuf.[10]
, melalui ilmu Makrifat yang menjadi fokus kajian ini lebih awal menekankan pentingnya membangun perjalanan spiritual atau pengalaman sufistik di atas pilar syari’ah. Seperti yang akan disimak dalam formulasi pemikirannya pernyataan tersebut kiranya bukan sekedar klaim apologetik untuk memberikan legitimasi bagi keabsahan pengalaman sufistik melainkan bagian yang inheren dalam menjalin komunikasi yang intim dengan Tuhan. Menurut Al-Junaid  pengalaman spiritual tidak akan pernah murni dan sejati tanpa syari’ah karena wahyu adalah satu-satunya jalan yang dapat menjamin validitas dan obyektifitas pengalaman spiritual.[11] Segenap potensi intelektual manusia amat terbatas untuk memperoleh persepsi yang jelas dan pasti tentang Tuhan yang hendak dikenal dan dicintai. Padahal pengenalan dan cinta adalah prasyarat bagi terjalinnya sebuah komunikasi yang intim. Prasyarat yang menurut Al-Junaid  tak mungkin terpenuhi hanya dengan mengandalkan akal budi. Bahkan akal sendiri tidak memiliki potensi intelektual yang berdaya guna tanpa berinteraksi dengan realitas; baik empiris maupun transendental. Tapi untuk melakukan konstruksi sebuah realitas pada dasarnya mustahil tanpa wahyu Tuhan.
Kiranya menarik untuk mencermati analisis yang diajukan Al-Junaid  untuk membuktikan keterbatasan akal bahkan seluruh potensi intelektual manusia dalam rangka memformulasikan apa yang disebut realitas. Diskursus yang dikembangkan Al-Junaid  dalam kaitan itu seluruhnya bermuatan epistimologi. Kiranya tidak berlebihan jika ilmu Makrifat, sebagaimana diuraikan Al-Junaid  adalah prinsip-prinsip epistimologi tasawuf.
Dengan mengacu kepada pandangan salah seorang gurunya, al-Muhasibi, Al-Junaid  menolak setiap upaya mendifinisikan esensi akal karena statusnya yang transendental. Bagi Al-Junaid  cara yang paling ideal untuk mengetahui hakekat akal adalah dengan mengamati gejala yang ditimbulkan[12], terutama yang berkaitan dengan cara kerja panca indera sehingga betapa pun hasilnya, proses rasionalisasi tetap mengacu kepada dunia empiris dan berwawasan materialistik. Tapi pada saat yang sama karakteristik perenungan rasional itu sendiri bersifat immateril. Implikasinya, setiap fenomena empiris mengandung di dalam dirinya dimensi spiritual. Ini adalah prinsip paling awal yang harus dimiliki jika seseorang hendak membangun persepsi tentang realitas sejati. Menolak dimensi spiritual sama halnya mengingkari dunia empirik itu sendiri dan sebaliknya. Menurut Al-Junaid , terkadang kita terbawa oleh arogansi intelektual untuk menerima keberadaan kita dan alam sekitar sebagai kenyataan yang pasti sementara jika direnungkan lebih seksama, secara struktural realitas tersebut menjadi hampa terutama ketika mempertanyakan objektifitasnya lebih jauh. Setiap aktifitas rasional akan selalu terancam inklinasi skeptis tatkala menganalisis proses rasionalisasi dan intelektualisasi. Sebagaimana gagasan yang dikembangkan al-Ghazali kemudian tentang ‘tipuan mimpi’[13], Al-Junaid  menyatakan bahwa akal sendiri yang meragukan validitas dan objektifitas persepsinya tentang realitas. Bagaimanakah kita dapat mengakui validitas persepsi kita tentang objek-objek pengetahuan sementara selalu ada kemungkinan bahwa persepsi hanya semata-mata rekayasa akal yang tidak mesti mengungkap hakekat objek sebagaimana adanya. Jika demikian halnya maka pengetahuan adalah sebuah kemustahilan selama objek tidak mengungkapkan dirinya; sedangkan tiada entitas yang dapat diterima untuk memenuhi kriteria ini kecuali Tuhan. Oleh karena itu pengetahuan yang murni adalah pengetahuan tentang Tuhan, di mana persepsi kita memungkinkan untuk disesuaikan (bandingkan: teori korespondensi) dengan pengungkapan diri-Nya, yang tentu melalui wahyu.[14]
Dengan demikian, Al-Junaid  menganut monorealitas karena wujud yang pasti adalah mahatunggal dan esa. Segenap entitas lainnya merupakan manifestasi wujud-Nya. Wahyu adalah landasan ontologis bagi setiap entitas tersebut mengingat statusnya sebagai kalamullah. Menurut Al-Junaid  al-Qur’an menggambarkan hakekat kalamullah sebagai penjabaran kun fa yakun. Ini berarti kita hanya dapat membangun persepsi yang akurat tentang realitas eksternal dan objektif berdasarkan kalamullah karena meski tidak berbicara tentang dirinya, objek-objek tersebut setidaknya oleh Mahapencipta telah disinggung keberadaannya. Maka pengetahuan empirik sekalipun, kiranya tetap membutuhkan kehadiran Tuhan. Atau dalam istilah ilmu makrifat disebut visi transendental terhadap wujud empirik.
Di antara argumentasi yang dikemukakan dalam studi ini untuk memperkuat asumsi bahwa ilmu Makrifat merupakan prinsip-prinsip epistimologi tasawuf adalah bahwa diskursus tentang keterkaitan antara syari’ah dan haqiqah, pengalaman spiritual dengan wahyu, sebagaimana yang diuraikan Al-Junaid  sedemikian jauh terlibat dalam tema sentral Filsafat Epistimologi; ya’ni permasalahan sumber pengetahuan dan kemampuan potensi-potensi intelektual mempersepsikan objek pengetahuan. Disamping keterkaitan antara tindak mengetahui dengan meng’ada’ karena mustahil mengetahui sesuatu yang tak ‘ada’ dan oleh karenanya kita membutuhkan landasan ontologis bagi konstruksi epistimologi, ilmu Marifat -berdasarkan pengamatan introvertif- juga sarat dengan analisis mengenai harmonisasi hubungan integral antara pelbagai potensi diri; baik intelektual maupun psikologis dalam rangka memperoleh pengetahuan yang utuh dan komprehensif serta terbebas dari inklinasi skeptis. Setiap proses intelektualisasi pada dasarnya melibatkan aspek-aspek psikologis sehingga inklinasi skeptis tak dapat dielakkan selama kecenderungan-kecenderungan jiwa tidak terkontrol. Oleh karena itu pertanyaannya bukan sejauh mana potensi intelektual mampu memperoleh persepsi yang akurat melainkan apakah jiwa yang ‘mengetahui’ telah dibebaskan dari kecenderungan yang tak terkontrol. Hal ini penting karena pengetahuan yang pasti pada hakekatnya adalah kemauan untuk percaya.[15]
Dengan demikian, dalam epistimologi ada ‘sikap memihak’ yang secara bebas aktif harus dibangun lebih awal. Tiada satu ketentuan pun yang mengharuskan atau melarang seseorang memilih sikap tertentu. Keberpihakan kepada corak berpikir idealisme cenderung mengingkari realitas empirik. Sebaliknya, corak berpikir realisme cenderung menilai pendekatan idealisme sangat absurd. Pemikiran sufisme, dalam hal ini menawarkan sebuah ‘kompromi’ yang dibangun di atas ‘kepercayaan’ bahwa wahyu adalah realitas sejati yang bermuatan ganda: empirik dan transendental. Jika epistimologi, pada akhirnya tetap membutuhkan paradigma, kerangka berpikir ataupun landasan ontologis sebagai ‘tindakan a priori’ praepistemik, kiranya sah saja membangun ‘kepercayaan’ tersebut. Ilmu Makrifat mengakomodasikan pandangan empirisme terhadap realitas eksternal mengingat status eksistensialnya sebagai data inderawi yang memanifestasikan keberadaan Tuhan[16]. Pandangan idealisme terhadap fakta empirik terakomodasikan pula melalui pencerahan mental yang memandang fakta-fakta alam dalam wujudnya yang hakiki. Dalam filsafat, pengertian realitas mengalami pembatasan; baik oleh idealisme maupun realisme. Ilmu Makrifat memperluas pengertian tersebut dengan mengakui wahyu sebagai lingkup pengetahuan yang mencakup keduanya. Hakekat monorealistik berimplikasi wujud alam tak berdiri sendiri tapi tergantung kepada wujud dan pemeliharaan Tuhan. Oleh sebab itu memandang alam hendaknya bertujuan menangkap keberadaan Tuhan -untuk tidak mengatakan memandang alam adalah memandang Tuhan, mengingat tanpa Tuhan alam tak wujud. Selanjutnya, wahyu mempersonifikasikan ‘ekspresi’ dan pernyataan ‘tindak mencipta’ oleh Tuhan yang digambarkan al-Qur'an sebagai mekanisme kun fa yakun. Konsekwensinya, tiada realitas yang tak tercakup dalam Kalam Ilahi, yang kemudian lantaran faktor pembahasaan yang dapat dimengerti manusia, tersimpul dalam al-Qur'an yang diwahyukan kepada nabi Muhammad saw.
Sebagaimana uraian al-Qawnawi bahwa fakta-fakta ketuhanan memerlukan rincian struktural yang nyata dan empirik, maka pengalaman inderawi adalah penyatuan realitas eksternal kedalam realitas wahyu. Kita memandang Tuhan dalam wujud alam yang digambarkan wahyu. Berhubung makrifat adalah pengetahuan dengan pengenalan memerlukan harmonisasi segenap potensi intelektual dalam rangka memperoleh pengetahuan integral menuju pengenalan Allah, maka potensi inderawi difungsikan sedemikian rupa dengan tetap menjaga agar tidak terjerumus kedalam doktrin tasybih (menyerupakan Tuhan dengan makhluk). Melalui penyatuan realitas eksternal kedalam realitas wahyu, ayat kauniyah (tanda-tanda kebesaran Tuhan pada alam) berjalan seiring dengan ayat qur’aniyah (ayat-ayat al-Qur'an) karena semuanya mengacu kepada sumber Kalam Ilahi. Penafsiran ini sesungguhnya mengelaborasikan pandangan al-Muhasibi yang mengisyaratkan bahwa dalam pengetahuan integral kausa efisien bersumber pada pengalaman empirik dan kausa final bersumber kepada wahyu.[17]
Analisis-analisis pemikiran sufisme sungguh sarat dengan nuansa qur’ani. Sebuah kisah al-Qur'an (Q.S. Yusuf: 10-16) menghadirkan dialog Ya’qub dengan putra-putranya mengisyaratkan bahwa suatu fakta dapat direkayasa untuk terkesan benar berdasarkan alasan-alasan rasional yang dibangun di atas pilar logika formal, namun hakekatnya justeru amat absurd. Ketika Ya’qub mengajukan keberatan untuk mengizinkan mereka membawa Yusuf, khawatir akan dimangsa serigala, mereka mengajukan alasan yang sungguh meyakinkan; bahwa kekhawatiran sang Ayah tak berdasar sama sekali lantaran mereka ‘ushbah, kuat dan pemberani. Tapi kenyataan menunjukkan bahwa niat jahat dapat dikemas dalam sebuah sistim argumentasi yang sangat meyakinkan namun tidak memiliki validitas kebenaran sama sekali. Demikianlah Al-Junaid  kemudian mengungkap kepalsuan pengetahuan yang dibangun di atas potensi jiwa yang kotor.[18]
Sikap penolakan sejumlah pemikir muslim klasik terhadap konsepsi Aristoteles mengenai ‘kausasi’ (al ‘illiyyah) cukup beralasan memang, terutama karena adanya ‘dualisme’ realitas yang menghalangi penerapan teori korespondensi dalam rangka konformitas dalam pengertian keserupaan sesuatu ‘sebagai objek eksternal’ dengan ‘sesuatu sebagai entitas mental’ yang kemudian tampak oleh subjek. Akibatnya, ‘makna korespondensi atau hubungan kesesuaian (muwafaqah) mau tidak mau harus dimengerti sebagai penafian gagasan “identitas” (mahiyyah), dan dengan demikian gagasan konformitas, lepas dari kepada apa ia mungkin dinisbatkan dan disifatkan, hanya bisa dimengerti sebagai sesuatu yang lebih dekat dengan korespondensi dari pada dengan indentitas’. Dengan kata lain manusia tidak akan mampu mengetahui identitas kecuali obyek pengetahuan menyatakan diri[19]
Ini berarti sistim pembenaran dengan hanya mengandalkan kausa-kausa efisien dan final dalam logika formal tidak dapat menjangkau identitas. Suatu pengamatan yang secara akurat digambarkan dalam argumen Kantian bahwa seandainya ‘sesuatu di dalam dirinya sendiri sesuai atau identik dengan sesuatu sebagaimana yang disuguhkan kepada kita, maka akan muncul kontradiksi yang nyata’.[20] Sudah barang tentu kontradiksi ini muncul karena adanya dualisme realitas sehingga dualisme logis kebenaran dan kesalahan, atau kekeliruan pun tak dapat dihindarkan. Dalam kaitan ini penilaian-penilaian dan pernyataan-pernyataan yang -melalui hubungan korespondensi- memenuhi syarat untuk benar atau salah, memerlukan standarisasi yang tentu tidak boleh tidak, merujuk kepada realitas -yang pada gilirannya- menurut teori korespondensi, tiada lain adalah realitas eksternal. Tapi bukankah realitas ekternal berbeda dan tak mampu dijangkau kecuali dengan representasi, baik konseptual maupun perseptual dalam pikiran kita. Apakah ini tidak lantas berarti bahwa realitas eksternal telah ‘direkayasa’ akal untuk berkoresponden dengan representasi perseptual dan konseptual kita?
Tampak jelas bahwa seluruh bobot keberatan-keberatan ini terbebankan pada logika Arestotelian dan sistim argumentasinya yang kehilangan standar tatkala harus merujuk kepada realitas eksternal. Gagasan unifikasi fenomenal yang bersifat epistemik diajukan dalam Filsafat Iluminasi sebagai satu-satunya cara yang memungkinkan bagi kedua eksistensi yang berbeda ini untuk berkumpul dan terikat satu sama lain. Tapi permasalahannya tetap tak terselesaikan karena persoalan pengetahuan bukan hanya sekedar korespondensi melainkan kepastian yang tak menerima kemungkinan untuk keliru, dan karenanya pengertian identitas tetap menjadi keharusan. Dalam hal ini, Ibnu Arabi menegaskan hanya yang mahatunggal yang memiliki pengetahuan dengan identitas. Adalah mustahil pengetahuan tercipta tanpa transformasi seluruh sistim dan potensi pengetahuan menjadi ‘bersatu’ dengan kebenaran itu sendiri.
Dengan mengacu kepada monorealitas, seluruh sistim dan potensi pengetahuan sufisme ditransformasikan kedalam wahyu, Kalam Ilahi sebagai realitas sejati yang bermuatan ganda: empirik dan transendental. Sesuai dengan pola ta’rief, sebagaimana dirumuskan Al-Junaid , Tuhan memperlihatkan jejak dan tanda-tanda kebesaran-Nya pada alam dan di dalam diri manusia. Maka wahyu pertama-tama berfungsi sebagai penghubung yang mengatur mekanisme komunikasi pengenalan Tuhan. Jadi, bukan subjek yang memprakarsai tindak pengetahuan melainkan objek. Tuhan ‘memperkenalkan diri’ melalui jejak dan tanda-tanda kebesaran-Nya pada alam sekitar dan di dalam diri hamba, melalui wahyu.  Setiap kali al-Qur'an menyinggung potensi-potensi intelektual manusia, selalu diawali dengan isyarat kepada pengalaman empirik. Hal ini, menurut Al-Junaid  disebabkan oleh karakteristik pencarian jejak dan tanda-tanda kebesaran-Nya yang mutlak mendahului pengenalan. Setiap jejak dan tanda-tanda haruslah bersifat empirik dan kongkrit. Tapi, betapa pun pengetahuan empirik mengenai alam dan seluk-beluk jiwa tercapai namun tetap tidak menggambarkan realitas seutuhnya selama belum mengidentifikasi hakekatnya sebagai manifestasi kebesaran dan keagungan Tuhan. Oleh sebab itu menurut Al-Junaid  pengetahuan dengan pengenalan juga disebut sebagai kedalaman iman dan ketercerahan hati (al-bashierah).[21]
Al-Junaid  menyitir ayat-ayat al-qur’an untuk menjabarkan pandangannya mengenai pengalaman empirik dalam konteks makrifat ta’rief. Alih-alih proses intelektualisasi atau tindak mengetahui terlibat dalam pengalaman empirik awal dan yang bersifat sederhana menangkap realitas eksternal sesuai dengan gambaran wahyu, pada saat yang sama pengamatan introvertif melibatkan kesadaran monorealitas sehingga proses tersebut menghasilkan intuisi yang kembali diekspresikan dalam pengalaman empirik yang mendapat pencerahan. Meski tindak mengetahui berlangsung secara simultan melibatkan seluruh potensi intelektual namun secara rinci, prosesnya dapat dilihat dalam analisis berikut.
Berangkat dari iman yang dikembangkan menjadi visi monorealitas, terbentuk kesadaran diri bahwa subjek pengetahuan adalah bagian yang tak terpisah dari dunia ketuhanan lantaran ketergantungan eksistensial kepada Maha Pencipta. Kalam Ilahi, sebagai hakekat kun menjadi landasan ontologis setiap fakta, objek pengetahuan. Sehubungan dengan faktor pembahasaan manusia, Kalam Ilahi kemudian diwahyukan dalam bentuk al-Qur'an dan kedatangan atau kehadiran nabi. Fakta-fakta kemudian tersimpul dalam hakekat wahyu. Oleh karena dimensi transendentalnya maka wahyu berfungsi sebagai stimulan bagi segenap potensi intelektual. Melalui pendengaran, wahyu merangsang aktifitas rasional. Akal pada gilirannya, secara fungsional melakukan tiga aktifitas; ya’ni: penyelidikan, identifikasi dan penerapan. Berkat kesadaran monorealitas pengetahuan rasional memperoleh pencerahan. Akibatnya, pengetahuan rasional tidak diterjemahkan dengan cara sistim argumentasi atau berdasarkan teori korespondensi, akan tetapi dengan teori fana. Yaitu, pada saat kesadaran intelektual mencerap keagungan Tuhan, melalui sentuhan wahyu, seluruh sistim pengetahuan mengalami transformasi transendental dan larut dalam objek pengetahuan. Dengan begitu kualitas penalaran meningkat menjadi pengenalan berupa pengalaman empirik yang melihat secara nyata objek-objek transendental dalam lingkup pemberitaan wahyu. Dari sini dapat dimengerti mengapa penerapan praktis menjadi bagian yang inheren dalam sistim pembenaran pengetahuan atau komformasi sufistik karena pengalaman empirik yang memperoleh pencerahan mampu menembus taraf empirik itu sendiri kedalam wujud transendentalnya.[22]
Seorang sufi tiba-tiba mengalami fana, mengakibatkan transformasi sistim pengetahuan tatkala menyaksikan benda terbakar atau kejadian apa pun dalam fenomena alam lantaran kesaksiannya menembus taraf empirik kedalam hakekat transendentalnya[23]. Al-Sya’rani mengutip sebuah pernyataan Al-Junaid  berkenaan dengan penemuan jati diri tatkala jiwa bersih dan kembali kepada kemurnian sejati, persis seperti saat roh diajak Tuhan menyaksikan keesaan-Nya.[24]
Sebuah pengamatan sufistik yang melihat keindahan alam berkenaan dengan burung-burung yang terbang kesana kemari, diajukan Al-Junaid  untuk mempertegas analisis ini. Secara lahiriah, aktifitas burung-burung dapat ditafsirkan sebagai upaya pencarian rejeki. Tapi menurut Al-Junaid  bukan mencari rejeki melainkan manifestasi Kalam Ilahi: “Kami menjadikan apa-apa yang ada di muka bumi sebagai zinah, perhiasan baginya.” (Q.S. al-Kahf: 7). Ini berarti Allah sebagai sumber keindahan absolut dapat ‘terlihat’ secara tajalli pada fenomena terbangnya burung-burung.[25]
Dengan demikian pengalaman empirik sufistik tidak terbatas pada taraf lahiriah saja, tetapi menangkap makna yang terkandung di dalamnya. Oleh sebab itu kehidupan sufi adalah kehidupan sarat makna. Kehidupan yang terkadang dapat dinikmati melalui sebuah aransmen musik atau kisah cinta sejati atau dalam keindahan sebuah lukisan dan fenomena alam ataupun dalam sikap kepahlawanan.[26] Dengan kata lain, pengetahuan inderawi dengan pola pengenalan ta’rief bukan semata-mata capaian data inderawi melainkan pencerahan intelektual yang mampu menangkap hakekat transendental yang terdapat pada setiap fakta empirik. Hal ini dimungkinkan oleh karena kesadaran monorealitas memfokuskan realitas sejati pada wahyu yang berfungsi merangsang potensi-potensi intelektual. Rangaangan yang menimbulkan getaran-getaran psikologis pada setiap struktur jiwa sehingga seseorang dapat menemukan jati dirinya dalam rangka membentuk integritas pribadinya yang utuh.
Menurut Al-Junaid , hanya mereka yang memiliki integritas pribadi yang utuh yang mampu ‘menerima’ tawalli (menjadi waliyullah); ya’ni memperoleh makrifat ta’arruf. Yaitu bahwa Tuhan memperjalankan kesaksian akan ke-Esa-an-Nya (syahadat al tauhid) pada diri hamba sehingga seluruh sistim pengetahuan hamba ‘larut’ di dalamnya. Pengalaman fana  yang sering ditafsirkan sebagai unifikasi, panteisme dan semacamnya. Padahal pengalaman tersebut adalah kenyataan yang menurut al-Qur’an merupakan Tauhid paripurna.[27]


Bandung, Oktober 2010



[1] Lihat: Ibn ‘Arabi, al futuhat al makkiyah, Dar Shadir, Beirut: tt, vol. II, hal. 298; Lihat juga untuk uraian lebih rinci: Muhammad Nursamad, nazhariyyat al ma’rifat ‘ind al juneid al bagdadi, Disertasi PhD, Aqidah & Filsafat, Fakultas Ushuluddin, al Azhar University, Cairo: 1994, hal. 18- 26
[2] Al-Nasysyar, Nasy’at al-Fkir al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Ma’arif, cet. VIII, 1980) vol. III, hal. 21-28; lihat juga: Abdul Halim Mahmud, al tafkir al falsafi fi al Islam, Cairo: al Dar al Misriyah, cet. IV, 1977, vol. I
[3] Dapat dikecualikan tulisan-tulisan Henri Corbin, Imajinasi Kreatif: Sufisme Ibn Arabi, Yogyakarta: LkiS, 2002
[4]Al Thablawi Mahmud Sa’d, al tasawwuf fie turats ibn taimiyah, Cairo: al Hay’ah al Misriyah al Ammah li al Kitab, 1984
[5] Al Subki, thabaqat al syafi’iyah al kubra, Cairo: Isa al Babiy al Halabi, vol. II, cet. I, 1383 H/ 1964 M, hal. 260
[6] Untuk uraian mengenai wacana tasawuf falsafi vs tasawwuf sunni, lihat al. Abdul Halim Mahmud, al tafkir al falsafi fi al Islam, Cairo: al Dar al Misriyah, cet. IV, 1977, vol. II, hal. 169
[7] Untuk uraian dan kritik kaum sufi terhadap berbagai penyimpangan sehubungan dengan pengalaman-pengalaman spiritual, lihat: al-Thusi, al-Luma’, Ed. Abdul Halim Mahmud & Taha Abd al Baqi Surur, Cairo: Dar al Kutub al Hadietsah, 1380 H/ 1960 M, hal. 257
[8] Kamal Ga’far, al-Tasawwuf Tharieqan wa Tajribatan wa Madzhaban, Cairo: Dar al-Ma’rifah al-Jami’iyah, 1980, hal. 9-10
[9] Abdul Halim Mahmud, al tafkir al falsafi fi al Islam, ibid
[10] Al Thablawi Mahmud Sa’d, al tasawwuf fie turats ibn taimiyah, Cairo: al Hay’ah al Misriyah al Ammah li al Kitab, 1984, hal 92
[11]Rasail al Juneid, Ed. Ali Hasan Abd al Qadir, Cairo: Bura’i & Gaddawi, 1988, hal. 42
[12] Al Harits ibn Asd al Muhasibi, al ‘aql wa fahm al qur’an, Ed. Hasan al Quwaitly, Dar al Kindi, Cet. III, 1403 H/ 1982 M, hal. 204
[13] Lihat Abdul Halim Mahmud, qadliyyat al tasawwuf, al munqidz min al dlalal, Cairo: Dar al Ma’arif, Cet. II, 1985
[14] Abu Nu’eim al Asfahani, hilyat al awliya, Cairo: Maktabat al Sa’adah, cet. I, 1399 H/ 1979 M, vol. 10, hal 265
[15] Rasail al Juneid, ibid, hal. 68
[16] Lihat Muhammad Nursamad, nazhariyyat al ma’rifat ‘ind al juneid al baghdadi, Disertasi PhD, op. cit. hal 41-78
[17] Al Harits ibn Asd al Muhasibi, al ‘aql wa fahm al qur’an, Op. Cit.
[18] Abu Nashr al Siraj al Thusi, al luma’, Ed Abdul Halim Mahmud & Taha Abd al Baqi Surur, Cairo: Dar al Kutub al Hadietsah, 1380 H/ 1960 M, hal 375; lihat juga al Sahrawardi, ‘awarif al ma’arif, Cairo: Dar al Kitab al ‘Arabi, cet. II, 1403 H/ 1983 M; Rasail al Juneid, ibid, hal 14, 68-69; Abu Thalib al Makki, ‘ilm al qulub, Ed. Abd al Qadir Ahmad Atho, Maktabat al Qahirah, tt. Hal 161-162
[19] Lihat uraian Ali Sami al Nasysyar, manahij al bahts ‘ind mufakkiri al muslimin, Cairo: Dar al Ma’arif, cet. VIII, 1980
[20] Samuel E. Stumpf, Elements of Philosophy, McGraw-Hill Inc. 1979; lihat juga Mahmud Zeidan, nazhariyyat al ma’rifah, Cairo: Dar al Nahdlah al Misriyah, cet. I. 1989
[21] Rasail al Juneid, ibid, hal 8-9
[22] Lihat al Juneid, kitab al fana, dalam Rasail al Juneid, ibid, hal 32-33
[23] Abu Nashr al Siraj al Thusi, al luma’, Ed Abdul Halim Mahmud & Taha Abd al Baqi Surur, Cairo: Dar al Kutub al Hadietsah, 1380 H/ 1960 M, hal 353
[24] Al Sya’rani, al thabaqat al kubra, Beirut: Dar al Jeil, 1408H/ 1988M
[25] Abu Nashr al Siraj al Thusi, al luma’, hal. 163
[26] Kamal Ga’far, al-Tasawwuf Tharieqan wa Tajribatan wa Madzhaban, ibid
[27] Al Junaid, kitab al mitsaq, Ed. Muhammad Mustafa, taj al ‘arifin, Cairo: Dar al Thaba’ah al Muhammadiyah, cet. I, 1408 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar