Dr. Nursommad Kamba
Disampaikan dalam Seminar "Tasawuf Nafas Peradaban Dunia" di IAILM
Pertanyaan
dasar yang menjadi fokus utama kajian ini berkisar pada permasalahan apakah
sebuah bangunan epistimologi dapat berdiri di luar paradigma dan visi Filsafat
terhadap realitas? Atau dengan ungkapan lain, apakah kritik-kritik yang
dilancarkan oleh sufisme terhadap prinsip-prinsip epistimologi Filsafat pada
umumnya mengindikasikan suatu bangunan epistimologi yang sama sekali berbeda?[1] Sejarah
Filsafat merupakan refleksi ‘perjuangan’ manusia mencari kebenaran sejati. Oleh
karena itu problematika Filsafat bersifat universal dan terbuka. Tapi di sisi
lain, adalah kenyataan bahwa Filsafat lahir dan berkembang di Barat serta
cenderung mendominasi -setidaknya dalam pandangan historian- seluruh aktifitas
pemikiran manusia sepanjang sejarah. Didasarkan pada kenyataan tersebut,
sejumlah kaum intelektual mengklaim Filsafat milik Barat, bahkan sering
dihubungkan dengan latar belakang kultural dan geografis. Akibatnya, setiap
penanganan bahkan pemecahan suatu problema Filsafat di luar konteks kebudayaan
Barat dianggap tidak bernilai. Atau paling-paling hanya kesinambungan supermasi
kebudayaan dan superioritas pemikiran Barat. Implikasinya, tidak jarang
ditemukan kesimpulan-kesimpulan ilmiah yang terkesan ‘direkayasa’ atau
‘dipaksakan’ untuk disesuaikan dengan kecenderungan tersebut.[2]
Tasawuf Islam
adalah ‘korban’ yang paling banyak dirugikan dari kecenderungan intelektual
etnosentris semacam itu. Berbagai konsep Tasawuf yang berkaitan dengan masalah-masalah
ontologi, epistimologi, psikologi dan sebagainya; tidak mendapat proporsi
penanganan semsestinya hanya karena semua ditafsirkan dalam konteks
intelektualisme Barat. Pemikiran-pemikiran Ibnu Arabi misalnya, diuraikan hanya
dalam batas-batas Panteisme, theosophy, misticism dan kebatinan[3]. Bahkan
ada kecenderungan ‘menolak’ pernyataan Ibnu Arabi -umpamanya mengenai inspirasi
yang berkembang dalam pemikirannya diilhami oleh wahyu al-Qur'an dan Sunnah.
Kondisi ini semakin memburuk ketika sejumlah ulama dan fuqaha ‘picik’ dengan
segala sikap puritanisme dan wawasan normatifnya ‘mengklaim’ tasawuf sebagai
produk non-Islam, setidaknya jalan yang sesat.[4]
Dalam kontek
itulah studi yang mengambil topik Ilmu Makrifat menurut ini memiliki signifikansinya, terutama dengan
melihat posisi Al-Junaid sebagai tokoh
terkemuka, bahkan diakui sebagai pemimpin para sufi (sayyid al-thaifah) serta dapat ‘diterima’ oleh semua kalangan[5]. Lebih
dari itu Makrifat merupakan tema sentral dalam tasawuf, yang selain menjelaskan
kedudukan syari’at dalam proses pengamalannya juga meletakkan dasar dan
kriteria bagi sebuah pengalaman spiritual qur’ani yang akurat, kreatif dan orisinil.
Metodologi yang dianut dalam studi ini bersifat ‘terbuka’. Maksudnya, tidak
terikat oleh pola pemikiran tertentu, misalnya menggunakan paradigma ‘tasawuf
falsafi’ versus ‘sunni’, tasawuf dalam konteks mistisisme atau kebatinan[6]. Gagasan
ini ditempuh berdasarkan dua alasan. Pertama,
sepanjang pembicaraan menyangkut dunia tasawuf sebagai pengalaman spiritual
yang utuh dan integral, praktis tak dapat memisahkan aspek falsafi dengan
orientasi sunni (teori-praktek). Dalam pada itu ‘isu’ tasawuf falsafi versus
sunni adalah gejala kegagalan intelektual memahami hakekat pengalaman spiritual
yang amat mendalam itu. Diskursus yang dikembangkan dalam konteks tersebut
hanya mengacu kepada analisis ungkapan-ungkapan, terutama yang berwarna syathahat yang dilontarkan sufi
tertentu. Padahal dalam tradisi tasawuf sebuah ungkapan adalah ekspresi
pengalaman batin yang tidak mesti berupa perumusan teoritis belaka, tapi bisa
saja merupakan ungkapan yang menggambarkan situasi dan kondisi spiritual dan
psikologis yang sedang dialami seseorang. Ibarat seniman yang secara spontan
menyusun untaian puisi tanpa dimaksudkan sebagai perumusan sikap filosofis atau
kerangka teori tertentu. Ia hanya sekedar ekspresi perasaan.[7]
Oleh karena itu
- dan hal ini yang menjadi alasan kedua
mengapa diperlukan metodologi ‘terbuka’- tasawuf sebagai pengalaman spiritual
yang utuh dan integral memerlukan pendekatan dari pelbagai perspektif:
filosofis, psikologis, sosiologis dan sebagainya. Dengan mengacu kepada
fenomenologi, misalnya kita dapat menafsirkan tasawuf sebagaimana dialami sang
sufi sendiri. Praktisnya, kita membiarkan yang bersangkutan menafsirkan
pengalamannya tanpa campur tangan dari kita memasukkan dalam suatu pola
tertentu.[8] Hal ini
sesuai dengan salah satu pernyataan sufi: al-thariq
ila Allah bi’adadi anfasi bani Adam
(jalan menuju Allalh sebanyak nafasnya keturunan Adam) . Pengalaman spiritual adalah membangun
komunikasi yang intim dengan Tuhan. Sudah barang tentu komunikasi itu tunduk
kepada ‘kecenderungan’ kedua pihak, hamba-Tuhan. Secara intelektual pendekatan
normatif dalam hal ini tidak akan pernah berhasil guna. Bahkan akan
menghasilkan konsekwensi-konsekwensi intelektual yang kontradiktif. Klaim sementara
ulama misalnya terhadap sufisme sebagai jalan sesat, bid’ah dan tuduhan
semacamnya, secara intelektual memerlukan ‘kriteria’ dan ukuran. Tolok ukur
tersebut tiada lain penafsiran al-Qur'an/sunnah juga, justeru bukan al-Qur'an
dan sunnah itu sendiri. Padahal sufisme, sebagaimana pendekatan lainnya, sebuah
upaya implemetasi nilai-nilai Islam dalam bentuk pengalaman spiritual.[9]
Oleh karena
tasawuf berorientasi introvertif maka pengamatan luar seringkali terjebak
kedalam arus generalisasi deduktif yang pada gilirannya menyalahi ‘ketentuan’
yang mereka tekankan sehubungan dengan kemutlakan menjamin keseimbangan antara
aspek syari’ah dan haqiqah, lahir dan
batin. Akibatnya, keberatan-keberatan yang diajukan untuk ‘menolak’ tasawuf
kemudian menjadi inkonsisten dan tidak proporsional. Tapi gerakan penolakan
tasawuf tetap saja menggunakan isu-isu mistisisme, kebatinan dan gnostik untuk
menyatakan penetrasi budaya luar kedalam Islam melalui ajaran tasawuf.[10]
, melalui ilmu
Makrifat yang menjadi fokus kajian ini lebih awal menekankan pentingnya
membangun perjalanan spiritual atau pengalaman sufistik di atas pilar syari’ah.
Seperti yang akan disimak dalam formulasi pemikirannya pernyataan tersebut
kiranya bukan sekedar klaim apologetik untuk memberikan legitimasi bagi
keabsahan pengalaman sufistik melainkan bagian yang inheren dalam menjalin
komunikasi yang intim dengan Tuhan. Menurut Al-Junaid pengalaman spiritual tidak akan pernah murni
dan sejati tanpa syari’ah karena wahyu adalah satu-satunya jalan yang dapat
menjamin validitas dan obyektifitas pengalaman spiritual.[11] Segenap
potensi intelektual manusia amat terbatas untuk memperoleh persepsi yang jelas
dan pasti tentang Tuhan yang hendak dikenal dan dicintai. Padahal pengenalan
dan cinta adalah prasyarat bagi terjalinnya sebuah komunikasi yang intim.
Prasyarat yang menurut Al-Junaid tak
mungkin terpenuhi hanya dengan mengandalkan akal budi. Bahkan akal sendiri
tidak memiliki potensi intelektual yang berdaya guna tanpa berinteraksi dengan
realitas; baik empiris maupun transendental. Tapi untuk melakukan konstruksi
sebuah realitas pada dasarnya mustahil tanpa wahyu Tuhan.
Kiranya menarik
untuk mencermati analisis yang diajukan Al-Junaid untuk membuktikan keterbatasan akal bahkan
seluruh potensi intelektual manusia dalam rangka memformulasikan apa yang
disebut realitas. Diskursus yang dikembangkan Al-Junaid dalam kaitan itu seluruhnya bermuatan
epistimologi. Kiranya tidak berlebihan jika ilmu Makrifat, sebagaimana
diuraikan Al-Junaid adalah prinsip-prinsip
epistimologi tasawuf.
Dengan mengacu
kepada pandangan salah seorang gurunya, al-Muhasibi, Al-Junaid menolak setiap upaya mendifinisikan esensi
akal karena statusnya yang transendental. Bagi Al-Junaid cara yang paling ideal untuk mengetahui
hakekat akal adalah dengan mengamati gejala yang ditimbulkan[12],
terutama yang berkaitan dengan cara kerja panca indera sehingga betapa pun
hasilnya, proses rasionalisasi tetap mengacu kepada dunia empiris dan
berwawasan materialistik. Tapi pada saat yang sama karakteristik perenungan
rasional itu sendiri bersifat immateril. Implikasinya, setiap fenomena empiris
mengandung di dalam dirinya dimensi spiritual. Ini adalah prinsip paling awal
yang harus dimiliki jika seseorang hendak membangun persepsi tentang realitas
sejati. Menolak dimensi spiritual sama halnya mengingkari dunia empirik itu
sendiri dan sebaliknya. Menurut Al-Junaid , terkadang kita terbawa oleh
arogansi intelektual untuk menerima keberadaan kita dan alam sekitar sebagai
kenyataan yang pasti sementara jika direnungkan lebih seksama, secara
struktural realitas tersebut menjadi hampa terutama ketika mempertanyakan objektifitasnya
lebih jauh. Setiap aktifitas rasional akan selalu terancam inklinasi skeptis
tatkala menganalisis proses rasionalisasi dan intelektualisasi. Sebagaimana
gagasan yang dikembangkan al-Ghazali kemudian tentang ‘tipuan mimpi’[13], Al-Junaid
menyatakan bahwa akal sendiri yang
meragukan validitas dan objektifitas persepsinya tentang realitas. Bagaimanakah
kita dapat mengakui validitas persepsi kita tentang objek-objek pengetahuan
sementara selalu ada kemungkinan bahwa persepsi hanya semata-mata rekayasa akal
yang tidak mesti mengungkap hakekat objek sebagaimana adanya. Jika demikian
halnya maka pengetahuan adalah sebuah kemustahilan selama objek tidak
mengungkapkan dirinya; sedangkan tiada entitas yang dapat diterima untuk
memenuhi kriteria ini kecuali Tuhan. Oleh karena itu pengetahuan yang murni
adalah pengetahuan tentang Tuhan, di mana persepsi kita memungkinkan untuk
disesuaikan (bandingkan: teori korespondensi) dengan pengungkapan diri-Nya,
yang tentu melalui wahyu.[14]
Dengan
demikian, Al-Junaid menganut
monorealitas karena wujud yang pasti adalah mahatunggal dan esa. Segenap
entitas lainnya merupakan manifestasi wujud-Nya. Wahyu adalah landasan
ontologis bagi setiap entitas tersebut mengingat statusnya sebagai kalamullah. Menurut Al-Junaid al-Qur’an menggambarkan hakekat kalamullah sebagai penjabaran kun fa yakun. Ini berarti kita hanya
dapat membangun persepsi yang akurat tentang realitas eksternal dan objektif
berdasarkan kalamullah karena meski
tidak berbicara tentang dirinya, objek-objek tersebut setidaknya oleh
Mahapencipta telah disinggung keberadaannya. Maka pengetahuan empirik
sekalipun, kiranya tetap membutuhkan kehadiran Tuhan. Atau dalam istilah ilmu makrifat
disebut visi transendental terhadap wujud empirik.
Di antara
argumentasi yang dikemukakan dalam studi ini untuk memperkuat asumsi bahwa ilmu
Makrifat merupakan prinsip-prinsip epistimologi tasawuf adalah bahwa diskursus
tentang keterkaitan antara syari’ah dan haqiqah, pengalaman spiritual dengan
wahyu, sebagaimana yang diuraikan Al-Junaid sedemikian jauh terlibat dalam tema sentral
Filsafat Epistimologi; ya’ni permasalahan sumber pengetahuan dan kemampuan
potensi-potensi intelektual mempersepsikan objek pengetahuan. Disamping
keterkaitan antara tindak mengetahui dengan meng’ada’ karena mustahil
mengetahui sesuatu yang tak ‘ada’ dan oleh karenanya kita membutuhkan landasan
ontologis bagi konstruksi epistimologi, ilmu Marifat -berdasarkan pengamatan
introvertif- juga sarat dengan analisis mengenai harmonisasi hubungan integral
antara pelbagai potensi diri; baik intelektual maupun psikologis dalam rangka
memperoleh pengetahuan yang utuh dan komprehensif serta terbebas dari inklinasi
skeptis. Setiap proses intelektualisasi pada dasarnya melibatkan aspek-aspek
psikologis sehingga inklinasi skeptis tak dapat dielakkan selama
kecenderungan-kecenderungan jiwa tidak terkontrol. Oleh karena itu
pertanyaannya bukan sejauh mana potensi intelektual mampu memperoleh persepsi
yang akurat melainkan apakah jiwa yang ‘mengetahui’ telah dibebaskan dari
kecenderungan yang tak terkontrol. Hal ini penting karena pengetahuan yang
pasti pada hakekatnya adalah kemauan untuk percaya.[15]
Dengan
demikian, dalam epistimologi ada ‘sikap memihak’ yang secara bebas aktif harus
dibangun lebih awal. Tiada satu ketentuan pun yang mengharuskan atau melarang
seseorang memilih sikap tertentu. Keberpihakan kepada corak berpikir idealisme
cenderung mengingkari realitas empirik. Sebaliknya, corak berpikir realisme
cenderung menilai pendekatan idealisme sangat absurd. Pemikiran sufisme, dalam
hal ini menawarkan sebuah ‘kompromi’ yang dibangun di atas ‘kepercayaan’ bahwa
wahyu adalah realitas sejati yang bermuatan ganda: empirik dan transendental.
Jika epistimologi, pada akhirnya tetap membutuhkan paradigma, kerangka berpikir
ataupun landasan ontologis sebagai ‘tindakan a priori’ praepistemik, kiranya sah saja membangun ‘kepercayaan’
tersebut. Ilmu Makrifat mengakomodasikan pandangan empirisme terhadap realitas
eksternal mengingat status eksistensialnya sebagai data inderawi yang
memanifestasikan keberadaan Tuhan[16].
Pandangan idealisme terhadap fakta empirik terakomodasikan pula melalui
pencerahan mental yang memandang fakta-fakta alam dalam wujudnya yang hakiki.
Dalam filsafat, pengertian realitas mengalami pembatasan; baik oleh idealisme
maupun realisme. Ilmu Makrifat memperluas pengertian tersebut dengan mengakui
wahyu sebagai lingkup pengetahuan yang mencakup keduanya. Hakekat monorealistik
berimplikasi wujud alam tak berdiri sendiri tapi tergantung kepada wujud dan
pemeliharaan Tuhan. Oleh sebab itu memandang alam hendaknya bertujuan menangkap
keberadaan Tuhan -untuk tidak mengatakan memandang alam adalah memandang Tuhan,
mengingat tanpa Tuhan alam tak wujud. Selanjutnya, wahyu mempersonifikasikan
‘ekspresi’ dan pernyataan ‘tindak mencipta’ oleh Tuhan yang digambarkan
al-Qur'an sebagai mekanisme kun fa yakun.
Konsekwensinya, tiada realitas yang tak tercakup dalam Kalam Ilahi, yang
kemudian lantaran faktor pembahasaan yang dapat dimengerti manusia, tersimpul
dalam al-Qur'an yang diwahyukan kepada nabi Muhammad saw.
Sebagaimana
uraian al-Qawnawi bahwa fakta-fakta ketuhanan memerlukan rincian struktural
yang nyata dan empirik, maka pengalaman inderawi adalah penyatuan realitas
eksternal kedalam realitas wahyu. Kita memandang Tuhan dalam wujud alam yang
digambarkan wahyu. Berhubung makrifat adalah pengetahuan dengan pengenalan
memerlukan harmonisasi segenap potensi intelektual dalam rangka memperoleh
pengetahuan integral menuju pengenalan Allah, maka potensi inderawi difungsikan
sedemikian rupa dengan tetap menjaga agar tidak terjerumus kedalam doktrin tasybih (menyerupakan Tuhan dengan
makhluk). Melalui penyatuan realitas eksternal kedalam realitas wahyu, ayat kauniyah (tanda-tanda kebesaran
Tuhan pada alam) berjalan seiring dengan ayat
qur’aniyah (ayat-ayat al-Qur'an) karena semuanya mengacu kepada sumber
Kalam Ilahi. Penafsiran ini sesungguhnya mengelaborasikan pandangan al-Muhasibi
yang mengisyaratkan bahwa dalam pengetahuan integral kausa efisien bersumber
pada pengalaman empirik dan kausa final bersumber kepada wahyu.[17]
Analisis-analisis
pemikiran sufisme sungguh sarat dengan nuansa qur’ani. Sebuah kisah al-Qur'an
(Q.S. Yusuf: 10-16) menghadirkan dialog Ya’qub dengan putra-putranya
mengisyaratkan bahwa suatu fakta dapat direkayasa untuk terkesan benar
berdasarkan alasan-alasan rasional yang dibangun di atas pilar logika formal,
namun hakekatnya justeru amat absurd. Ketika Ya’qub mengajukan keberatan untuk mengizinkan
mereka membawa Yusuf, khawatir akan dimangsa serigala, mereka mengajukan alasan
yang sungguh meyakinkan; bahwa kekhawatiran sang Ayah tak berdasar sama sekali
lantaran mereka ‘ushbah, kuat dan
pemberani. Tapi kenyataan menunjukkan bahwa niat jahat dapat dikemas dalam
sebuah sistim argumentasi yang sangat meyakinkan namun tidak memiliki validitas
kebenaran sama sekali. Demikianlah Al-Junaid kemudian mengungkap kepalsuan pengetahuan yang
dibangun di atas potensi jiwa yang kotor.[18]
Sikap
penolakan sejumlah pemikir muslim klasik terhadap konsepsi Aristoteles mengenai
‘kausasi’ (al ‘illiyyah) cukup beralasan memang, terutama karena adanya
‘dualisme’ realitas yang menghalangi penerapan teori korespondensi dalam rangka
konformitas dalam pengertian keserupaan sesuatu ‘sebagai objek eksternal’
dengan ‘sesuatu sebagai entitas mental’ yang kemudian tampak oleh subjek. Akibatnya,
‘makna korespondensi atau hubungan kesesuaian (muwafaqah) mau tidak mau
harus dimengerti sebagai penafian gagasan “identitas” (mahiyyah), dan
dengan demikian gagasan konformitas, lepas dari kepada apa ia mungkin
dinisbatkan dan disifatkan, hanya bisa dimengerti sebagai sesuatu yang lebih
dekat dengan korespondensi dari pada dengan indentitas’. Dengan kata lain
manusia tidak akan mampu mengetahui identitas kecuali obyek pengetahuan
menyatakan diri[19]
Ini berarti
sistim pembenaran dengan hanya mengandalkan kausa-kausa efisien dan final dalam
logika formal tidak dapat menjangkau identitas. Suatu pengamatan yang secara
akurat digambarkan dalam argumen Kantian bahwa seandainya ‘sesuatu di dalam
dirinya sendiri sesuai atau identik dengan sesuatu sebagaimana yang disuguhkan
kepada kita, maka akan muncul kontradiksi yang nyata’.[20] Sudah
barang tentu kontradiksi ini muncul karena adanya dualisme realitas sehingga dualisme
logis kebenaran dan kesalahan, atau kekeliruan pun tak dapat dihindarkan. Dalam
kaitan ini penilaian-penilaian dan pernyataan-pernyataan yang -melalui hubungan
korespondensi- memenuhi syarat untuk benar atau salah, memerlukan standarisasi
yang tentu tidak boleh tidak, merujuk kepada realitas -yang pada gilirannya-
menurut teori korespondensi, tiada lain adalah realitas eksternal. Tapi
bukankah realitas ekternal berbeda dan tak mampu dijangkau kecuali dengan
representasi, baik konseptual maupun perseptual dalam pikiran kita. Apakah ini
tidak lantas berarti bahwa realitas eksternal telah ‘direkayasa’ akal untuk
berkoresponden dengan representasi perseptual dan konseptual kita?
Tampak jelas
bahwa seluruh bobot keberatan-keberatan ini terbebankan pada logika
Arestotelian dan sistim argumentasinya yang kehilangan standar tatkala harus
merujuk kepada realitas eksternal. Gagasan unifikasi fenomenal yang bersifat
epistemik diajukan dalam Filsafat Iluminasi sebagai satu-satunya cara yang
memungkinkan bagi kedua eksistensi yang berbeda ini untuk berkumpul dan terikat
satu sama lain. Tapi permasalahannya tetap tak terselesaikan karena persoalan
pengetahuan bukan hanya sekedar korespondensi melainkan kepastian yang tak
menerima kemungkinan untuk keliru, dan karenanya pengertian identitas tetap
menjadi keharusan. Dalam hal ini, Ibnu Arabi menegaskan hanya yang mahatunggal
yang memiliki pengetahuan dengan identitas. Adalah mustahil pengetahuan
tercipta tanpa transformasi seluruh sistim dan potensi pengetahuan menjadi
‘bersatu’ dengan kebenaran itu sendiri.
Dengan
mengacu kepada monorealitas, seluruh sistim dan potensi pengetahuan sufisme
ditransformasikan kedalam wahyu, Kalam Ilahi sebagai realitas sejati yang
bermuatan ganda: empirik dan transendental. Sesuai dengan pola ta’rief, sebagaimana dirumuskan Al-Junaid
, Tuhan memperlihatkan jejak dan tanda-tanda kebesaran-Nya pada alam dan di
dalam diri manusia. Maka wahyu pertama-tama berfungsi sebagai penghubung yang
mengatur mekanisme komunikasi pengenalan Tuhan. Jadi, bukan subjek yang
memprakarsai tindak pengetahuan melainkan objek. Tuhan ‘memperkenalkan diri’
melalui jejak dan tanda-tanda kebesaran-Nya pada alam sekitar dan di dalam diri
hamba, melalui wahyu. Setiap kali
al-Qur'an menyinggung potensi-potensi intelektual manusia, selalu diawali
dengan isyarat kepada pengalaman empirik. Hal ini, menurut Al-Junaid disebabkan oleh karakteristik pencarian jejak
dan tanda-tanda kebesaran-Nya yang mutlak mendahului pengenalan. Setiap jejak
dan tanda-tanda haruslah bersifat empirik dan kongkrit. Tapi, betapa pun
pengetahuan empirik mengenai alam dan seluk-beluk jiwa tercapai namun tetap
tidak menggambarkan realitas seutuhnya selama belum mengidentifikasi hakekatnya
sebagai manifestasi kebesaran dan keagungan Tuhan. Oleh sebab itu menurut Al-Junaid
pengetahuan dengan pengenalan juga
disebut sebagai kedalaman iman dan ketercerahan hati (al-bashierah).[21]
Al-Junaid menyitir ayat-ayat al-qur’an untuk menjabarkan
pandangannya mengenai pengalaman empirik dalam konteks makrifat ta’rief. Alih-alih proses intelektualisasi atau tindak
mengetahui terlibat dalam pengalaman empirik awal dan yang bersifat sederhana
menangkap realitas eksternal sesuai dengan gambaran wahyu, pada saat yang sama
pengamatan introvertif melibatkan kesadaran monorealitas sehingga proses
tersebut menghasilkan intuisi yang kembali diekspresikan dalam pengalaman
empirik yang mendapat pencerahan. Meski tindak mengetahui berlangsung secara
simultan melibatkan seluruh potensi intelektual namun secara rinci, prosesnya
dapat dilihat dalam analisis berikut.
Berangkat
dari iman yang dikembangkan menjadi visi monorealitas, terbentuk kesadaran diri
bahwa subjek pengetahuan adalah bagian yang tak terpisah dari dunia ketuhanan
lantaran ketergantungan eksistensial kepada Maha Pencipta. Kalam Ilahi, sebagai
hakekat kun menjadi landasan
ontologis setiap fakta, objek pengetahuan. Sehubungan dengan faktor pembahasaan
manusia, Kalam Ilahi kemudian diwahyukan dalam bentuk al-Qur'an dan kedatangan
atau kehadiran nabi. Fakta-fakta kemudian tersimpul dalam hakekat wahyu. Oleh
karena dimensi transendentalnya maka wahyu berfungsi sebagai stimulan bagi
segenap potensi intelektual. Melalui pendengaran, wahyu merangsang aktifitas
rasional. Akal pada gilirannya, secara fungsional melakukan tiga aktifitas;
ya’ni: penyelidikan, identifikasi dan penerapan. Berkat kesadaran monorealitas
pengetahuan rasional memperoleh pencerahan. Akibatnya, pengetahuan rasional
tidak diterjemahkan dengan cara sistim argumentasi atau berdasarkan teori
korespondensi, akan tetapi dengan teori fana.
Yaitu, pada saat kesadaran intelektual mencerap keagungan Tuhan, melalui
sentuhan wahyu, seluruh sistim pengetahuan mengalami transformasi transendental
dan larut dalam objek pengetahuan. Dengan begitu kualitas penalaran meningkat
menjadi pengenalan berupa pengalaman empirik yang melihat secara nyata
objek-objek transendental dalam lingkup pemberitaan wahyu. Dari sini dapat
dimengerti mengapa penerapan praktis menjadi bagian yang inheren dalam sistim
pembenaran pengetahuan atau komformasi sufistik karena pengalaman empirik yang
memperoleh pencerahan mampu menembus taraf empirik itu sendiri kedalam wujud
transendentalnya.[22]
Seorang sufi
tiba-tiba mengalami fana, mengakibatkan
transformasi sistim pengetahuan tatkala menyaksikan benda terbakar atau
kejadian apa pun dalam fenomena alam lantaran kesaksiannya menembus taraf
empirik kedalam hakekat transendentalnya[23].
Al-Sya’rani mengutip sebuah pernyataan Al-Junaid berkenaan dengan penemuan jati diri tatkala
jiwa bersih dan kembali kepada kemurnian sejati, persis seperti saat roh diajak
Tuhan menyaksikan keesaan-Nya.[24]
Sebuah
pengamatan sufistik yang melihat keindahan alam berkenaan dengan burung-burung
yang terbang kesana kemari, diajukan Al-Junaid untuk mempertegas analisis ini. Secara
lahiriah, aktifitas burung-burung dapat ditafsirkan sebagai upaya pencarian
rejeki. Tapi menurut Al-Junaid bukan
mencari rejeki melainkan manifestasi Kalam Ilahi: “Kami menjadikan apa-apa yang
ada di muka bumi sebagai zinah,
perhiasan baginya.” (Q.S. al-Kahf: 7). Ini berarti Allah sebagai sumber
keindahan absolut dapat ‘terlihat’ secara tajalli
pada fenomena terbangnya burung-burung.[25]
Dengan
demikian pengalaman empirik sufistik tidak terbatas pada taraf lahiriah saja,
tetapi menangkap makna yang terkandung di dalamnya. Oleh sebab itu kehidupan
sufi adalah kehidupan sarat makna. Kehidupan yang terkadang dapat dinikmati
melalui sebuah aransmen musik atau kisah cinta sejati atau dalam keindahan
sebuah lukisan dan fenomena alam ataupun dalam sikap kepahlawanan.[26] Dengan
kata lain, pengetahuan inderawi dengan pola pengenalan ta’rief bukan semata-mata capaian data inderawi melainkan
pencerahan intelektual yang mampu menangkap hakekat transendental yang terdapat
pada setiap fakta empirik. Hal ini dimungkinkan oleh karena kesadaran
monorealitas memfokuskan realitas sejati pada wahyu yang berfungsi merangsang
potensi-potensi intelektual. Rangaangan yang menimbulkan getaran-getaran
psikologis pada setiap struktur jiwa sehingga seseorang dapat menemukan jati
dirinya dalam rangka membentuk integritas pribadinya yang utuh.
Menurut Al-Junaid
, hanya mereka yang memiliki integritas pribadi yang utuh yang mampu ‘menerima’
tawalli (menjadi waliyullah); ya’ni memperoleh makrifat ta’arruf. Yaitu bahwa Tuhan
memperjalankan kesaksian akan ke-Esa-an-Nya (syahadat al tauhid) pada
diri hamba sehingga seluruh sistim pengetahuan hamba ‘larut’ di dalamnya.
Pengalaman fana yang sering ditafsirkan sebagai unifikasi,
panteisme dan semacamnya. Padahal pengalaman tersebut adalah kenyataan yang
menurut al-Qur’an merupakan Tauhid paripurna.[27]
Bandung, Oktober 2010
[1] Lihat:
Ibn ‘Arabi, al futuhat al makkiyah, Dar Shadir, Beirut: tt, vol. II,
hal. 298; Lihat juga untuk uraian lebih rinci: Muhammad Nursamad, nazhariyyat
al ma’rifat ‘ind al juneid al bagdadi, Disertasi PhD, Aqidah &
Filsafat, Fakultas Ushuluddin, al Azhar University, Cairo: 1994, hal. 18- 26
[2]
Al-Nasysyar, Nasy’at al-Fkir al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Dar
al-Ma’arif, cet. VIII, 1980) vol. III, hal. 21-28; lihat juga: Abdul Halim Mahmud,
al tafkir al falsafi fi al Islam, Cairo: al Dar al Misriyah, cet. IV,
1977, vol. I
[3] Dapat
dikecualikan tulisan-tulisan Henri Corbin, Imajinasi Kreatif: Sufisme Ibn
Arabi, Yogyakarta: LkiS, 2002
[4]Al
Thablawi Mahmud Sa’d, al tasawwuf fie turats ibn taimiyah, Cairo: al
Hay’ah al Misriyah al Ammah li al Kitab, 1984
[5] Al
Subki, thabaqat al syafi’iyah al kubra, Cairo: Isa al Babiy al Halabi,
vol. II, cet. I, 1383 H/ 1964 M, hal. 260
[6] Untuk
uraian mengenai wacana tasawuf falsafi vs tasawwuf sunni, lihat al. Abdul Halim
Mahmud, al tafkir al falsafi fi al Islam, Cairo: al Dar al Misriyah,
cet. IV, 1977, vol. II, hal. 169
[7] Untuk
uraian dan kritik kaum sufi terhadap berbagai penyimpangan sehubungan dengan
pengalaman-pengalaman spiritual, lihat: al-Thusi, al-Luma’, Ed. Abdul
Halim Mahmud & Taha Abd al Baqi Surur, Cairo: Dar al Kutub al Hadietsah,
1380 H/ 1960 M, hal. 257
[8] Kamal
Ga’far, al-Tasawwuf Tharieqan wa Tajribatan wa Madzhaban, Cairo: Dar
al-Ma’rifah al-Jami’iyah, 1980, hal. 9-10
[9] Abdul
Halim Mahmud, al tafkir al falsafi fi al Islam, ibid
[10] Al
Thablawi Mahmud Sa’d, al tasawwuf fie turats ibn taimiyah, Cairo: al
Hay’ah al Misriyah al Ammah li al Kitab, 1984, hal 92
[11]Rasail
al Juneid, Ed. Ali Hasan Abd al Qadir, Cairo: Bura’i & Gaddawi, 1988,
hal. 42
[12] Al
Harits ibn Asd al Muhasibi, al ‘aql wa fahm al qur’an, Ed. Hasan al
Quwaitly, Dar al Kindi, Cet. III, 1403 H/ 1982 M, hal. 204
[13] Lihat
Abdul Halim Mahmud, qadliyyat al tasawwuf, al munqidz min al dlalal,
Cairo: Dar al Ma’arif, Cet. II, 1985
[14]
Abu Nu’eim al Asfahani, hilyat al awliya, Cairo: Maktabat al Sa’adah,
cet. I, 1399 H/ 1979 M, vol. 10, hal 265
[15]
Rasail al Juneid, ibid, hal. 68
[16]
Lihat Muhammad Nursamad, nazhariyyat al ma’rifat ‘ind al juneid al baghdadi,
Disertasi PhD, op. cit. hal 41-78
[17] Al
Harits ibn Asd al Muhasibi, al ‘aql wa fahm al qur’an, Op. Cit.
[18] Abu
Nashr al Siraj al Thusi, al luma’, Ed Abdul Halim Mahmud & Taha Abd
al Baqi Surur, Cairo: Dar al Kutub al Hadietsah, 1380 H/ 1960 M, hal 375; lihat
juga al Sahrawardi, ‘awarif al ma’arif, Cairo: Dar al Kitab al ‘Arabi,
cet. II, 1403 H/ 1983 M; Rasail al Juneid, ibid, hal 14, 68-69; Abu
Thalib al Makki, ‘ilm al qulub, Ed. Abd al Qadir Ahmad Atho, Maktabat al
Qahirah, tt. Hal 161-162
[19] Lihat
uraian Ali Sami al Nasysyar, manahij al bahts ‘ind mufakkiri al muslimin, Cairo:
Dar al Ma’arif, cet. VIII, 1980
[20] Samuel
E. Stumpf, Elements of Philosophy, McGraw-Hill Inc. 1979; lihat juga
Mahmud Zeidan, nazhariyyat al ma’rifah, Cairo: Dar al Nahdlah al
Misriyah, cet. I. 1989
[21]
Rasail al Juneid, ibid, hal 8-9
[22] Lihat
al Juneid, kitab al fana, dalam Rasail al Juneid, ibid, hal 32-33
[23] Abu
Nashr al Siraj al Thusi, al luma’, Ed Abdul Halim Mahmud & Taha Abd
al Baqi Surur, Cairo: Dar al Kutub al Hadietsah, 1380 H/ 1960 M, hal 353
[24] Al
Sya’rani, al thabaqat al kubra, Beirut: Dar al Jeil, 1408H/ 1988M
[25] Abu
Nashr al Siraj al Thusi, al luma’, hal. 163
[26]
Kamal Ga’far, al-Tasawwuf Tharieqan wa Tajribatan wa Madzhaban, ibid
[27]
Al Junaid, kitab al mitsaq, Ed. Muhammad Mustafa, taj al ‘arifin,
Cairo: Dar al Thaba’ah al Muhammadiyah, cet. I, 1408 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar