Minggu, 24 November 2013

ULUMUL QURAN: Dinamika Perkembangan Penafsiran al-Qur’an



Oleh Dr. H. Cecep Alba, MA
Penafsiran al-Qur’an adalah  suatu usaha  bagaimana  menjelaskan kalam Tuhan  agar didapat suatu kepastian  bahwa yang dimaksud  oleh suatu lafaz adalah ini dan suatu persaksian bahwa Allah memaksudkan  dengan lafaz ini adalah ini. Hal demikian,  tentu saja jika ada argumen yang qat’i maka adalah benar, dan apabila tidak ada argumen  maka adalah tafsir bi ar-ra’yi. Al-Qur’an yang samawi sifatnya perlu dibumikan dalam alam pikiran manusia, dan dalam kehidupan manusia, agar pungsi al-Qur’an sebagai hidayah bagi kehidupan manusia menjadi kenyataan.
Ulama tidak berbeda pendapat tentang keabsahan tafsir melalui pendekatan ma’sur (naql), tetapi ulama berbeda pendapat tentang penafsiran al-Qur’an melalui pendekatan ar-ra’yi. Oleh karena itu tafsīr bi ar-ra’yi terbagi dua; pertama, tafsir bi ar-ra’yi al-mahmūd (terpuji)  karena menafsirkan al-Qur’an dengan akal murni (al-‘aql al-hur),  dan kedua tafsir bi ar-ra’yi al-mazmūm (tercela), karena menafsirkan al-Qur’an  dengan hawa nafsu. Demikian juga ulama berbeda pendapat tentang kesahihan tafsir dengan pendekatan isyari. Ada yang menyatakan benar dan ada yang menyatakan tidak benar.
Muhammad sebagai Nabi dan Rasul diyakini oleh umat Islam, berdasarkan argumen-argumen, baik ‘aqli maupun naqli, memahami al-Qur’an baik secara ijmālī (global)  maupun secara tafsīlī (rinci). Allah lah yang bertanggung jawab  atas memahamkan  Nabi terhadap al-Qur’an. Menyangkut hal ini Allah berfirman dalam surat al-Qiyāmah ayat 17-19:
          إن علينا جمعه وقراْنه. فاذا قراْناه فاتبع قراْانه. ثم إن علينا بيانه       

“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya  maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya”.      (al-Qiyāmah: 17- 19).

 Walaupun demikian,   apakah Nabi menafsirkan seluruh ayat-ayat al-Qur’an atau hanya sebagian saja. Mengenai hal ini, para pakar tafsir berbeda pendapat. Ibnu Taimiyyah, misalnya berpendapat bahwa Nabi menafsirkan seluruh ayat-ayat Al-Qur’an.[1] Ia melandasi pendapatnya dengan ayat al-Qur’an, antara lain surat al-Nahl ayat  44:
          وأنزلنا اليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم ولعلهم يتفكرون [ النحل: 44]
                   “Dan Kami turnukan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat  manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan” (al-Nahl: 44).

Nabi, menurut Ibnu Taimiyyah, menjelaskan seluruh makna al-Qur’an seperti halnya beliau menjelaskan seluruh lafaz-lafaz al-Qur’an. Berbeda dengan Ibnu Taimiyyah, As-Suyuti, dengan mengutip  ucapan al-Kūbi,  berpendapat  bahwa Nabi hanya sedikit saja menjelaskan makna-makna al-Qur’an.[2]
Menengahi kedua pendapat di atas, Az-Zahabi berpendapat  bahwa Rasulullah saw. menjelaskan sebagian besar makna-makna al-Qur’an kepada para sahabatnya, sebagaimana yang dapat kita lihat dalam hadis-hadis  yang sahih, tetapi Rasulullah saw. tidak menjelaskan seluruh makna-makna al-Qur’an, sebab di antara makna-makna al-Qur’an itu ada yang hanya Allah yang berhak mengetahuinya, ada yang diketahui oleh kebanyakan ulama, ada yang dapat diketahui oleh bangsa Arab melalui pendekatan kajian kebahasaan, dan ada pula makna-makna ayat  yang seseorang tidak dimaafkan  ketidak tahuannya, karena kemuhkamannya begitu jelas.[3] Ibnu Abbas, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Jarir Aţ-Ţabari berpendapat: Tafsir ada tiga macam; pertama, tafsir yang diketahui bangsa Arab dengan  pendekatan kebahasaan, kedua, tafsir yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya, ketiga tafsir yang dapat diketahui oleh para ulama, dan terahir tafsir yang tidak ada yang mengetahinya kecuali Allah sendiri.[4]
Rasulullah saw. tidak perlu menafsirkan ayat yang untuk memahaminya kembali kepada bahasa Arab, karena  al-Qur’an sendiri diturunkan dalam  bahasa Arab, demikian juga Rasulullah tidak perlu menafsirkan  ayat-ayat yang akal mereka (bangsa Arab) segera dapat memahaminya, itulah sesuatu yang tidak ada alasan seseorang tidak mengetahuinya, karena ayat termaksud  begitu jelas maknanya bagi semua orang, dalam arti ayat tersebut merupakan ayat muhkamat. Termasuk perkara yang tidak ditafsirkan Rasulullah, perkara-perkara yang hanya Allah yang berhak mengetahuinya, misalnya mengenai kapan waktu yang pasti tentang terjadinya kiamah, hakekat ruh, juga hal-hal yang   dikategorikan sebagai perkara-perkara yang gaib. Rasulullah saw.  hanyalah menjelaskan sebagian perkara gaib bagi manusia yang lain,  meskipun Rasulullah  sendiri diberi tahu tentangnya dan beliau diperintahkan Allah untuk menjelaskannya. Demikian juga Rasulullah banyak menafsirkan al-Qur’an yang termasuk kategori bagian ketiga ini dan itulah yang diketahui oleh para ulama melalui ijtihad mereka, misalnya menjelaskan ayat-ayat yang mujmal, menakhsis ayat yang bersifat umum, menjelaskan ayat-ayat  yang musykil dan lain-lainya.[5]
Argumen lain yang menguatkan pendapat bahwa Nabi tidak menafsirkan seluruh ayat-ayat al-Qur’an ialah  bahwa sesungguhnya para sahabat radiyallāhu ‘anhum  berbeda pendapat dalam menakwilkan sebagian ayat. Sekiranya dalam masalah yang mereka ikhtilafkan itu ada naşnya dari Rasulullah tentu tidak akan terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat) dalam  masalah termaksud.[6]
Dalam kaitan dengan masalah di atas, Ibnu Khaldun berkata: al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan menurut gaya bahasa mereka. Oleh karena itu mereka (para sahabat) memahami makna-makna al-Qur’an  secara global dan perincian. Namun pemahaman mereka terhadap al-Qur’an bertingkat-tingkat sesuai dengan latar belakang kehidupan, pendidikan, keluasan  wawasan  dan keilmuan  mereka.[7]
Sebagai contoh misalnya, Umar radiya Allah ‘anhu, ketika berhadapan
dengan orang banyak berkata: Makna fākihah aku tahu, tetapi aku belum mengerti
apa yang dimaksud abbā? (‘Abasa: 31)[8]
Demikian juga ketika Umar RA. sedang berada di atas mimbar  ia membaca ayat :
او ياْخذهم على تخوف (النحل: 47)
Kemudian Umar  bertanya kepada para sahabat tentang makna takhawwuf. Lalu menjawablah salah seorang laki-laki dari Bani Huzail:
التخوف عند نا هو التنقص
Kemudian ia membawakan sebuah syi’ir sebagai syahidnya (argumennya).
Contoh lain, apa yang diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaidah dari Mujahid dari Ibnu Abbas: Aku tidak tahu apa makna fāţir as-Samāwāti, sehingga datanglah kepadaku dua orang Badwi  yang saling bersengketa menyangkut sebuah sumur. Salah seorangnya berkata:
انا فطرتها
Sementara yang satu lagi berkata: 
انا إبتداْتها[9]
Oleh karena itu, adalah tepat apa yang dikatakan Ibnu Qutaibah bahwa pengetahuan orang Arab menyangkut al-Qur’an berbeda-beda, ada yang mengetahui hingga hal-hal yang gaib, mutasyabihat, dan ada juga yang hanya mengetahui hal-hal yang sipatnya  lahiriyah  saja. Demikian juga pengetahuan  para mufassir yang datang kemudian berbeda-beda, akibatnya  bobot dan kualitas setiap tafsir pun  satu dengan yang lain tidaklah sama.
Setelah Rasululullah wafat, para sahabat mempelajari al-Qur’an dan memahamai maknanya dengan pendekatan  riwayah dari para sahabat yang paling banyak bergaul dan mendapatkan pelajaran dari Rasulullah Saw. Menurut Mustafa al-Maragi, ada sepuluh ahli tafsir yang dipandang paling dekat dan paling sering mendapatkan informasi langsung dari Rasulullah saw. menyangkut penafsiran al-Qur’an. Kesepuluh tokoh itu adalah Al-khulafā ar-Rāsyidûn yang empat; Abu Bakar, Umar, Uşman dan ‘Ali Karrama Allahu wajhah, ‘Abdullah bin Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Śabit, Abu Musa al-Asy’ari dan Abdullah bin Jubair  radiya Allahu ‘anhum.[10] 
Di antara Khulafā ar-Rasyidin, yang paling banyak meriwayatkan cara menafsirkan  al-Qur’an adalah Ali bin Abi Thalib. Ada juga yang berpendapat  bahwa Ibnu Mas’ud ternyata lebih banyak riwayatnya dari pada ‘Ali Radiya Allah anhu. Namun di antara karya para sahabat yang sampai kepada kita secara akurat adalah sahabat yang secara langsung dido’akan oleh Nabi agar menguasai ilmu agama secara sempurna dan penguasaan terhadap pola penakwilan al-Qur’an yaitu Ibnu ‘Abbas. Oleh karenanya adalah  tepat, al-Fairu Az-Zabadi menulis sebuah tafsir yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas  yang diberi nama Tanwīr al-Miqbās min Tafsīr Ibni Abbās. Kecuali itu, Ubay bin Ka’ab  yang meninggal pada tahun 20 H, menurut riwayat Abu Ja’far Ar-Rāzi  dari Ruba’i bin Anas dari Abu ‘Aliyah, memiliki sebuah tafsir yang besar. Hal ini adalah wajar karena beliau (Ubay  bin Ka’ab) adalah salah satu dari empat orang sahabat yang mengkodifikasikan al-Qur’an  di zaman  Rasulullah dan  juga merupakan sahabat yang paling ahli dalam qira’at  bahkan dipandang sayyid al-qurrā. Zaid bin Şabit yang meninggal tahun 45 H.  juga tidak kecil perananya dalam pengembangan pola penafsiran al-Qur’an, beliau adalah salah seorang penulis wahyu bahkan beliaulah yang pertama kali mengumpulkan al-Qur’an di masa Abu Bakar, dan  kemudian beliau diangkat sebagai Ketua Lajnah Tashīh Penulisan al-Qur’an di masa khilafah  Uśman bin Affan ra.[11]
Adapun langkah-langkah yang dilakukan para sahabat dalam upaya menafsirkan al-Qur’an adalah:
1.       Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Inilah bentuk penafsiran yang paling mulia.
2.       Menafsirkan ayat dengan apa-apa yang mereka hapal dari penafsiran yang dilakukan oleh Nabi.
3.       Mereka beristinbat dengan menggunakan pendekatan bahasa, keluasan wawasan mereka, dan mempertimbangkan tradisi Arab tempat al-Qur’an diturunkan.
4.       Menafsirkan ayat dengan apa-apa yang mereka dengar  dari berita ahl al-Kitab  yang masuk Islam tetapi keislaman mereka baik dan teruji.

B.     Penafsiran al-Qur’an  pada  Zaman Tabi’in
Periode pertama, pola penafsiran al-Qur’an bersumber  dari Rasulullah dan berakhir pada pola yang dikembangkan oleh para sahabat. Selepas penafsiran ala sahabat berakhir, maka munculah generasi berikutnya yang berupaya menafsirkan  al-Qur’an melalui pendekatan yang mereka kembangkan yaitu generasi tabi’in.
Pola penafsiran pada zaman tabi’in ini bertumpu pada al-Qur’an itu sendiri, (tafsīr bi al-Qur’an), kemudian  pada penafsiran yang sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh para sahabat (hadis) dan pada apa yang diriwayatkan dari penafsiran para sahabat  itu sendiri (tafsīr as-sahabat). Dalam periode ini  mulai terjadi pengambilan  sumber rujukan tafsir dari ahl al-Kitab sesuai dengan apa yang tercantum di dalam kitab mereka (Taurat dan Injil).[12] Dan terakhir tabi’in melakukan usaha maksimal secara intelektual terhadap al-Qur’an itu sendiri, yang dikenal dengan apa yang disebut tafsīr bi al-ijihad (bi arra’yi).
Jadi tampak jelas bahwa pada  generasi inilah (tabi’in) mulai mengemuka pendekatan  penafsiran al-Qur’an  dengan menggunakan metode ijtihad, sehingga dari generasi di periode ini pula   muncul   kitab-kitab tafsir yang menggunakan  pendekatan  ‘aqliyyah  (rasional). 
Pada zaman tabi’in timbul tiga kubu besar dalam pendekatan  penafsiran al-Qur’an. Pertama, kubu yang  berpusat di Makkah dengan guru utamanya  Ibnu Abbas. Sedangkan tokoh-tokohnya adalah Sa’id bin Jubair (w. 94 H.), Mujahid bin Jabr (w. 103 H.), ‘Ikrimah (w. 105 H), Ţawus bin Kaisan  ( w 106 H.) dan Aţo bin Abi Rabah al-Makki (w. 114 H). Kedua,  pola penafsiran yang berpusat di Madinah dengan guru pertamanya adalah Ubay bin Ka’ab. Adapun tokoh-tokoh mufasir penerusnya  adalah Abu al-‘Āliyah (w. 90 H.), Muhammad bin Ka’ab al-Qurazī (w.  117 H.) dan Zaid bin Aslam ( w. 136 H.). Ketiga,   pendekatan pola penafsiran yang berpusat di Irak (Kufah) yang guru  utamanya adalah Abdullah bin Mas’ud. Sedangkan tokoh-tokoh pemikir dan penerusnya  adalah ‘Alqamah bin Qais (w. 102 H.), Masrūq (w. 63 H.), Al-Aswad bin Yazid ( w. 75 H ), Marrah al-Hamdāni ( w. 76 H.), ‘Amir as-Sya’bī ( w. 105 H), Al-Hasan al-Basri (w. 110)   dan  Qatādah ( w. 117 H.).

C. Karakteristik  Penafsiran al-Qur’an  pada Masa Tabi’in

Berbeda dengan model  penafsiran di zaman Rasululullah dan Sahabat, pola penafsiran di zaman tabi’in ini memiliki karakteristik (ciri-ciri) tersendiri. Karakteristik yang menonjol adalah sebagai berikut:
1.      Bentuk penafsiran berdasar atas riwayat yang periwayatannya telah berubah wujud secara eksklusif yakni orang Mesir menafsirkan al-Qur’an  berdasar atas riwayat guru Mesir, orang-orang Makkah menafsirkan al-Qur’an berdasar atas riwayat melalui guru mereka yang berpusat di Makkah yaitu Ibnu Abbas, orang Madinah berdasar atas riwayat guru mereka yaitu Ubay bin Ka’ab, demikian juga orang-orang Irak mengambil riwayat dari guru besar mereka yaitu Ibnu Mas’ud.
2.      Pada masa tabi’in ini mulai timbul bibit-bibit perbedaan mazhab, baik mazhab dalam teologi maupun fiqh.  Sebagian tafsir mulai ada yang menampakkan kecenderungan kepada mazhab-mazhab tertentu. Misalnya Qatadah bin Di’amah As-Sadusi, pola penafsirannya cenderung kepada faham Qadariyyah sehingga ia dianggap sebagai pendukung Qadariyah. Kelihatan dengan jelas bahwa pola penafsirannya terpengaruh  oleh faham ini. Hasan al-Basri, seorang ulama tabi’in, pola penafsirannya juga cenderung mengakui adanya faham free will and free act., sehingga beliaupun diduga kuat sebagai penganut dan pengembang   faham Qadariyah.
3.      Mulai timbul banyak perbedaan pendapat dalam penafsiran  yang jauh dari pola penafsiran generasi sebelumnya yaitu para sahabat. Meskipun cara penafsiran ini masih dipandang sedikit dibanding dengan periode muta’akhir.
4.      Masuknya israiliyat terhadap tafsir. Hal itu terjadi karena banyak ahl al-kitab yang masuk Islam. Tradisi  ceritera di kalangan mereka (ahl al-kitab) terbawa ketika mereka menjelaskan al-Qur’an yang berkarakter ījāz (singkat), dalam mengungkap kisah-kisah umat terdahulu, sementara kisah yang sama diungkap secara tafsīlī  (rinci) dalam ceritera yang berkembang di kalangan ahl al-kitāb. Sebagai contoh misalnya kisah tentang awal kejadian makhluk hidup, rahasia wujud, awal penciptaan benda-benda, dan yang lainnya. Para tabi’in seringkali bermudah-mudahan dalam arti kurang  selektif sewaktu  menyikapi kisah-kisah israiliyat dimaksud sehingga mereka memasukan kisah israiliyat dalam upaya menafsirkan  al-Qur’an. Orang-orang yang banyak meriwayatkan israiliyat dalam upaya menafsirkan al-Qur’an dan merupakan sumber utama periwayatan israiliyat adalah orang muslim yang berasal dari ahl al-kitāb antara lain: Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Akhbār, Wahab bin Munabbih, Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij.[13]  
   Kecuali ciri-ciri di atas, Amin Summa, membagi ciri-ciri penafsiran di masa tabi’in, pada dua  ciri, ada ciri  posistif dan ada ciri negatif. Ciri positif penafsiran pada periode tabi’in adalah mereka mewarisi  cara dan corak penafsiran  para sahabat. Sedangkan sisi-sisi negatifnya  antara lain; Penafsiran yang mereka lakukan  dengan sistem hapalan dan periwayatan, sehingga mengalami kesulitan  dalam hal pengontrolan. Tidak lagi utuh seperti yang dilakukan  sahabat dalam meriwayatkan  informasi-informasi yang mereka peroleh dari Nabi. Periode inilah yang oleh al-Maragi disebut sebagai periode tafsir yang menghilangkan sanad.[14]

D. Penafsiran Al-Qur’an  di Masa Tadwīn (kodifikasi)
Masa tadwin  adalah masa dimana kitab-kitab tafsir mulai ditulis (dibukukan dan dikodifikasikan), tetapi pada masa  ini,  tafsir masih merupakan bagian dari kodifikasi hadis-hadis Rasulullah. Masa tadwin ini  dimulai dari  masa pemerintahan  Dinasti Umayyah dan awal berdirinya Dinasti Abbasiyah.
Setelah masa sahabat dan tabi’in berlalu maka masuklah pendekatan  penafsiran al-Qur’an pada periode berikutnya yaitu periode dimana  hadis-hadis Rasul mulai dikodifikasikan dan tafsir merupakan bagian dari kodifikasi hadis. Itulah sebabnya masa ini disebut masa tadwīn. Pada masa ini belum ada kitab tafsir yang ditulis secara tersendiri surat-demi surat, ayat demi ayat dari awal sampai akhir. Kondisi yang ada adalah  usaha para ulama yang pergi ke berbagai kota  untuk mengumpulkan hadis-hadis rasul, yang disamping usahanya itu, juga mereka menghimpun dan meneliti hadis-hadis yang menyangkut penjelasan ayat-ayat al-Qur’an (tafsir al-Qur’an), baik yang bersumber dari Rasulullah maupun dari para sahabat.
Di antara para ulama yang mengusahakan hal ini adalah Yazid bin Harun (W. 117 H.), Syu’bah bin al-Hajjāj (W. 160 H.),  Waqi’ bin al-Jarrāh ( W. 197 H), Sufyan bin ‘Uyainah (W. 198 H.), Raoh bin Ubādah al-Basri (W. 205 H), Abdurrazaq bin Hamam (W. 211 H), Adam bin Abi ‘Iyās (W. 220 H.), Abd bin Humaid (W. 249 H.). Semua  ulama yang  tersebut di atas adalah para ahli hadis. Mereka mengumpulkan  tafsir dan menyusunnya sebagai  bagian dari pembahasan hadis-hadis. Belum ada upaya mereka untuk mengumpulkan tafsir secara tersendiri dalam kitab-kitab tertentu. Banyak ulama yang datang berikutnya menukil hadis dari mereka tetapi sayang kitab-kitab karya mereka di masa tadwin  ini tidak  sampai kepada kita.[15] 
Tahapan selanjutnya, tafsir melepaskan diri dari hadis dan jadilah tafsir sebagai disiplin ilmu tersendiri, kemudian disusunlah kitab-kitab tafsir secara sistimatis sesuai dengan urutan al-Qur’an mulai dari surat al-Fātihah hingga surat an-Nās. Di antara ulama tafsir yang amat konsens perhatiannya terhadap tafsir hingga menghasilkan karya-karya tafsir monumental antara lain: Ibnu Majah     (w. 273 H.), Ibnu Jarir at-Ţabari (W. 310 H.), Abu Bakar bin Munzir an-Naisaburi (W. 318 H.), Ibnu Abi Hatim (W. 327 H.), Abu Syaikh bin Hibban (W. 369 H.), al-Hakim (W. 405 H.), Abu Bakar bin Murdawaih (W. 410 H.).[16]
Adapun pola penafsiran pada tahap ini adalah 1) Menjelaskan  ayat-ayat  melalui riwayat dari Rasulullah dengan disebutkan sanadnya baik yang sampai kepada Rasul saw.  maupun yang hanya sampai kepada sahabat, tabi’in dan tabi at-tabi’in. Dapat dikatakan bahwa  pada periode ini pola penafsiran adalah melalui pendekatan ma’śur. Sungguhpun demikian, Ibnu Jarir  maju selangkah dalam pola penafsiran, dimana beliau mengambil berbagai riwayat kemudian beliau menarjihnya. Lebih dari itu, Ibnu Jarir  melengkapi  tafsirnya dengan penjelasan i’irab jika diperlukan. Setelah itu, Ibnu Jarir mengeluarkan hukum (istinbāt al-ahkām) dari setiap ayat yang ditafsirkan.
Karena itu, wajarlah jika   As-Suyuti menyatakan bahwa kitab Ibnu Jarīr Tasir at-Ţabari adalah kitab tafsir terbesar dan teragung, sebab di dalamnya, ia mengangkat penjelasan orientasi setiap kalam, meneliti kesahihannya,  menjelaskan i’irab (kedudukan setiap kalimat) dan diakhiri dengan istinbat al-ahkām. Di dalam kitab At-Tahzīb, An-Nawawi, An-Naisaburi asy-Syafi’i menyatakan: Kitab Tafsir Ibnu Jarir belum ada seorangpun yang menyusun kitab tafsir yang menyerupainya.[17]
Langkah  kedua, pola penafsiran tidak berhenti pada tahapan  tersebut tetapi maju lagi ke tahapan berikutnya, pola penafsiran masih bertumpu pada bentuk penafsiran bi al-ma’śur. Hanya saja pada tahapan ini banyak para mufassir   menulis kitab-kitab tafsir dengan tidak menyebutkan sanad-sanadnya, mereka hanya menukil pendapat-pendapat dari para mufassir yang  mendahuluinya dengan tidak menisbahkan kutipan tersebut  kepada para pemilik pendapat-pendapat termaksud. Sehingga akibatnya, mulailah terjadi pemalsuan  pada kitab-kitab tafsir,  bercampurlah antara penafsiran yang benar dan yang salah.
Orang yang tidak cermat, melihat bahwa apa-apa yang tercantum dalam kitab-kitab tafsir semuanya adalah benar, lalu para mufassir yang datang berikutnya  mengutip dari apa yang tercantum dalam tafsir-tafsir tersebut untuk kitab-kitab yang mereka susun. Mereka mengutip dari kitab-kitab tafsir itu ceritera-ceritera israiliyat dan dipandang oleh mereka sebagai informasi yang benar. Akibatnya dapat diterka, pada periode inilah dalam pandangan  para  kritikus tafsir  terjadi  pemalsuan dan tumbuh suburnya penafsiran israiliyat dalam upaya pengembangan pola penafsiran al-Qur’an.
Para  mufassir yang menulis tafsir dengan pola sebagai diterangkan di atas, yang paling masyhur adalah sebagai berikut:
1.      Abu Ishaq Az-Zujāj Ibrahim bin As-Siri an-Nahwî ( W. 310 H.), kitab tafsirnya adalah  Tafsīr Ma’āni al-Qur’an.
2.      Abu ‘Ali al-Fārisi al-Hujjah as-Śabt fī al-Lugah wa al-Balāgah. Ia penulis yang produktif dalam berbagai disiplin ilmu khususnya dalam bidang  ilmu tafsir. Ia wafat pada tahun 377 H.
3.      Abu Bakar Muhammad bin al-Hasan, yang terkenal dengan sebutan An-Nuqas al-Musili, meninggal tahun  pada 351 H.
4.      Abu Ja’far an-Nuhās an-Nahwi al-Misrī ( W. 337 H. ).
5.      Makki bin Abi Ţālib al-Qisi an-Nahwī al-Magribī ( W. 437 H.).
6.      Abu al-‘Abbas  Ahmad bin ‘Ammar al-Mahdī (W. 430 H.). Kitab tafsir yang beliau tulis  adalah  at-Tafsīr al-Jāmi li Ulūm al-Tanzīl.[18]
Tahapan berikutnya, adalah tahapan dimana terjadi adanya percampuran antara pola penafsiran yang menggunakan pendekatan bi al-naql (riwayat dari Nabi) dengan pola penafsiran yang menggunakan pendekatan ar-ra’yi. Pola penafsiran ini berkembang sejak masa Dinasti Abbasiyah hingga sekarang ini. Periode ini, kecuali sebagai awal berkembangnya pola penafsiran bi ar-ra’yi (rasional), juga sebagai awal munculnya corak-corak penafsiran. Corak penafsiran  (al-laun at-tafsīr) adalah kecenderungan penafsiran sesuai dengan keahlian  para mufassir.
Pada masa ini, ilmu bahasa dikodifikasikan,  khususnya ilmu nahwu dan ilmu saraf, perbedaan mazhab dalam fikih mulai berkembang, masalah-masalah kalam muncul ke permukaan, panatisme golongan dan mazhab mulai menampakkan dirinya di tengah-tengah kehidupan, aliran-aliran keislaman muncul dan mengembangkan faham dan ajarannya ke tengah-tengah masyarakat, demikian juga buku-buku filsafat diterjemahkan secara besar besaran ke dalam bahasa Arab, akibatnya, mudah ditebak,  kondisi tersebut di atas mempengaruhi pola penafsiran al-Qur’an sekaligus memunculkan corak penafsiran al-Qur’an yang bermacam-macam.
Lebih dari itu, akibat perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin terbuka, di berbagai belahan dunia Islam, khususnya di wilayah timur tengah, berkembang kecenderungan terpengaruhnya kehidupan intelektual oleh peradaban Yunani, Farsi dan India,  sehingga kondisi seperti ini, langsung atau tidak langsung mempengaruhi para ulama tafsir  untuk menulis tafsir secara luas sesuai dengan kecenderungan intelektual tersebut yang tidak sama dengan tafsir-tafsir yang sebelumnya. Kebebasan berfikir di satu sisi, keterikatan oleh teks wahyu di sisi lain, melahirkan tafsir yang khas pada saat ini.[19]
Sebagai ilustrasi, misalnya, orang yang ahli dalam ilmu bahasa, menulis tafsir yang menampakkan keahliannya dalam disiplin ilmu bahasa tersebut. Ia mengungkap masalah-masalah ilmu nahwu, cabang-cabang ilmu nahwu dan perbedaan pendapat dalam ilmu ini secara mendalam, sehingga yang muncul, tafsir itu adalah penjelasan tentang i’irab dan berbagai permasalahannya. Corak tafsir demikian, misalnya, dilakukan oleh  Az-Zujāj dalam tafsirnya Ma’āni al-Qur’an, Al-Wahidi dalam Tafsīr al-Basîţ, dan Abu Hayyan dalam Tafsīr al-Bahr al-Mukhīţ.
Di antara  penulis tafsir (mufassir) ada juga orang yang mengarahkan tafsirnya pada kisah dan ceritera-ceritera di masa silam. Ia menukil keluasan ceritera dan kisah bukan hanya dari hadis Nabi tetapi juga dari israiliyat, kitab tarikh, taurat, injil dan kitab-kitab yang dipakai di kalangan Yahudi dan Nasrani. Mereka mengambil semua kutipannya itu tanpa menyeleksi antara yang benar dan yang salah,  antara yang sesuai dengan syari’ah dan yang tidak, antara yang rasional dan yang tidak. Mufassir  termashur, yang menggunakan pendekatan  serupa  ini adalah as-Śa’labi, dan ‘Alāuddīn bin Muhammad al-Bagdādī (Wafat tahun  741 H.) dalam kitabnya tafsīr al-Khazîn.
Para filosof, dalam  karya  tafsirnya banyak mengemukakan pemikiran filosofis dan pendapat para filosof dan pola penafsirannya cenderung rasional sesuai dengan karakteristik falsafah itu sendiri. Sebagai misal gaya penafsiran seperti ini, tampak dalam  kitab tafsir Mafātih al-Gaib karya al-Fakhr Ar-Rāzī.
Para ahli fikih, dalam tafsir yang mereka susun banyak mengangkat masalah-masalah furu’ dalam hukum Islam. Mereka mengajukan argumen yang mendukung mazhab pegangannya  dan sebaliknya menolak pendapat yang tidak sesuai dengan  kecenderungan mazhabnya. Misalnya tafsir al-Jassôs al-Hanafi, , Tafsir al-Qurtubi al-Maliki, tafsir al-Kiya al-Harāsi as-Syafi’i.[20]
Demikian juga para sufi (ahli tasawuf)  mengangkat masalah-masalah mistisisme; masalah targīb dan tarhīb, mengeluarkan makna-makna isyarat yang sesuai dengan  ajaran tasawuf dan riyādahnya. Sebagai contoh Ibnu ‘Arabi dalam kitab ensiklopedianya, al-Futūhāt al-Makkiyyah dan tafsir al-Qur’an al-Karīm dan demikian juga  Abu Abdirrahman al-Sulami dalam kitab tafsirnya Haqāiq at-Tafsīr[21]
Para sufi melakukan   penafsiran melalui pendekatan isyāri terhadap hal-hal yang mendalam yang tidak bisa diungkap oleh mufassir lain kecuali oleh para ahli suluk. Penjelasan melalui isyarat-isyarat itulah makna yang dimaksud dalam setiap firman Tuhan. Selanjutnya para sufi menyatakan  bahwa   cara penafsiran serupa ini merupakan bukti kesempurnaan iman dan kedalaman ‘irfan.[22]
Pada periode ini, kita bisa melihat bahwa  corak penafsiran tumbuh secara pesat seiring dengan tumbuh dan berkembangnya berbagai disiplin ilmu yang ada pada masa itu. Pada masa keemasan Islam ya’ni masa kejayaan Dinasti Abbasiyah yang antara lain ditandai dengan pesatnya pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam, baik yang berpusat di Bagdad, Mesir, Andalusia mapun di pusat-pusat kebudayaan Islam lainnya. Kefakaran dalam bidang ilmu tertentu  secara signifikan mempengaruhi pola penafsiran mereka ketika mereka menulis kitab-kitab tafsir.
Perkembangan berikutnya, muncul pula metode baru dalam upaya menafsirkan al-Qur’an yaitu metode maudu’i, ya’ni akar-akar munculnya metode tematik dalam ilmu-ilmu keislaman.  Ibnul Qayyim lah orang yang pertama kali menyusun kitab dengan pendekatan maudūī. Buku yang ia tulis adalah “Aqsām al-Qur’an”, disusul oleh Abu ‘Ubaidah dengan karyanya: “Majāz al-Qur’an”, tak lama kemudian terbit juga buku yang ditulis oleh Abi Ja’far an-Nuhās “An-Nāsikh wa al-Mansūkh”. Kemudian al-Jaşşas dengan bukunya “Ahkām al-Qur’an”.[23]
Dalam berbagai kajian tafsir, menurut Muhammad al-Gazali, kita banyak menemukan metode memahami al-Qur’an yang berawal dari ulama generasi terdahulu. Mereka telah berusaha  memahami kandungan al-Qur’an sehingga lahirlah apa yang kita kenal dengan metode  interpretasi al-Qur’an. Kajian-kajian ini berkisar pada usaha-usaha menemukan nilai-nilai sastra, fikih, kalam, aspek sufistik, aspek filosofisnya, pendidikan dan sebagainya, yang tidak mungkin disebut satu persatu.[24] Selanjutnya Muhammad al-Gazali mempertanyakan: Dengan metode yang telah ada, dapatkah kita menggunakannya  pada zaman sekarang? Nampaknya Muhammad al-Gazali meragukan relevansi metode yang telah ada dengan kehidupan moderen yang semakin kompleks. Itulah sebabnya dalam bahasan selanjutnya ia memberikan metode alternatif yang disebutnya sebagai metode moderen dalam upaya memahami al-Qur’an. Metode dimaksud tidak lain adalah metode tematik. Dalam aplikasi metode tersebut, umpamanya ia mencontohkan tentang pembahasan Ulu al-Bāb. Dalam kaitan dengan hal di atas selanjutnya  ia menyatakan:
Dari sini dapat kita pahami bahwa pernyataan-pernyataan al-Qur’an, seperti yang saya kemukakan, tidak dikotomis dan varsial, tetapi universal. Meski demikian, kita masih dituntut untuk berusaha membuat interpretasi rasional atau berusaha keras untuk mengungkap rahasia-rahasia dibalik pernyataan ayat-ayat dan menyimpulkannya untuk menjadi satu dasar yang utuh dengan cara mencontoh metode dialogis al-Qur’an yang universal.  Dari satu ayat dapat kita kaitkan dengan masalah-masalah alam, balasan, jiwa manusia, keimanan, dan akhlak secara sistematik. Tentu saja metode ini tidak dapat kita jumpai, kecuali dengan mencontoh metode al-Qur’an itu sendiri.[25]

 Ide dasar yang dikemukakan Muhammad al-Gazali, kelihatannya merupakan refleksi dari pemikiran dan gagasan  pembaharuan  metode penafsiran al-Qur’an sebagaimana diangkat oleh Muhammad Abduh  dalam tafsir moderennya yakni  tafsir al-Manār.

E.     Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir Sufi
Tafsir sufi adalah  penjelasan   maksud Tuhan dalam al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan isyāri dan atau intuisi.  Tafsir Sufi ini muncul karena ada paradigma dasar yang  menyatakan bahwa Tuhan Yang Mahasuci tidak dapat didekati kecuali oleh orang yang suci. Demikian juga kalam Tuhan yang suci tidak dapat dipahami kecuali oleh orang yang hatinya  suci.  Tasawuf  adalah suatu proses pensucian hati supaya dekat dengan Tuhan dan dalam perkembangan selanjutnya dapat memahami kalam Tuhan.  Para sufi berpendapat bahwa salah satu cara untuk dapat menafsirkan al-Qur’an secara sufistik adalah dengan jalan takwil. Itulah sebabnya tafsir sufi  secara terminologis didefinisikan  sebagai berikut:
تاْويل القرأن بغير ظاهره لاشارة خفية تظهر لارباب السلوك والتصوف ويمكن الجمع بينها   وبين الظاهر المراد ايضا [26]

“Mena’wilkan al-Qur’an dengan pengertian yang tidak Nampak (tersembunyi)  karena ada isyarat-isyarat yang halus  yang nampak kepada para pelaku suluk dan  tasawuf. Dan bisa juga memadukan antara makna yang tidak nampak tadi (batin) dengan makna yang zahir yang dimaksud oleh lafaz”.

Ta’wil dalam tradisi kaum sufi berbeda dengan ta’wil dalam persepektif ilmu Balagah, meskipun asal  arti ta’wil adalah mengalihkan makna. Dalam ilmu Balagah ta’wil terjadi karena ada karinah-karinah dari sisi kebahasaan. Sedangkan ta’wil dalam tradisi kaum sufi, terjadi karena ada makna batin yang dipahami oleh para sufi dan tidak oleh yang lain.  Bagi kaum sufi ta’wil adalah pengalihan makna dari yang nampak (zahir)  kepada yang tidak nampak (batin) karena ada karinah-karinah yang membolehkan terjadinya pengalihan makna termaksud. Karinah tersebut begitu samar sehingga hanya para sufilah yang dapat menangkapnya.
Ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud makna zahir dan batin. Menurut Manna al-Qattan, makna zahir adalah makna yang segera dipahami hati sebelum  yang lain. Sedangkan “batin” adalah makna yang ada dibalik zahir berupa isyarat-isyarat yang samar yang hanya nampak kepada ahli  suluk[27]   Ibnu Naqib mengatakan “Zahir” adalah makna yang tampak bagi para ahli ilmu secara jelas. “Batin” adalah rahasia yang terkandung  di dalamnya yang diperlihatkan Allah Swt kepada para ahli hakekat.[28]
Az-Zarkasyi, menyatakan bahwa ada empat pendapat tentang makna zahir dan batin. Pertama, menurut Imam Hasan jika anda membahas batin ayat lalu anda menganalogikan makna batin tadi ke makna zahir maka anda  telah melakukan langkah yang benar. Kedua, pendapat Abu ‘Ubaidah: Kisah-kisah dalam al-Quran zahirnya adalah  informasi tentang celakanya umat di masa lampau sedangkan batinnya adalah mau’izah (petuah dan pelajaran) bagi umat  umat yang datang kemudian. Ketiga, Ibnu Mas’ud menyatakan bahwa tidaklah suatu ayat datang kecuali telah diamalkan oleh kaum di masa itu dan akan datang kaum yang  mengamalkan di masa mendatang. Keempat, ulama mutaakhirin mengartikan “zahir” adalah lafaznya sedangkan “batin” adalah ta’wilnya.[29]
            Konsep makna lahir dan makna batin ini muncul karena ada hadis Nabi yang berbunyi:
                ما من ايه فى القران الا ولها اربعة معان ظاهر وباطن وحد ومطلع[30]
            Tidaklah suatu ayat turun kecuali baginya ada empat makna; zahir, batin had dan mathla’.

            Ulama berbeda pendapat tentang makna ke empat istilah tersebut. At-Tustari berpendapat bahwa yang dimaksud zahir adalah bacaannya, batin adalah pemahamannya, had  adalah makna yang menyangkut halal dan haram, sedangkan maţla adalah kecenderungan hati  terhadap apa yang dimaksud ayat  sebagai pengertian yang diberikan Allah Swt. Ilmu zahir adalah ilmu umum sedangkan pemahaman terhadap batin ayat itulah yang dimaksud dengan tafsir khusus.[31]
            As-Syatibi mengartikan zahir  adalah zāhir at-tilāwah  artinya bacaan yang nampak sedangkan batin adalah pemahaman yang diberikan Allah untuk mengetahui yang dimaksud dengan firman-Nya.[32] Selanjutnya as-Syatibi menyimpulkan  bahwa yang dimaksud zahir adalah pemahaman yang dimengerti oleh orang yang tahu bahasa Arab, sedangkan batin adalah maksud Allah dengan firmannya dan khitab-Nya. Bagi setiap jalan dari jalan-jalan yang diturunkan ada “had” yakni ada tujuan yang dikehendaki Allah, dan bagi setiap “had” dan nihayah ada “maţla” yakni permulaan yang menyampaikan ke pemahaman yang sesuai dengan yang dikehendaki dan dimaksud oleh Allah.[33]    
Ibnu ‘Arabi termasuk mufassir sufi yang menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an dengan jalan ta’wil. Karena bagi Ibnu ‘Arabi seperti bagi  sufi yang lain, setiap lafaz dalam al-Qur’an mengandung makna zahir  dan batin. Makna zahir adalah makna yang dijelaskan oleh para rasul  kepada umatnya menyangkut ilmu syari’at, sedangkan makna batin adalah makna yang diketahui para wali yaitu ilmu hakikat.[34] Pemahaman makna batin ini semata-mata merupakan pancaran dari Tuhan  sebagai sebuah intuisi (ilhām) karena si sufi berusaha mensucikan hatinya sesuci-sucinya agar ilmu Tuhan datang dengan sendirinya. Selanjutnya Ibnu ‘Arabi menyatakan bahwa  ucapan ahli hakikat menyangkut makna-makna isyarat  dalam al-Qur’an pada dasarnya adalah penjelasan terhadap maksud Allah.[35]  Lebih jauh Ibnu ‘Arabi berpandangan bahwa ilmu pun terbagi dua; ada yang disebut ilmu zahir itulah ilmu syari’at. Ilmu Syari’at adalah ilmu yang diberikan Allah kepada para  nabi dan rasul. Sementara ilmu batin adalah ilmu yang diketahui para wali yaitu ilmu hakekat. Dengan demikian, bagi Ibnu ‘Arabi setiap ayat dalam al-Qur’an  mengandung makna syari’at dan mengandung makna
hakekat. Makna syari’at dalam perkembangan selanjutnya melahirkan ilmu syariat  (fikih),  sedangkan makna hakekat melahirkan ilmu hakekat atau disebut juga ilmu tasawuf. Jadi penafsiran secara batin adalah menjelaskan al-Qur’an  dengan pendekatan sufistik sehingga melahirkan tafsir tasawuf. Untuk dapat melahirkan tafsir tasawuf tentu saja tidak sembarang orang, kata Ibnu ‘Arabi hanya para sufilah yang dapat menafsikan ayat secara batin. Betapa penting para sufi  bagi Ibnu ‘Arabi, hingga ia menganggap  para sufi sebagai keluarga Allah (ahl Allah).
Dalam pola penafsiran ayat, Ibnu ‘Arabi konsisten dengan paradigma yang ia bangun bahwa setiap ayat mengandung  arti zahir dan batin. Makna batinlah yang ia jelaskan, sedangkan makna zahir, tidak ia angkat penjelasannya,  kadang-kadang ia menganggap  pemaknaan ayat secara zahir   sebagai aqidah awam. Ia selalu membandingkan arti zahir dan batin seperti halnya ia selalu membandingkan antara al-‘Aql dengan az-Zauq. Al-‘Aql dianggapnya sebagai  bahasa lahir sementara az-zauq (rasa) adalah bahasa batin.[36]
Dalam redaksi lain, ia menjelaskan bahwa makna zahir adalah makna yang menunjuk kepada  syari’at secara nyata, sementara  batin adalah makna yang menunjuk kepada  pengertian yang dalam dan makna itulah yang ia maksud yaitu makna hakekah (tasawuf) dan menjadi pegangan mazhabnya. Ia merasa perlu mengangkat makna zahir semata-mata untuk mengakui eksistensi fikih dan menghargai fukoha tetapi ia selalu berimajinansi  bahwa pukoha adalah kelompok yang kontra produktif terhadap pengembangan ilmu batin.[37]
Berkaitan dengan tafsir sufi,  At-Taftazani berkata;  Pendapat para ahli tahqiq yang menyatakan bahwa naş-naş al-Qur’an harus dipahami secara lahir, namun dalam pada itu terdapat di dalamnya isyarat-isyarat yang halus dan mendalam yang terbuka bagi para ahli suluk dan tasawuf yang dapat dipadukan antara isyarat-isyarat batin tadi dengan makna-makna  zahir, maka   hal itu merupakan kesempurnaan iman dan kedalaman ‘irfan.[38]  Penafsiran  teks secara literal adalah ‘badan’ aqidah. Sementara penafsiran yang lebih mendalam  menempati posisi  sebagai ruh. Badan manakah yang bisa hidup  tanpa ada ruh. Demikian kata Nasiruddin Khasru.[39]
Dari pendapat-pendapat di atas, ahirnya Az-Zarqani menyimpulkan bahwa tafsir sufi yang lazim disebut tafsir isyari berbeda dengan tafsir batini yang ilhādiyah (menyimpang). Perbedaan termaksud adalah bahwa tafsir sufi  tidak menapikan makna lahir  bahkan mereka memperdalam makna lahir tersebut  untuk bisa masuk ke makna batin, sehingga para mufassir sufi menyatakan barang siapa yang mengaku memahami rahasia-rahasia al-Qur’an  tetapi tidak menerima makna-makna lahir maka tak ubahnya seperti orang yang mengaku dapat sampai ke tengah rumah sebelum melewati pintu.[40]
Timbulnya tafsir sufi dalam sejarah intelektual Islam  bersamaan  dengan tumbuhnya tasawuf dalam Islam. Para sejarawan sepakat bahwa tasawuf dalam arti  hidup zuhud dan menjauhi  keterikatan dengan dunia telah ada sejak zaman Rasulullah saw. Tetapi timbulnya tasawuf  sebagai suatu disiplin ilmu dan amaliah yang khusus dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt. datang  kemudian. Demikian juga tafsir tasawuf, meskipun kecenderungan orang untuk berfikir secara sufistik telah ada sejak tumbuh pesatnya ilmu pengetahuan di zaman Dinasti Abbasiyah, tetapi tafsir sufi yang ditulis secara sistematis dan mencakup  keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an muncul kemudian.
1. Mufassir pertama yang mencoba menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan sufistik adalah Abu Muhammad Sahl bin Abdillah bin Yunus bin ‘Isa bin Abdillah  at-Tustari. Ia dilahirkan di Tustar, suatu desa di wilayah Ahwaz Irak, pada tahun 200 H. Menurut riwayat yang lain tahun 201 H. Penulis tafsir sufistik yang lebih terkenal dengan sebutan at-Tustari  ini adalah seorang tokoh ma’rifah  yang tidak ada bandingannya dalam kehati-hatiannya (wara’). Ia memiliki karāmah, ia bertemu dengan Zun Nūn al-Misrī di Makkah. At-Tustari menghabiskan  sebagian hidupnya di Basrah  hingga ia meninggal di tempat yang sama pada tahun 283 H. Sedang menurut sebagian riwayat tahun 273 H.[41]
Tafsir  al-Qur’an al-‘Ażīm yang ia tulis, sebenarnya merupakan penjelasan terhadap  ayat-ayat al-Qur’an yang berserakan. Kemudian seorang murid dan pengikut setianya  yang bernama Abu Bakar Muhammad bin Ahmad  al-Baladi mencoba merekontruksi kembali penafsiran at-Tustari tersebut sehingga menjadi sebuah karya yang sisitimatis lalu ia  menghimpun karyanya itu dalam sebuah kitab yang tidak terlalu  besar. Pembaca  dapat melihat bahwa pola penafsiran at-Tustari yang sufistik itu ternyata pada umumnya diawali dengan pengertian makna-makna lahir lalu disusul dengan penjalasan makna batin, had dan matla setiap ayat.  Sebagaimana Ibnu ‘Arabi, at-Tustari juga  berpendapat bahwa setiap ayat mengandung makna lahir dan makna batin. At-Tustari[42] menyatakan:
            فا لظاهر: ألتلاوة , والباطن: الفهم, والحد: حلالها وحرامها. والمطلع: إشراق القلب              على المراد بها فقها من الله عز وجل. فالعلم الظاهر علم عام, والفهم لباطنه والمراد به خاص.

Makna lahir adalah bacaan, batin adalah pemahaman, sedangkan had adalah penjelasan tentang haram dan halal. Sementara matla’ adalah konsentrasinya hati terhadap apa yang dimaksud dengan ayat, sebagai suatu pemahaman yang datang dari Allah Swt. Ilmu lahir adalah ilmu yang umum sedangkan pemahaman terhadap batinnya  itulah yang dimaksud dengan ilmu khusus”.

Selanjutnya, At-Tustari berkata: Tidaklah Allah mengangkat seorang wali dari umat Muhammad saw. kecuali Allah mengajarnya al-Qur’an, baik lahir maupun batin. Dikatakan kepadanya; yang lahir kita pun tahu maksudnya,  bagaimana dengan yang batin, dan apa yang dimaksud? At-Tustari menjawab: “Maksud batin adalah pemahamannya dan pemahaman itulah yang  dikehendaki”.
Dari statemen di atas, maka dapat dikatakan bahwa At-Tustari mengartikan makna lahir  sebagai makna etimologis (makna menurut tinjauan akar kata).  Adapun makna batin adalah makna yang dipahami dari lafaz  dan dikehendaki oleh Allah dengan firman-Nya itu. Dengan demikian, makna lahir  adalah pengertian yang bersipat umum, setiap orang yang mengerti bahasa Arab akan memahaminya. Sedangkan makna batin adalah perkara khusus yang hanya diketahui  oleh Ahlullāh (para sufi) dengan cara Allah memberitahukan maksud batin tersebut kepada kaum sufi.
Di dalam tafsirnya, At-Tustari tidak hanya mendatangkan interpretasi secara  isyāri, tetapi seringkali ia mengangkat  interpretasi ayat al-Qur’an secara zāhiri yang selanjutnya ia mengakhiri  dengan penafsiran secara isyari. Tetapi tidak jarang At-Tustari hanya mengangkat  makna yang tersurat saja (isyari), seperti halnya kadang-kadang dalam penafsirannya terhadap suatu ayat hanya  pengertian zahir saja yang ia ungkapkan.
Sebagai bukti ketasawufannya, kecuali ia menggunakan pendekatan sufistik, juga ia banyak membicarakan proses pensucian hati, cara menghiasai diri dengan akhlak al-karimah dan keutamaan-keutamaan yang ditunjuki al-Qur’an meskipun petunjuk itu secara tersirat (isyarah). Dalam pada itu, sebagai bentuk pengayaan terhadap tafsirnya, seringkali ia mengusung kisah-kisah orang-orang yang salih sebagai syahid (argumen) atas pembahasan yang ia terangkan.[43]
Contoh penafsiran at-Tustari:
    واتخذ قوم موسى من بعده من حليهم عجلا جسدا له خوار  (الاعراف: 148)
“Dan kaum Nabi Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara”    (al-A’rāf: 148) .

Menurut at-Tustari, ‘ijlan (anak sapi) adalah apa saja  yang memalingkan manusia dari Allah. Mungkin keluarga ataupun anak sendiri, yang manusia tidak bisa lepas daripadanya kecuali setelah hilangnya keuntungan-keuntungan yang merupakan sebab  terikatnya manusia  kepada “anak sapi” tersebut. Sebagaimana umat Musa tidak bisa melepaskan diri dari penyembahan  terhadap anak sapi kecuali dengan cara membunuh diri mereka sendiri.[44]
Contoh lain dari tafsir at-Tustari:
وفديناه بذبح عظيم  (الصافات: 107)  
“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar           (as-Şāffāt: 107).

At-Tustari berkata: Ketika Ibrahim  sangat mencintai putranya (Ismail) dengan tabiat kemanusiaannya, yang didapatkannya dari Allah, karena anugrah dan pemeliharaan-Nya, maka Allah memerintahkan Ibrahim   untuk menyembelih anaknnya itu. Maksud perintah itu  bukanlah untuk dilaksanakannya  penyembelihan, tetapi adalah terlepasnya rasa cinta Ibrahim  kepada selain Allah. Maka setelah jiwa Ibrahim bebas  dari rasa cinta kepada selain Allah, maka Allah menebus anaknya itu dengan seekor sembelihan yang besar (kambing).[45]
2.  Di antara kitab-kitab tafsir isyari yang muncul  secara ikmāli (lengkap) adalah tafsir  “Garāib al-Qur’an wa Ragāib al-Furqān” yang tekenal dengan sebutan tafsir An-Naisaburi (nama penulisnya sendiri). Nama lengkap an-Naisaburi adalah Nizām ad-Dīn Ibnu al-Hasan bin Muhammad bin al-Husin al-Khurasani an-Naisaburi, populer dengan sebutan Nizām al-‘Araj.  (w. 728 H).[46]
Imam an-Naisaburi mempunyai cara tersendiri (khas) dalam upaya menafsirkan al-Qur’an, yang mungkin tidak dimiliki oleh mufassir sufi yang lain. Dalam tafsirnya beliau menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1.        Memulai dengan menerangkan segi-segi qira’at, dengan menyebutkan apa-apa yang dinisbahkan  kepada para imam yang sepuluh, dengan menisbahkan masing-masing qira’at kepada ahlinya.
2.        Membagi ayat-ayat dalam kelompok-kelompok pokok pembicaraan dan membahas ajaran-ajaran yang terkandung dalam  tiap-tiap kelompok ayat.
3.        Setelah kedua langkah itu, ia memulai penafsiran dengan menyebutkan  kaitan antara ayat yang sedang ditafsirkan  dengan ayat yang mendahuluinya. Kemudian dilanjutkan  dengan menjelaskan  pengertian ayat-ayat dengan susunan yang kuat, yang menunjukan keluasan ilmu bahasa, gramatika dan bayannya.
4.        Apabila ia selesai  menafsirkan ayat  menurut  pengertian lahirnya,  seringkali kita jumpai  beliau menambahkan penjelasan ayat secara   isyari, berdasarkan atas apa yang Allah anugrahkan kepada beliau, atau dengan menyebutkan  pandangan-pandangan para sufi.
Sebagai contoh, ketika an-Naisaburi menafsirkan ayat 67 surat al-Baqarah.
واذ قال موسى لقومه ن الله ياْ مركم أن تذ بحوا بقرة  (البقرة: 67)
“Ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk menyembelih seekor sapi” (Q. S. al-Baqārah: 67)

Setelah menerangkan  pengertian lahir ayat, beliau berkata: Takwil “menyembelih sapi” dalam ayat di atas  merupakan isyarat  terhadap penyembelihan nafsu bāhimiyyah (nafsu kebinatangan), dengan pisau riyādoh (yakni riyādoh yang bagaikan pisau), sebab menyembelih nafsu kebinatangan  dapat mengakibatkan hidupnya ruh hati (kehidupan rohani), dan itulah yang dinamakan jihad akbar (perjuangan yang lebih besar). Sebagaimana terungkap dalam statemen populer para sufi:
موتوا قبل أن تمو توا
Artinya matilah kamu sebelum kamu mati.
Dalam sebuah syair disebutkan:
 أقتلوني يا ثقاتي---- إن في قتلي حياتي
وحيا تي في مما تي--- ومماتي  في حيا تي

Bunuhlah aku wahai kepercayaanku----Sesungguhnya dalam matiku ada kehidupanku
Kehidupanku ada dalam matiku-------- Dan matiku ada dalam hidupku

Matilah dengan kehendakmu maka hiduplah kamu dengan karaktermu. Sufi yang lain menyatakan: “Matilah kamu dengan tabi’at maka hiduplah kamu dengan hakekat”. Apakah itu? An-Naisaburi menulis: Itulah nafsu kebinatangan, yaitu nafsu yang tepat  dibunuh dengan pedang kebenaran.[47]
 Ayat selanjutnya berbunyi (lā fāridhun) (tidak tua); maksudnya tidak dalam usia tua hingga lemah untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam menempuh jalan (suluk). (walā bikr), tidak pula dalam puncak usia muda, yang masih terbuai oleh kenikmatan hidup. Pertengahan antara keduanya, karena Allah telah berfirman: “Sehingga apabila sudah cukup dewasa  dan telah mencapai usia empat puluh tahun”. Sapi betina berbulu kuning merupakan isyarat  kuningnya wajah para ahli riyadoh.  (fāqi’un launuha): kuning tua warnanya, maksudnya warna kuning yang indah, bukan kuning kotor. Warna kuning yang indah itu adalah rona wajah orang-orang yang saleh.[48]
3. Tafsir “Haqāiq at-Tafsīr” ditulis oleh Abu Abdirrahman Muhammad bin Husain bin Musa Al-Azdi As-Sulami.
Nama yang masyhur bagi penulis tafsir tersebut adalah As-Sulami. Ia dilahirkan pada tahun 330 H.   dan wafat tahun 412 H. Beliau adalah seorang Syaikh Sufiyyah dan orang paling alim di wilayah Khurasan. Disampinga beliau  sebagai seorang sufi yang mendalam ilmu dan amal dalam ketasawufannya, ia juga adalah seorang ahli hadis. Ia menghabiskan waktu tidak kurang dari  40 tahun  untuk menulis dan mengimlakan hadis. Ia menulis hadis-hadis tersebut  di Nisafur, ‘Irak, Hijaz dan beliau menghimpun banyak hadis untuk masyarakat Khurasan. Oleh karena itu  adalah wajar apabila  banyak murid-muridnya khususnya para pengkaji hadis yang mengambil hadis dari beliau.  Di antara para penghapal   hadis itu   adalah  Al-Hakim Abu Abdillah, Abu al-Qasim al-Qusyairi. As-Sulami  adalah seorang sufi yang  produktif, tidak kurang dari seratus judul kitab yang telah  ia tulis, mulai dari masalah tasawuf, sejarah, hadis dan tafsir.[49]
Tafsir As-Sulami[50] mencakup semua surat yang ada dalam al-Qur’an, tetapi beliau tidak membahas  semua ayat, hanya bagian-bagian tertentu saja yang ia tafsirkan dari ayat-ayat. Sama sekali As-Sulami  tidak mengangkat  pengertian-pengertian lahir dari setiap ayat, melainkan beliau secara langsung memahami ayat-ayat secara isyāri. Sungguhpun demikian, tidak berarti As-Sulami menolak pengertian lahir. Hal itu dapat dilihat dari pernyataan As-Sulami  sendiri  dalam muqaddimah tafsirnya sebagai berikut:
     أحب أن أجمع تفسير أهل الحقيقة في كتاب مستقل كما فعل أهل الظاهر
 “Aku ingin mengumpulkan tafsir ahli hakikat  dalam sebuah kitab yang khusus (tersendiri) sebagaimana dilakukan oleh ahli dahir terhadap tazfsir zahiri”[51]

Kelihatannya apa yang ditulis As-Sulami dalam tafsirnya merupakan kumpulan pendapat para ahli  hakekat (tasawuf) yang ia sistimatisir sesuai dengan tertib al-Qur’an, kemudian ia publikasikan agar dibaca orang banyak  dan hasil karyanya  itu diberi nama  “Haqāiq at-Tafsīr”. Berkaitan dengan kenyataan di atas, As-Sulami mengaku; Tatkala aku melihat para ahli zahir berlomba mengkaji al-Qur’an dari berbagai aspeknya, qira’at, tafsir musykilat, hukum-hukum, i’irab, bahasa, mujmal, mufassar, nasikh mansukh,  tak ada seorang pun di antara mereka yang serius menghimpun pemahaman khitab ayat melalui pendekatan ahli hakekat kecuali beberapa ayat yang berserakan yang dinisbatkan kepada Abu al-‘Abbās bin ‘Aţa, dan beberapa ayat yang disebutkan penjelasannya dari Ja’far bin Muhammad secara tidak sistimatis. Padahal aku telah mendengar banyak informasi dari para ulama ahli hakekat  dan  masih segar dalam ingatanku lalu aku menghimpunnya, aku sertakan kutipan-kutipan dari para ahli hakekat dan aku berusaha menyusunnya secara tertib sambil aku beristikharah  dalam semua usaha intelektualku  dan tak lupa akupun  memohon pertolongan kepada Allah  dalam segala urusanku karena Dialah yang mencukupiku dan sebaik-baik yang menolong.[52]
 Para ahli tasawuf yang banyak dikutip pendapatnya oleh As-Sulami dalam upaya menafsirkan al-Qur’an antara lain  adalah  Ja’far bin Muhammad As-Sadīq, Ibnu ‘Ataillah As-Sakandari, Junaid al-Bagdādi, Fudhail bin ‘Iyad, Sahl bin Abdillah at-Tustari.
Beraneka ragam penilaian orang terhadap tafsir as-Sulami ini, ada yang menilainya sebagai menyimpang seperti Ibnu Taimiyyah,  As-Suyuti dan Al-Wāhidi. Al-Wahidi menegaskan; barang siapa mengi’tikadkan apa yang ada dalam kitab Haqaiq at-Tafsir adalah tafsir maka ia telah kufur. Komentar az-Zahabi, As-Sulami tidak mengi’tikadkan apa yang ada dalam kitabnya sebagai tafsir, ia hanya menyatakan; ini adalah isyarat-isyarat yang sangat halus dan mendalam yang hanya dapat dipahami oleh para ahlinya yaitu orang-orang yang suci hatinya. Demikian juga  As-Suyuti menampilkan tafsir karya As-Sulami ini dalam kelompok tafsir ahli bid’ah karena menurut penilaiannya tafsir karya as-Sulami ini tidak terpuji.[53]  
Namun dalam pada itu,  tidak sedikit para  ahli tafsir yang menilainya sebagai tafsir yang istimewa, yaitu penafsiran melalui pendekatan sufistik dan dipandang  tidak menyimpang, seperti penilaian Az-Zahabi sendiri. Komentar Az-Zahabi: Pendapat yang menyatakan bahwa dalam tafsir As-Sulami ada tahrīf (perubahan terhadap teks) dan meniru Qaramitah (kaum bātinyyah)  adalah tidak benar, sebab As-Sulami ternyata mengakui interpretasi literal  sesuai dengan maksud teks  setiap ayat, sementara Qaramitah tidak mengakui  tafsir eksoteris dari setiap ayat.[54] Orang telah bersikap tidak adil terhadap Imam as-Sulami dan tafsirnya, demikian komentar Mahmud Basuni, padahal as-Sulami sama sekali tidak mengatakan, penafsirannya adalah satu-satunya penafsiran  yang dimaksudkan oleh Allah. Tafsir as-Sulami hanyalah merupakan bandingan atas makna-makna yang tampak dari setiap ayat al-Quran.[55]
            Contoh tafsir as-Sulami dalam pejelasan  surat ar-Rahman ayat 11:
فيها فا كهة والنخل ذات الاكمام ( الرحمان: 11)
“Di dalamnya ada buah-buahan dan pohon kurma yang berkelopak”

 As-Sulami menafsirkan bahwa Allah Ta’ala telah menjadikan dalam hati para wali-Nya kebun keakraban dengan-Nya. Di dalamnya Allah menanamkan pohon-pohon ma’rifah, yang akar-akarnya terhunjam dalam rahasia-rahasia mereka dan cabang-cabangnya berdiri tegak menghijau dalam penampakan-penampakan mereka. Mereka memetik buah keakraban tersebut setiap saat.[56] Surat an-Nisa ayat 66 berbunyi:
Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan  kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil kecil dari mereka” (an-Nisa [4]: 66)

As-Sulami mengartikan “membunuh diri”, bukan secara fisik tetapi membunuh secara psikhis yakni membunuh dengan menghindari keinginannya, sebab nafsu itu harus dikendalikan, kalau tidak dikendalikan maka nafsu akan mengendalikan kita, sedangkan cara pengendalian nafsu adalah dengan melawan keinginannya. Begitu juga kata “Keluarlah kamu dari kampung halamanmu” diartikan bukan secara lahir tetapi secara batin. Maknanya menjadi; keluarkanlah kecintaan kepada dunia dari hati kamu sebab hati itu hanya tempat bagi Allah. Kalau di hati ada Allah maka yang lain keluar sebaliknya  kalau di hati tidak ada Allah maka segala sesuatu masuk ke dalam hati, demikian kata para sufi. Tidak ada yang melakukan hal  itu kecuali sedikit saja, Komentar as-Sulami, memang sedikit dalam bilangan tetapi banyak maknanya  mereka itulah kaum yang mendapatkan pertolongan (taufiq)  dan kewalian yang benar.[57]

4. Tafsir Latāif al-Isyārah
Tafsir Latāif al-Isyārah ditulis oleh  seorang sufi besar yaitu  Imam al-Qusyairi penulis kitab Risālah Qusyairiyyah. Nama lengkap beliau adalah  Al-Ustaz Asy Syaikh Abdul Karim bin Hawāzin bin Abdul Malik  bin Talhah bin Muhammad. Ia  dilahirkan pada tahun  376 H di kota Ustawa, wafat tahun 465 H di Naisabur  dalam usia 87 tahun.[58]
Latāif al-Isyārah  merupakan kitab tafsir yang ditulis secara ikmāli (lengkap) dengan pembahasan mendalam terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hakekat dan ma’rifat. Kitab  Tafsir ini ditulis secara sistimatis  mulai dari surat al-Fātihah hingga an-Nās. Sebagaimana Abu Abdurahman as-Sulami (salah seorang guru al-Qusyairi),  al-Qusyairi juga menggunakan metode yang sama  dengan gurunya dalam upaya memahami ayat-ayat al-Qur’an. Dengan pendekatan sufistik ia mengungkap bahasan ayat dengan tafsiran apik dan mendalam, tetapi cukup dengan bahasa yang singkat dan padat. Itulah sebabnya tafsir ini  ketika ditahqiq oleh Dr. Ibrahim Basuni pada tahun 1917  membutuhkan tidak lebih dari empat ratus halaman saja.
5. Tafsir “Arāis al-Bayān fi Haqāiq al-Qur’an” karangan Abu Muhammad As-Syirazi.
 Nama lengkap As-Syirazi adalah Abu Muhammad Ruzbahan bin Abi Nasr al-Baqli as-Syirazi as-Sūfi. Tidak ada keterangan yang pasti  tentang hari, tanggal dan tahun berapa beliau dilahirkan. Data yang ada hanya tahun kewafatannya yaitu tahun 666 H.[59]
Pola penafsiran As-Syirazi, sebagai dapat diduga sebelumnya adalah sufistik. Sebagaimana As-Sulmi, pola penafsiran As-Syirazi juga adalah isyari, beliau tidak mengangkat tafsiran-tafsiran secara zahir, tetapi beliau langsung memahamai ayat-ayat al-Qur’an secara isyāri. Namun demikian, tetap dia mengakui, pentingngya pengungkapan  interpretasi al-Qur’an secara zahir sebelum mengungkap penafsiran secara esoteris. Tetapi  dalam  aplikasinya tidaklah demikian. Di dalam muqaddimah kitab tafsirnya As-Syirazi menyatakan:
Setelah aku menemukan bahwa firman Tuhan itu  ajali yang tiada terhingga  baik zahir maupun batin, dan tidak ada seorangpun yang dapat sampai kepada kesempurnaan dan puncak pemaknaannya, sebab di bawah setiap hurup ada lautan  dari lautan rahasia-rahasia, dan ada sungai dari sungai-sungai cahaya, sebab ayat al-Qur’an adalah sifat yang qadim dan kesempurnaan yang tidak ada batasnya baik secara sifat maupun secara zat, maka aku  langsung menyelam dari lautan ajali dan aku merengkuh hikmah-hikmah ajaliyyah, isyarat-isyarat  dan keabadian yang tidak sampai dipahami oleh ahli lahir, akal para ulama  dan akal para filosof, sebagai suatu pemberian (kasyf al-hijāb)  kepada para kekasih Allah, mengikuti  contoh dari para khalifah, tradisi para orang-orang suci, dengan  lafaz-lafaz yang halus dan redaksi-redaksi yang mulia. Selanjutnya As-Syirazi  berkata:  Tidak jarang aku menjelaskan suatu ayat dengan  uraian yang tidak pernah diungkapkan oleh mufassir-mufassir tedahulu. Namun sungguhpun demikian, aku menyandarkan tafsiranku ini kepada ucapan para Syaikh fi at-Tariqah yang redaksi-redaksinya begitu halus, isyarat-isyarat ucapannya mewadahi barkah mereka. Tetapi akupun sering meninggalkan ucapan mereka supaya kitabku ini tidak terlalu tebal dan agar  lebih menarik dan singkat uraiannya. Mengenai hal ini aku istikharoh kepada Allah terlebih dahulu  agar apa yang aku utarakan dalam tulisanku  sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah, cocok dengan sunnah Rasul dan sahabatnya, serta  para wali dari umatnya. Dan Allah lah yang mencukupiku. Kitab ku ini aku beri nama “Arāis al-Bayān fi Haqāiq al-Qur’an”[60]
6. Perkembangan berikutnya munculah tafsir At-Ta’wîlāt An-Najmiyyah buah karya Najm ad-Dīn Dāyah  dan  ‘Alā ad-Daulah as-Samnāni.
   Kitab tafsir tersebut  ditulis oleh Najm ad-Din Dāyah, ia meninggal,  sebelum  sempat menyelesaikan tafsirnya, lalu disempurnakan oleh ‘Alauddin as-Samnāni. Dengan demikian tafsir ini ditulis oleh dua orang, sama halnya seperti kitab tafsir al-Jalālain, ditulis oleh dua orang Jalaluddin, yaitu Jalaluddin as-Suyuti dan Jalaluddin al-Mahallī.   Nama lengkap penulis yang disebut pertama adalah Syaikh Najm ad-Din Abu Bakar bin Abdilah Muhammad bin Sahadir al-Asadi ar-Rāzi, yang terkenal dengan sebutan Dāyah. Ia meninggal pada tahun 654 H. Ia seorang tokoh  sufi  yang mengambil  tarekat dari  gurunya Najm ad-Din Abu aj-Janab yang terkenal dengan nama al-Bakrī. Pada awalnya ia mukim di Hawarizm kemudian pada zaman ekspansi  Jengish Khan ia pindah ke negri  Romawi. Di Romawi ia bertemu dengan Sadr ad-Dīn al-Qunawi dan ia mengambil  tarekat dari Al-Qunawi.
Adapun penulis yang disebut terakhir, nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad as-Samnāni al-Bayananki, yang dikenal dengan sebutan ‘Alāu ad-Daulah wa Rukn ad-Dīn. Ia dilahirkan pada tahun 659 H. Ia belajar fikih dan hadis  kepada guru-guru yang ada pada masanya hingga mendalam dalam ilmunya. Komentar para fakar, ia adalah seorang imam, al-jāmi’, banyak bacaannya, ia menentang ajaran Ibnu ‘Arabi bahkan sempat mengkafirkan Ibnu ‘Arabi. Karangan yang ia tulis kurang lebih tiga ratus judul kitab besar dan kecil. Komentar al-Asnawi, ia adalah seorang ‘alim, mursyid, wali yang memiliki karamat  dan karangan yang banyak dalam bidang tafsir dan tasawuf. Di antara karangannya adalah  “Madārij al-Ma’ārij”, “Takmīlat at-Takwīlat an-Najmiyyah”. Menurut penulis kitab Kasyf az-Dzunūn, As-Samnani memiliki sebuah kitab tafsir yang besar yang terdiri  atas  13 jilid. As-Samnani pernah tinggal di daerah Tatar Mongolia,  kemudian kembali dan tinggal di Tibriz Bagdad. Ia meningal pada bulan Rajab tahun 736 H.[61]
Untuk dapat memahami dan  mempercayai  tafsir  yang ia utarakan ia menulis teori:
لا يؤمن أحد با لذي قلته الا بعد السلوك ومشاهدته من  حيث العيان من هذا لبيان[62]
 “Seseorang tidak akan mempercayai apa yang aku ucapkan kecuali setelah melakukan suluk dan musyahadah secara yakin  atas apa yang ia dengar dari penjelasan ini” 

            Bagaimana As-Samnani menafsirkan ayat, barangkali  penafsiran As-Samnani terhadap ayat ini dapat dianggap sebagai contoh.  Allah berfirman:
      وضرب الله مثلا للذين أمنوا مراة فرعون اذ قالت رب بن لي عندك بيتا في الجنة ونجني         
  من فرعون وعمله ونجني من القوم الظا لمين. (التحريم: 11)

         Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fira’un dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim                    (at-Tahrīm: 11)

Tafsir as-Samnāni menyatakan: (Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang beriman), yakni kekuatan mukminat berupa  kekuatan nafsu lawwamah. (istri Fir’aun), yakni kekuatan salihat  yang menerima kebenaran di bawah kekuatan yang merusak  yang mendorong ketakaburan. Tidak akan berbahaya  daya kekufuran yang merusak apabila daya kekuatan yang baik ada dalam dirinya. (Ketika ia berkata, wahai Tuhanku bangunlah untuku di sisi-Mu sebuah rumah di surga  dan selamatkanlah aku  dari Fir’aun  dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim), yakni ketika jiwa latifah yang baik yang menerima kebenaran,  dalam munajat kepada Tuhannya berkata: Bangunlah ya Allah untuk ku sebuah rumah di dalam relung hati yang paling dalam. … Dan dalam munajatnya ia  berkata: Ya Allah, selamatkanlah aku dari daya kekuatan yang buruk dan dari para pelaku perbuatan  yang berbuat jahat  dan selamatkanlah aku  dari godaan-godaan dan kekuatan-kekuatan batin yang menyesatkan. [63]
7.      Tafsir sufi  yang  muncul agak belakangan  adalah Tafsir Rūh al-Ma’āni, karya seorang sufi besar yang hidup di abad sembilan belas.
 Nama lengkap pengarang tafsir Rūh al-Ma’āni adalah al-‘Allāmah al-Muhaqqiq Syihāb ad-Dîn as-Sayyid Muhammad al-Alūsi al-Bagdadī, seorang mufti di negeri Bagdad, ia  meninggal pada tahun 1270 H. Kecuali sebagai seorang sufi, ia juga adalah mujtahid (ahli fikih) dan  ahli hadis. Ia mengerti betul  tentang keberatan para ahli lahir yang tidak mau menerima  tafsir sufi, terutama yang berkaitan dengan penafsiran batiniyahnya. Di dalam kitab tafsirnya ia banyak mengemukakan pembelaan terhadap keberadaan tafsir sufi. 
Tafsir yang ia tulis merupakan salah satu tafsir yang amat besar, luas dan komprehensif. Pola penafsiran yang ia gunakan;  pertama, ia menghimpun riwayat-riwayat dari ulama salaf dan sekaligus memasukan pendapat-pendapat ulama khalaf (mutakkhir) yang dapat diterima. Kedua, ia menyusun  secara sisitimatis pemahaman melalui teks ayat (redaksi ayat) dan penafsiran yang didekati melalui isyarat. Ia mencoba memadukan kedua pendapat termaksud secara sinergis.
Sebagai contoh  aplikasi pola penafsirannya ia menafsirkan ayat sebagai berikut:


Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, Karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya" (al-Baqarah: 55)


Dalam pemahaman secara isyari, al-Alusi menafsirkan;  ketika kamu berkata, wahai  inti hati, kami tidak akan beriman dengan iman hakiki sehingga kami sampai ke maqam musyahadah. Lalu menimpalah kepada kamu sekalian sambaran  kematian yaitu al-Fana’ dalam tajalli az-Zāti padahal kamu melihat dan menyaksikannya. Kemudian Kami membangkitkan kamu dengan kehidupan hakiki  dan baqa (kekal) setelah fana (hancur), agar kamu berterima kasih kepada-Ku atas ni’mat yang telah diberikan, mengesakan Tuhan dan sampai dengan suluk menuju Tuhan. Kemudian Kami melindungimu dengan perlindungan tajalli sifat sebab tajalli sifat dapat menghalangi matahari Zat.[64]
Al-Alusi menjelaskan penafsiran secara isyari setelah terlebih dahulu ia mengungkap penafsiran secara syar’i (zahir). Dengan demikian Al-Alusi juga termasuk sufi besar yang berhasil memadukan pola penafsiran  secara tersurat  (eksoteris)  dan tersirat  (batin).[65] 
8.      Tafsir sufi  yang mendahului tafsir Rūh al-Ma’ani    adalah Tafsir Sufi “Rūh al-Bayān”.
 Mufassir besar yang menulis tafsir termaksud  adalah Al-Imam As-Syaikh Ismail Haqqi al-Burusawi. Ia meninggal pada tahun 1137 H. Ia seorang sufi berkebangsaan Persia, tetapi hidup, tumbuh dan mengembangkan karir intelektualnya  di Turki. Karya tafsirnya merupakan tafsir sufi terbesar  pada  zamannya, bahkan hingga sekarang.
Pola penafsiran yang ia pergunakan tidak jauh berbeda dengan pola yang dipakai oleh Al-Alusi.  Ismail Haqqi mula-mula mengungkap makna-makna setiap ayat secara lahir, gamblang, luas dan mendalam dengan menggunakan pendekatan riwayat yang sahih dari Nabi. Setelah itu baru beliau menulis pemaknaan ayat secara isyari. Dalam upaya penafsiran teosofinya,  ia banyak mengutip pernyataan  para sufi besar yang telah mendahuluinya. Dalam pada itu aspek kebahasaan amat diperhatikan dalam upaya memahami setiap ayat yang tengah dikaji. Sehingga karenannya, paduan antara pendekatan kebahasaan, pemaknaan secara lahir melalui pengambilan riwayat yang sahih dari para salaf, juga pengambilan pendapat dari para sufi salihin, menjadikan tafsir Rūh al-Bayān ini lengkap dan komprehensif. Itulah sebabnya tafsir ini, juga dipandang para ahli sebagai tafsir yang berhasil memadukan antara tafsir lahir dan  tafsir batin.
Sebagai contoh, Ismail Haqqi mengurai pemaknaan secara komprehensif. terhadap ayat berikut ini: Allah berfirman:
إهدنا الصراط المستقيم صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين             (الفا تحة: 7)
Kedudukan kalimat: صراط الذ ين  adalah sebagai badal  kul min kul dari kata şirat yang ada sebelumnya. Yang dimaksud in’am (memberi nikmat) adalah menyampaikan nikmat. Pada asalnya nikmat itu adalah kondisi yang dirasakan enak dan menyenangkan  oleh manusia,  lalu dipergunakan untuk  sesuatu yang dinikmati manusia berupa kenikmatan beragama dengan agama yang haq. Selanjutnya, Ismail Haqqi, mengutip pendapat seorang sufi besar sebagai berikut: Berkata Abu al-Abbas Ibnu Aţa: Mereka yang diberi nikmat oleh Allah itu ada beberapa tingkatan. Mereka itu adalah; pertama, orang-orang yang ‘arif. Allah memberi nikmat kepada mereka dengan ma’rifah. Kedua, para wali. Allah memberi nikmat kepada mereka dengan sifat benar, rida, yakin dan suci. Ketiga, al-Abrār. Allah memberi nikmat kepada mereka dengan sifat hilm, dan kasih  sayang. Keempat, al-murîdūn. Allah memberi nikmat kepada mereka dengan manisnya ketaatan. Sedangkan yang kelima adalah orang-orang mukmin, Allah memberi nikmat kepada mereka dengan istiqamah. Menurut pendapat pakar yang lainnya; tingkatan-tingkatan itu adalah para Nabi, para penegak kebenaran, para syuhada dan para salihin. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa ayat ke enam puluh sembilan (4: 69).
          فاْلك مع الذين أنعم الله عليهم من النبيين و الصديقين و الشهداء والصالحين
                                                                             (النساء: 69 )       
 “Mereka itu akan hidup bersama orang-orang yang Allah telah memberi nikmat kepada mereka yaitu para Nabi, para siddikin, para syuhada dan para salihin” (an-Nisa: 69)

Selanjutnya, Ismail Haqqi, mengupas, mengapa kata as-sirāt dalam ayat di atas dihubungkan dengan “hamba-hamba-Nya”, sementara dalam ayat lain dihubungkan dengan “diri-Nya sendiri”, misal ayat:
وأن هذا صراطي مستقيما فاتبعوه (الانعام: 153)
Demikian juga kata ad-Dîn dan al-Hudā, kadang-kadang dihubungkan dengan Allah Ta’ala seperti firman-Nya:
أفغير د ين الله يبغون (ال عمران: 83)
  قل إن الهدى هدى الله (ال عمران: 73)
dan kadang-kadang dinisbatkan kepada hamba-Nya, seperti firman Allah:
اليوم أكملت لكم دينكم ( ألمادة: 3)
وبهدا هم إقتده (الانعام: 90)
 Dalam semua itu ada beberapa rahasia yang tersembunyi: Pertama, menjelaskan bahwa semua itu  bagi Allah adalah syari’at dan setiap syari’at pasti ada manfa’at nya buat para pemeluknya.   Sebagai mana firman Allah berbunyi:
شرع لكم من الدين (الشورى:13)
 Kedua, Bagi Allah ada keridoan dan ada ikhtiar. Sementara bagi kita ada jalan untuk menempuh (sulūk) dan i’itimār (menerima perintah). Ketiga, bahwa Allah menghubungkan hal termaksud kepada diri-Nya secara pasti agar si abdi merasa ta’jub. Sementara Allah menghubungkan diri-Nya kepada hamba-Nya,  merupakan taşliah (obat pelipur lara)  terhadap hati si abdi.  Dan yang terakhir, Allah menisbatkan diri-Nya  kepada hamba-hamba-Nya, hal ini  mengandung isyarat memuliakan  dan mendekatkan  diri kepada Allah, (taqarrub ilallāh)[66].

F.      Karakteristik Tafsir Sufi
Tafsir sufi berbeda dengan tafsir-tafsir corak lainnya, bukan hanya dalam metodologi penafsirannya tetapi juga dalam banyak hal.  Perbedaan ini muncul sebagai akibat dari paradigma yang dijadikan landasan tafsir oleh para sufi berbeda dari paradigma mufassir  lainnya. Kecuali itu, juga para sufi berbeda  dari ahli-ahli keislaman lainnya dalam hal memandang al-Qur’an, termasuk cara bagaimana memahami al-Qur’an. Rujukan penafsiran bagi para penafsir sufi juga berbeda dengan rujukan yang dipergunakan oleh ahli keislaman yang lainya. Mufassir sufi selain tafsir konvensional yang dijadikan rujukan, yang paling dominan juga adalah pendapat-pendapat, pernyataan-pernyataan para ahli hakikat  yang begitu luhur ilmunya, luas wawasannya,  dan suci ruhaninya. Pada gilirannya perbedaan-perbedaan tersebut boleh jadi  menjadi ciri khas bagi  tafsir sufi  sehingga nampak beda dengan tafsir-tafsir   corak lainnya misal tafsir corak falsafi, teologi, fikih, ‘ilmi dan adab ijtima’i. 
 Al-Alusi, mengemukakan bahwa di antara karakteristik tafsir sufi itu adalah sebagai berikut: Pertama, upaya pemahaman terhadap al-Qur’an tidak hanya melalui pendekatan zahir ayat tetapi yang amat penting adalah pendekatan melalui aspek baţin ayat. Itulah sebabnya, secara terminologis, tafsir sufi dipahami sebagai;  Upaya pengalihan makna  ayat-ayat berbeda  dari apa yang nampak  Pengalihan makna dari yang zahir ke batin,  berdasar atas isyarat-isyarat ruhiyyah kepada si mufassir sufi tersebut dan itulah yang menyebabkan   ilmu tasawuf disebut ilmu batin.
Sungguhpun demikian, tafsir sufi  tidak menolak makna lahir, malah antara makna batin dan makna lahir, sebagaimana  dapat dilihat dalam definisi  di atas,  harus ada kesepadanan ditinjau dari segi syari’at, sebab tidak mungkin memahami rahasia dibalik ayat tanpa didahului pemahaman terhadap lahir ayat. Pola  penafsiran serupa ini didasarkan atas pendapat Ibnu Abbas yang menyatakan:
القراْن ذو شجون وفنون, وظهور وبطون لاتنقضي عجائبه ولا تبلغ غايته فمن اوغل فيه برفق نجا ومن اوغل فيه بعنف هوى اخبار وامثال وحلال وحرام وناسخ ومنسوخ ومحكم ومتشابه وظهر وبطن فظهره التلاوة وبطنه التاْ ويل  فجالسو ا به  العلماء وجانبوا به السفهاء.

Al-Qur’an memiliki banyak dahan cabang dan ranting, zahir dan batin, tidak akan habis keajaibannya, dan tidak akan  terjangkau puncaknya. Barang siapa yang menaikinya secara hati-hati maka ia akan selamat, sebaliknya barang siapa yang menaikinya secara gegabah maka akan celaka. Di dalam al-Qur’an ada akhbar (berita), amsal (perumpamaan), halal, haram, nasikh, mansukh, muhkam, mutasyabih, zahir dan batin. Zahirnya adalah bacaannya, batinnya adalah takwil. Dekatilah untuk memahami takwil para ulama dan jauhilah untuk memahami takwil orang-orang bodoh.[67]

Selanjutnya Al-Alusi mengutip pernyataan Ibnu Mas’ud sebagai berikut:
     من اراد علم الاولين والاخرين فليتل القراْن. ومن المعلوم أن هذا لايحصل بمجرد تفسير الظاهر
     وقد قال بعض من يوثق به لكل أية ستون ألف فهم.[68]

Barang siapa menghendaki ilmu generasi awal (para sahabat) dan ilmu ulama mutaakhirin (generasi tabi’it tabi’in), hendaklah ia membaca al-Qur’an. Hanya, sebagai telah maklum bahwa hal ini tidak akan berhasil dengan hanya menafsirkan al-Qur’an secara zahir, sehingga salah seorang ulama yang amat dipercaya mengatakan  bahwa sesungguhnya bagi setiap ayat ada enam puluh ribu pemahaman.

 Sebagaiman telah dijelaskan, bahwa yang dimaksud zahir ayat adalah apa-apa yang nampak dari makna-makna ayat kepada ahli ilmu secara lahir. Sedangkan yang dimaksud batin ayat adalah apa-apa yang dikandung ayat berupa rahasia-rahasia  yang ditampakkan Allah kepada  para ahli hakikat (sufi). Arti “Bagi setiap huruf ada had” adalah bahwa bagi setiap huruf ada muntaha (pemberhentian) yakni makna  yang dikehendaki Allah. Arti bahwa “bagi setiap had ada matla” adalah bahwa sesungguhnya bagi orang yang mendalami makna-makna  dan hukum-hukum ada matla’ (tempat terbit)  yang akan menjadi wasilah untuk ma’rifat kepada-Nya dan mampu memahami apa yang dikehendaki Allah dengan firman-Nya.[69]
Kedua, sebagai karakter tafsir sufi, adalah cara para sufi  mengambil makna setiap ayat al-Qur’an seringkali berdasar isyarat zihniyyah (intuisi). Barangkali itulah sebabnya, tafsir sufi dinamai tafsir isyāri.
Isyarat, terbagi dua,  pertama  isyarat hissiah  (isyarat yang dapat dijangkau indra); yakni isyarat yang terkandung di dalam makna-makna isim isyarah. Dan yang kedua adalah isyarat zihniyyah yaitu mengangkat pengertian yang terkandung dalam suatu pernyataan, sekiranya makna  isyarat tadi diredaksikan  secara biasa, boleh  jadi  menghabiskan redaksi (‘ibarah)  yang panjang.[70]
Dalam kaitannya dengan tafsir  sufi, isyarat di atas, terbagi dua, yakni  pertama isyarat yang samar (halus) yang dapat dijangkau oleh orang yang ahli takwa wa al-wara’, ahli kebaikan dan ilmu  sewaktu membaca al-Qur’an. Melalui isyarat inilah munculnya tafsir isyari (sufi).  Dan yang kedua adalah isyarat-isyarat yang jelas yang terkandung dalam ayat-ayat kaoniyah yang dalam penelitian selanjutnya melahirkan tafsir ilmi. Isyarat ilmiah tadi  sekaligus menampakkan keistimewaan al-Qur’an  dari segi  kemu’jizatannya.
Bagi para sufi, dilālah naş al-Qur’an,   bergantung atas pemikiran yang dalam  dan makna yang halus. Selanjutnya mereka berpendapat, bahwa makna hakiki dari penurunan ayat (tanzîl al-āyāt) tidak berhenti  pada pengertian lahir, tetapi di dalamnya ada makna lahir dan ada makna batin. Yang paling penting adalah pemahaman keduanya secara sinergis.  Betapa kesinergisan antara makna lahir dan batin harus dijaga,  adalah tepat apa yang dikatakan Nasiruddin  Khasr sebagai berikut:
“Menafsirkan nash secara lahir adalah badannya akidah, sedangkan tafsir yang lebih dalam lagi adalah laksana ruh bagi badan. Bagaimana bisa hidup badan tanpa ruh”.[71]
Mengapa corak tafsir sufi berbeda dengan corak tafsir yang lain, sehingga perbedaan tersebut menjadi karakter bagi tafsir sufi itu  sendiri. Kelihatannya, disamping penafsiran berdasar isyarat tadi, juga merupakan tradisi para sufi, mereka memandang segala sesuatu  seringkali  berdasar atas isyarat. Isyarat di sini artinya suatu ilmu (pengetahuan) yang didapat dari pemahaman terhadap al-Qur’an, berupa rahasia-rahasia langit dan bumi (fenomena alam),  yang merupakan akibat dari amal. Mereka menamai hal ini dengan sebutan “Mazhab Ahl al-Safwah” dalam rangka istinbat yang sahih dalam upaya memahami al-Qur’an.  Berkaitan dengan masalah di atas, At-Ţusi, sebagai dikutip Khalid Abdurahman  menyatakan:
Mustanbatah adalah, sesuatu yang diistinbat (diambil dilalahnya) oleh mujtahid  dari para ahli tahkik sesuai dengan kitab Allah, secara lahir dan batin, juga mengikuti Rasulullah secara lahir batin, dan mengamalkan keduanya secara lahir batin. Setelah para sufi mengamalkan apa yang telah mereka ketahui maka Allah memberikan kepada mereka ilmu yang belum mereka ketahui, Itulah ilmu yang dinamai ilmu isyarat, dan ilmu akibat amal yang dibukakan Allah  kepada hati-hati pilihannya, berupa makna-makna yang dalam, latifah-latifah dan rahasia-rahasia yang terkandung, ilmu-ilmu yang asing, dan hikmah-hikmah yang beraneka macam  yang terkandung dalam makna-makna al-Qur’an dan makna-makna hadis,  ditinjau dari segi waktu, keadaan, dan sucinya zikir mereka.[72]

Diriwayatkan, pada suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Rasulullah saw  dan berkata: “Ya Rasulallah, ajarkanlah kepadaku rahasia-rahasia ilmu”. Rasulullah menjawab: “Apakah engkau telah mengamalkan ilmu pertama? Selanjutnya Rasulullah bersabda: “Sempurnakanlah dahulu ilmu pertama, kemudian barulah engkau datang kepadaku dan setelah itu akan  aku ajarkan rahasia ilmu kepadamu”.[73]
Apabila Allah telah membukakan hijab dari hati-hati manusia yang benar dan mereka  menyesal atas dosa yang telah lalu maka Allah membukakan hati-hati mereka dari kotoran-kotoran rohani, lalu Allah memberinya tambahan dan faidah-faidah dari yang gaib. Kemudian kelebihan  dan faidah tadi diungkap secara lisan dengan kemampuan memahami hikmah-hikmah yang yang mendalam dan ilmu-ilmu yang mendalam pula.
Para sufi terus menerus menekankan pentingnya memahami rahasia al-Qur’an secara mendalam karena hal itu merupakan cara untuk mendapatkan kunci pengamalannya. Komentar Abu Sa’id sebagai dikutip As-Syirbashi menyebutkan bahwa awal pengertian mengeni al-Qur’an adalah pengamalannya, sebab di dalam al-Qur’an terdapat banyak ilmu, pengertian dan pengetahuan. Pengertian yang pertama adalah mencurahkan seluruh perhatian dan kesaksian hatinya kepada firman Allah.
إن في ذلك لذكرى لمن كان له قلب او القى السمع وهو شهيد (ق: 37)
“Sesungguhnya pada  yang demikian itu benar-benar  terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”  (Qāf: 37).

الذ ين يستمعون القول فيتبعون أحسنه (الزمر: 18)

Mereka yang mendengarkan perkataan kemudian mengikuti bagiannya yang terbaik (Az-Zumar: 18).
Bagi para sufi, setiap huruf al-Qur’an mengandung banyak makna  dan pemahaman, tetapi makna dan pemahaman tersebut hanya terbuka  kepada ahlinya sesuai dengan bagiannya masing-masing. Sebagai argumen atas proposisinya ini, para sufi mengemukakan ayat:
وكل شيء أحصيناه في إمام مبين   (  يس: 12)
 “Dan atas segala sesuatu Kami hitung dan Kami bagikan sesuai dengan catatan di alam lauh al-mahfuzh” (Yasin: 12).

وإن من شيء الا عندنا خزا ئنه وما ننزله الا بقدر معلوم (الحجر: 21)
Artinya: “Dan tidak ada  sesuatupun,  melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya; dan Kami tidak  menurunkannya melainkan dengan ukuran  yang tertentu” (al-Hijr: 21).

Para sufi menafsirkan kata “min syaiin” pada kedua ayat di  atas  dengan arti “dari ilmu-ilmu agama” dan  “ilmu-ilmu ahwal” yang ada antara makhluk dengan Allah. Manusia hanya dapat sampai ke pemahaman dimaksud manakala ia memikirkan al-Qur’an, mentadabburkanal-Qur’an, dan menghadirkan hatinya ketika membaca al-Qur’an. Hal ini perlu dilakukan sebab Allah berfriman:  “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan  kepadamu dan diberkahi agar mereka memikirkan ayat-ayatnya dan agar para uli al-albab mengambil  pelajaran” (Shād: 29).
Oleh karena itu,  yang penting dalam hal  ini adalah menghadirkan hati.
إن في ذلك لذكرى لمن كان له قلب اوألقى السمع وهو شهيد (ق: 37)

 “Sesungguhnya  pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan  bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya” (Qāf: 37).

Dengan mengutip sebuah syi’ir,  Al-Alusi menyindir, betapa penting keberadaan  tafsir sufi, tetapi tidak semua orang mampu memahami dan mewujudkannya, juga  tidak semua orang mau menerimanya.  Namun hendaklah yang tidak mampu menghasilkan tafsir sufi  itu berbesar hati dan mengakui kalau tafsir sufi itu merupakan prestasi besar dalam intelektualitas teosofi Islam. Syi’ir dimaksud adalah sebagai berikut:
واذا لم تر الهلال فسلم          لاناس رئوه بالابصار[74]

Jika engkau tidak dapat melihat hilal (bulan sabit)
Maka ucapkanlah selamat kepada orang-orang
yang dapat melihat hilal dengan mata kepalanya sendiri.


[1] Ibnu Taimiyyah, Muqaddimah fi Usūl at-Tafsīr, (Kuwait: Dār al-Qalam, tth), hal 35.
[2] As-Suyuti, al-Itqān fi Ulūm al-Qur’an, Juz II, (Beirut: Dār al-Fikr, tth.), hal 178.
[3] Az-Zahabi,  at-Tafsîr,  juz I, hal. 53.
[4]    Lihat At-Ţabari,  Tafsīr at-Ţabari, juz I, hal 25.
[5]     Az-Zahabi,  at-Tafsîr,  juz I,  hal. 54.
[6]     Az-Zahabi,  at-Tafsīr, juz I,  hal. 54  Contoh ayat yang dijelaskan oleh Nabi  misalnya Nabi menafsirkan ayat 60 surat al-Anfāl. Allah berfirman: Siapkanlah untuk menghadapi musuh kekuatan yang kamu miliki” Nabi bersabda (Alā inna  al-Quwwata ar-Ramyu). Ingatlah yang dimaksud “ kekuatan” adalah panah. Contoh lain, hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Anas: Nabi membaca ayat “Inna A’atainaka al-Kausar” Kata Nabi, al-Kausar  adalah telaga yang telah dijanjikan Allah kepadaku nanti di surga.
[7]     As-Suyuti,  al-Itqān, juz II,  hal. 113.
[8]     As-Suyuti, al-Itqān, juz II, hal 113.
[9]    As-Suyuti, al-Itqān,  juz II, hal. 113. (Hadis Riwayat Bukhari dalam kitab al-Adab)

[10]    Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsīr al-Marāgi, Juz I, (Beirut: Dār Al-Fikr, tth), hal. 6.
[11]    Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsīr al-Marāgi, juz I, hal. 7.
[12] Dalam konteks tertentu, dalam penafsiran al-Qur’an terdapat kerinduan  pada kisah-kisah dan mitologi-mitologi. Itulah yang melatar belakangi munculnya kelompok orang yang mendalami kisah-kisah dalam Taurat dan Injil untuk selanjutnya dipadukan dengan kisah yang selalu ringkas dalam al-Qur’an sebagai hasil imajinasinya sendiri. Di antara mufassir yang consern dengan model ini adalah Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H.). Disebutkan bahwa pengetahuannya tentang al-Qur’an bersumber dari Yahudi dan Nasrani. Dia menjadikan ajaran al-Qur’an sejalan dengan apa yang ada dalam  Taurat dan Injil. Dalam kasus tertentu  seorang sahabat Rasul, Ibnu ‘Abbas kadang bertanya kepada Ka’ab al-Akhbār dan Abdullah bin Salam. Menurut informasi At-Tobari, ia penah bertanya kepada Ka’ab al-Akhbar  tentang penafsiran  mengenai dua ungkapan al-Qur’an yaitu “Umm al-Kitāb dan al-Marjān”. Hemat penulis,  boleh jadi ia bertanya sekedar untuk konfirmasi atau sekedar ingin tahu pemahaman kedua masalah tersebut dari mantan  ulama Yahudi, karena  Ibnu ‘Abbas sendiri adalah seorang sahabat yang mendapat do’a dari Nabi untuk mengetahui secara mendalam ajaran Islam dari sumbernya. (Lihat at-Tabari, XVII. Hal. 126. lihat juga jilid XVII, hal. 9).
[13] Husain Az-Zahabi, at-Tafsīr,   juz  I, hal. 130.
[14] Amin Summa, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, hal. 40.
[15]    Az-Zahabi, At-Tafsīr,  hal. 141.
[16] Tidak ada informasi yang jelas  nama kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh mereka selain kitab Ibnu Jarir at-Tabari (224-310 H.),  yaitu kitab “Jāmi’ al-Bayān fi Tafsīr al-Qur’an” dan an-Naisaburi yaitu kitab Tafsīr al-Basīt” . Kitab Tafsir lain yang ditulis oleh nama yang sama tetapi orangnya berbeda, an-Nisaburi  ialah “Garāib al-Qur’an wa Ragāib al-Furqān”. Nama lengkap penulis tafsir ini ialah al-Imam asy-Syakhir al-‘Allāmah al-Khātir Nizām ad-Dīn Ibn al-Hasan bin Muhammad bin al-Husain al-Kharasani an-Nisaburi (w. 728). Az-Zarqani mengemukakan mufassir yang mengkodifikasikan kitab tafsirnya pada periode ini, yang berbentuk tafsir bi al-Ma’sur adalah Tafsir at-Tabari, Abu Lais as-Samarqandī (w. 375 H.), dengan tafsirnya Bahr al-‘Ulum, Ibn Kasir ( 790 – 774 H.), dengan tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, al-Bagawi Bāqi bin Mikhlad (w. 510 H.), dengan kitab tafsirnya Ma’alim at-Tanzīl. (Lihat Az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan, II, hal. 30. Az-Zahabi  menambahkan.), 1) Tafsir al-Kasyf wa al-Bayān ‘an Tafsir al-Qur’an karya as-Sa’labī (w. 427 H.). 2). Al-Muharrar  al-Wajiz fi Tafsīr al-Qur’an al-‘Ajīz karya Ibn ‘Atiyyah, nama lengkapnya Abu Muhammad Abd al-Haq bin Gālib bin ‘Atiyyah al-Andalusi  ( 481 -546 H.) 5) Tafsir al-Jawāhir al-Hasan fi Tafsīr al-Qur’an karya as-Sa’labi, nama lengkap beliau ialah Abu Zaid Abdurrahman  bin Muhammad bin Makhluf as-Sa’labi al-Jazāirī, (w. 876 H.). Lihat! at-Tafsīr wa al-Mufassirūn, I, hal. 230-245.  (as-Suyuti, al-Itqān II, 190-191 H.).
[17]    Lihat, Tafsīr al-Maragi, Juz I, hal. 9.
[18]    Mustafa al-Maragi, Tafsīr al-Marāgī, juz I.  hal. 10. Selain nomor satu dan enam, al-Maragi tidak menyebut karya-karya tafsir mereka.
[19] Mustafa Al-Maragi, Tafsīr al-Marāgī,  juz I, . hal. 11.
[20] Az-Zahabi, At-Tafsīr, Juz I, hal. 147.
[21] Az_Zahabi, At-Tafīîr, juz I,  hal 147. 
[22] Al-Maragi, Tafsīr al-Marāgi.  Juz I, hal. 12.
[23]  Nabil Mansur al-Basarah, al-Jadāwil al-Jāmi’ah fi Ulūm an-Naāi’ah, Kuwait: Mu’assasah al-Kalimah li An-Nasr wa at-Tauzi’, 1995.hal. 146.
[24] Muhammad Al-Gazali, Berdialog dengan Al-Qur’an, Memahami Pesan Kitab Suci dalam Kehidupan Masa kini. Tr.Masykur Hakim, (Bandung:  Mizan, 1999), hal. 33.


[25]    Muhammad al-Gazali, Berdialog dengan al-Qur’an,  hal 34.
[26]    Abdul ‘Azhim az-Zarqani, Manāhil al-‘Irfān, juz II, (Dār al-Fikr,  tth.), hal. 78.
[27]   Mannā al-Qattān, Mabāhis fī Ulūm al-Qur’an, (Beirut: Mansurat  al-‘Asr al-Hadīs, hal. 357).
[28]   Jalaluddin Rahmat, Tafsir Sufi, (Bandung: Rosda Karya, hal. 35).

[29] Az-Zarkasyi, al-Burhan,  juz II, hal. 169
[30] Di dalam hadis lain riwayat Ibnu Mas’ud  hadis  selengkapnya :
                انزل القران على سبعة احرف لكل اية منها ظهر وبطن ولكل حد مطلع
    Dalam muqaddimah kitab Rūh al-Ma’āni hadis itu berbunyi:
                ولكل حرف حد ولكل حد مطلع
[31] al-Wafayāt al-‘Ayān, juz I, H. 389. At-Tafsīr, juz II, hal. 381.
[32] As-Syatibi, al-Muwāfaqāt, juz III, hal. 346.
[33] As-Syatibi, al-Muwāfaqāt, juz III, hal. 347.
[34] Ibnu ‘Arabi, Fusūs al-Hikam, hal. 305.
[35] Ibrahim Abdurahman,  Manhaj Ibni ‘Arabi fi at-Tafsīr, 135.
[36] Ibnu ‘Arabi, Fusūs al-Hikam, hal. 14.

[37] Ibnu ‘Arabi, Fusūs al-Hikam, hal. 17.
[38] Az-Zarqāni, Manāhil al-‘Irfān, hal. 79
[39] Ignaz Goldziher, Mazāhib at-Tafsīr al-Islāmi, tr. M Alaika Salamullah, (Yogyakarta: elSAQ Press, 2003, hal. 220).
[40] Az-Zarqāni, Manāhil al-‘Irfān, hal. 79. 
[41] Az-Zahabi, at-Tafsīr, juz II,  hal. 380.
[42]    Az-Zahabi, al-Tafsîr,  juz II, hal. 381.
[43]  Az-Zahabi, at-Tafsîr wa al-Mufassirūn, juz II,  hal 381. .

[44] Mahmud Basuni, at-Tafsīr wa Manāhijuhu, hal. 262.
[45] Mahmud Basuni, at-Tafsīr, hal. 262. Lihat pula! At-Tustari, tafsīr al-Qur’an al-Azīm, hal. 22.
[46] Menurut  az-Zahabi, an-Naisaburi  wafat tahun  728 H. Sementara menurut
    Thameem Ushama,  ia wafat tahun 758 H.

[47]    Az-Zarqani. Manāhil al-‘Irfān,  hal. 82. Lihat! Mahmud Basuni Faudah, at-Tafsīr wa Manāhiujuhu, (Cairo: Matba’ah al-Amānah, 1977, hal. 260).
[48]   Mahmud Basuni, at-Tafsīr wa Manāhijuhu, hal. 260.
[49]    Az-Zahabi, at-Tafsīr,  II, hal. 387.  Az-Zarkasyi, al-Burhān, juz II hal. 170.
[50] Karya penting as-Sulami yang   cukup signifikan dalam kajian tasawuf, selain tafsirnya Haqāiq at-Tafsīr adalah  kitab Tobaqāt as-Sūfiyyah. Kitab ini ditahqiq dan diberi penjelasan (syarah) oleh al-Ustaz Nūr ad-Dīn.
[51] Zahabi, at-Tafsīr, juz II, hal.  385.

[52]  Lihat! As-Suyuti, Tabaqāt al-Mufassirīn, Liden, 1839 M, hal 31.  As-Subki,  Ţabaqāt as-Syāfi’iyyah, Mesir: al-Husainiyyah, tth.,  juz II, hal. 60-62.
[53]    As-Suyuti, al-Itqān,  juz I, hal. 31. Az-Zahabi, at-Tafsīr, juz II,   hal. 386.
[54]   at-Tafsir, juz II, hal. 386. .
[55]  M Basuni, at-Tafsīr wa Manahijuhu, hal. 264.
[56]  Lihat at-Tafsīr wa Manahijuhu, hal. 264.
[57] Az-Zahabi, at-Tafsir, II, hal. 387.
[58] Al-Qusyairi pernah ditanya tentang  kelahirannya, ia menjawab  bahwa ia dilahirkan pada bulan Rabi’ al-Awwal tahun 376 H/986 M. di kota Ustawa. Menurut Syuja’ al-Hajali  ia wafat pada tanggal 16 Rabi’ al-Akhir tahun 465 H./1073 M. Ketika itu beliau telah mencapai umur 87 tahun. Jenazah beliau disemayamkan di sisi gurunya Asy-Syaikh Abu Ali Ad-Daqqaq, semoga Allah merahmati keduanya. Selama 60 tahun dari kewafatannya, tidak seorang pun yang berani memasuki ruang pustakanya. Semua itu merupakan bentuk penghormatan kepada beliau.
[59] Lihat ! Kasyf az-Zunūn, juz II, hal 21. Lihat pula ! Az-Zahabi, at-Tafsir,  hal 390.
[60]    Az-Zahabi, At-Tafsīr wa al-Mufassirūn, II, . hal. 391.
[61]    At-Tafsīr, juz II, . hal. 394.
[62]  Kasyf Zunūn, juz I, hal. 237.
[63]  Az-Zahabi, at-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Juz II. Hal. 298.
[64]  Al-Alusi, Rūh al-Ma’āni, juz I, hal. 262-263.
[65]  Az-Zarqani,  Manāhil al-‘Irfān, Juz II,  hal. 84.
[66]    Ismail Haqqi al-Burusawi, Rūh al-Bayān, Juz. I, Dār al-Fikr, tth, hal. 22.
[67]    Al-Alusi, Rūh al-Ma’āni, Juz  I ( Beirut: Dar Al-Fikr), tth. hal. 7.

[68]   Al-Alusi, Rūh  al-Ma’āni, juz  I, hal.  7. 
[69]    Al-Alusi, Rūh  al-Ma’āni, juz I, hal.   7.
[70]    Khalid Abdurahman, Usūl at-Tafsîr,   hal. 206.

[71]    Khalid Abdurahman, Usūl at-Tafsīr,   hal. 210.

[72]    Khalid Abdurahman, Usūl at-Tafsīr, hal. 210.
[73]   Ahmad As-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur’an,  hal. 135.
[74] Al-Alusi,  Rūh al-Ma’āni,  hal. 8.